BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Atur Cashflow Sehat, BUMN Karya Kurangi Porsi Proyek Skema Turnkey

15 Januari 2018
Tags:
Atur Cashflow Sehat, BUMN Karya Kurangi Porsi Proyek Skema Turnkey
Pekerja menyelesaikan pembangunan konstruksi salah satu gedung apartemen di kawasan Margonda, Depok, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Skema turnkey dibayar setelah proyek selesai, sedangkan factoring dilakukan dengan menjual piutang dari proyek yang ada

Bareksa.com – Perusahaan konstruksi badan usaha milik negara (BUMN) memiliki sejumlah strategi mengatur skema pembayaran proyek-proyek yang dikerjakan untuk menjaga arus kas tetap sehat. Porsi proyek dengan kema pembayaran setelah proyek selesai (turnkey) diupayakan untuk terus turun.

Dua perusahaan konstruksi BUMN, yakni PT PP Tbk dan PT Waskita Karya Tbk (WSKT) bakal mengantisipasi proyek-proyek turnkey melalui skema factoring, yakni menjual piutang proyek untuk mendapatkan dana segar. Hal itu dilakukan agar cashflow perseroan tetap positif di tengah maraknya proyek infrastruktur Indonesia.

Di antara empat BUMN karya tercatat di Bursa, Waskita menjadi perusahaan dengan proyeksi pengerjaan proyek turnkey terbesar tahun ini.

Promo Terbaru di Bareksa

Direktur Utama Waskita Karya, Muhamad Choliq, mengungkapkan bahwa proyek dengan skema pembayaran turnkey tahun ini bakal cenderung lebih rendah dibandingkan tahun lalu. Pada 2018, Waskita Karya menargetkan kontrak baru sebesar Rp72,6 triliun.

Tahun ini, skema pembayaran setelah selesai hanya sekitar 50 persen dari total kontrak baru, angka itu turun dibandingkan dengan sebelumnya sekitar 70 persen.

“Kontrak baru dengan skema turnkey tahun ini sekitar 50 persen,” terang Choliq.

Meski begitu, skema factoring dapat dilakukan apabila pemerintah, sebagai pemilik proyek menerbitkan surat pernyataan utang. Choliq mengaku, skema financing tersebut merupakan yang pertama bagi perseroan, karena sebelumnya Waskita belum pernah mengalami kesulitan arus kas seperti saat ini.

PT PP Tbk (PTPP) memproyeksikan tidak akan memiliki proyek dengan skema turnkey sepanjang 2018. Tahun ini perseoran menargetkan perolehan kontrak baru sekitar Rp49,1 triliun.

Direktur Keuangan PP, Agus Purbianto mengatakan, sepanjang tahun lalu perseroan juga tidak memiliki proyek dengan skema pembayaran turnkey. Hal tersebut membuat PP memiliki arus kas (cashflow) yang baik.

Namun, apabila perseroan memperoleh proyek dengan skema turnkey tahun ini, Agus mengungkapkan bahwa PP akan melakukan factoring untuk pembiayaan proyek tersebut. “Turnkey dan non-turnkey kita samakan. Karena proyek dengan skema turnkey juga akan kita factoring (anjak piutang),” katanya kepada Bareksa di Jakarta, pekan lalu.

Agus melanjutkan, dalam proyek dengan skema pembayaran turnkey, biaya pendanaan juga dihitung oleh kedua belah pihak, yakni pemilik proyek dan kontraktor. Perseroan berpendapat, dibandingkan menunggu pembayaran setelah proyek usai dikerjakan, PP lebih baik menerima uang lebih dulu dengan menjual piutang turnkey ke bank melalui skema factoring.

Direktur Operasional PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), Desitiawan Soewardjono juga menjelaskan, dari total target kontrak baru perseroan sekitar Rp51,9 triliun, jumlah proyek turnkey tahun ini diperkirakan sekitar 10 persen dari kontrak baru.

“Saya tidak hafal detilnya, tetapi sekitar 10 persen,” ujarnya.

Sedangkan PT Adhi Karya Tbk (ADHI), menyatakan masih memfinalisasi jumlah proyek dengan skema turnkey tahun ini.

Tabel Proyeksi Proyek Turnkey BUMN Karya 2018

Illustration

*berdasarkan hasil wawancara dan berbagai sumber yang diolah Bareksa

Sentimen Bervariasi

Analis Kresna Sekuritas, Robertus Yanuar Hardy menuturkan, sentimen perusahaan konstruksi BUMN tahun ini diperkirakan masih akan bervariasi (mixed). Masing-masing perusahaan BUMN memiliki profil risikonya masing-masing.

Wijaya Karya memiliki risiko yang cenderung meningkat akibat ditundanya pengerjaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC). “Apabila proyek kereta cepatnya tertunda lagi, potensi mendapatkan nilai proyek yang besar akan hilang,” ujar Robertus.

Sementara untuk emiten lainnya, Adhi Karya memiliki kepastian yang lebih besar karena skema pembiayaan proyek LRT sudah mulai ada kepastian. Akhir tahun lalu, PT Kereta Api Indonesia (KAI), sebagai investor dan operator proyek LRT Jabodebek, mendapatkan pinjaman dari konsorsium perbankan senilai Rp29 triliun. Dana hasil pinjaman tersebut memperjelas pembiayaan proyek LRT ke depan.

Untuk Waskita Karya, Robertus mengatakan bahwa investor perlu menunggu rencana divestasi sejumlah ruas tolnya. “Agar dana yang diperoleh dapat digunakan unutk investasi kembali,” jelas dia.

Terakhir, dirinya melihat PT PP Tbk (PTPP) lebih menarik karena proyek-proyek yang dikerjakannya tidak berisiko tinggi. Proyek yang dikerjakan PP di antaranya adalah properti, bandara dan pelabuhan yang kepastian pembiayaannya lebih tinggi.

“Buat kita yang menarik adalah ADHI dan PTPP,” terang Robertus. (hm)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.382,96

Up0,58%
Up4,31%
Up7,57%
Up8,73%
Up19,20%
-

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.094,08

Up0,44%
Up4,48%
Up7,05%
Up7,51%
Up2,61%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.079,18

Up0,60%
Up3,97%
Up7,04%
Up7,74%
--

Capital Fixed Income Fund

1.844,13

Up0,53%
Up3,89%
Up6,64%
Up7,38%
Up16,99%
Up40,43%

Insight Renewable Energy Fund

2.269,81

Up0,81%
Up3,87%
Up6,51%
Up7,19%
Up20,23%
Up35,64%
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua