Kembangkan Baja Otomotif, KRAS Kerja Sama dengan Sango Corporation

Bareksa • 15 Dec 2017

an image
Seorang pekerja sedang memeriksa kualitas akhir (control quality) gulungan baja lembaran panas (Hot Rolled Coil/HRC) di Unit Produksi PT Krakatau Steel, di Cilegon (FOTO ANTARA/Asep Fathulrahman)

Penandatanganan MoU dilakukan di Jakarta, 15 Desember 2017

Bareksa.com – PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan perusahaan asal Jepang, Sango Corporation untuk pengembangan industri baja sektor otomotif. Penandatanganan MoU dilakukan di Jakarta, 15 Desember 2017. 

Kerja sama tersebut dilakukan untuk mengembangkan produk baja bernilai tambah tinggi untuk memasok kebutuhan baja di sektor otomotif. Kerjasama dua perusahaan merupakan tindak lanjut dari pertemuan Menteri Perindustrian Indonesia, Airlangga Hartarto dengan CEO Sango Corporation pada Oktober tahun lalu. 

Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian, Doddy Rahadi, mengungkapkan pada tahap awal, proyek kerja sama ini diharapkan dapat menarik investasi sekitar US$95 juta serta menyerap 150 tenaga kerja. “Dan  menghasilkan produk wire rod dan wire untuk aplikasi otomotif dengan kapasitas produksi 40.000 ton per tahun,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat, 15 Desember 2017. (Baca : Butuh Modal untuk Investasi US$300 Juta, KRAS akan Usulkan Rights Issue)

Pada 2017, industri logam dasar mencatatkan pertumbuhan cukup tinggi, yakni 10,6 persen. Industri baja sebagai salah satu komponen utama industri logam, diperkirakan setidaknya masih akan terus tumbuh dengan rata-rata 6 persen per tahun hingga 2025. 

Hal tersebut dipicu tingginya permintaan bahan baku untuk sektor konstruksi yang tumbuh 8,5 persen, diikuti sektor otomotif yang tumbuh 9,5 persen. 

Dengan kemampuan supply industri baja dalam negeri sebesar 6,6 juta ton per tahun, saat ini Indonesia masih harus mengimpor sebanyak 5,4 juta ton untuk memenuhi kebutuhan tahunan yang mencapai 12,94 juta ton. Kebutuhan baja Indonesia saat ini sebanyak 78 persen didominasi sektor konstruksi, 8 persen sektor otomotif dan sisanya sebesar 14 persen sektor minyak dan gas (Migas). 

Airlangga melanjutkan, kebutuhan baja yang meningkat setiap tahun harus diimbangi dengan tumbuhnya investasi baru di Indonesia, karena apabila tidak maka ketergantugnan terhadap produk baja impor akan semakin tinggi. Kerja sama antara Krakatau Steel dengan Sango merupakan momentum tepat bagi industri baja dalam negeri untuk masuk ke produk special steel sebagai bahan baku di sektor otomotif, yang selama ini lebih banyak diimpor. (Lihat : Lima Emiten Ini Mencatatkan Penurunan Kinerja Terdalam di Semester I 2017)

Investasi Tahun Depan

Krakatau Steel bakal mencari dana sebesar US$300 juta atau setara Rp3,9 triliun untuk investasi tahun depan. Perseroan tengah mengkaji penerbitan obligasi atau penambahan modal melalui hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau rights issue. 

Direktur Utama Krakatau Steel, Mas Wigrantono Roes, menjelaskan perseroan membutuhkan US$300 juta untuk investasi tahun depan. Krakatau Steel membutuhkan dana untuk proyek hot strip mill (HSM) 2, blast furnace, investasi pembangkit listrik berkapasits 1x150 megawatt (MW) dan control mill yang investasinya dimulai tahun depan. 

"Kami berencana mencari utang bank, menerbitkan obligasi atau melakukan rights issue," terang Mas Wigrantono di Jakarta, Jumat, 10 November 2017. (Baca : Harga Bahan Baku Baja Turun 32,8%, Saham KRAS & BAJA Meroket)

Mas Wigrantono mengaku perseroan masih dalam tahap perencanaan untuk menggalang dana dari penyertaan modal negara (PMN) melalui rights issue. Krakatau Steel akan mengajukan rencananya tersebut kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun depan. 

Pada 2016, produsen baja ini telah melangsungkan rights issue. Masa itu, Krakatau Steel meraup dana Rp1,8 triliun dari rights issue dengan komposisi PMN Rp1,5 triliun dan sisanya berasal dari pemegang saham lain. 

Dia menjelaskan bahwa lini bisnis Krakatau Steel merupakan industri padat modal. Karena itu, perseroan perlu meningkatkan kapasitas untuk memenuhi kebutuhan pasar. 

Satu-satunya cara untuk meningkatkan kapasitas produksi adalah membangun pabrik yang membutuhkan dana investasi. Perseroan membutuhkan dana investasi yang berasal dari kas internal atau utang. (Lihat : Penyelesaian Pabrik Blast Furnace KRAS Kembali Molor Hingga Kuartal II-2017)

Instrumen lain yang tengah dipertimbangkan perseroan untuk menggalang dana adalah menerbitkan obligasi. Akan tetapi, Mas Wigrantono belum bersedia menjelaskan struktur obligasi yang rencananya diterbitkan.

Kinerja 2017

Hingga akhir tahun ini, Krakatau Steel memperkirakan masih akan menanggung rugi US$50 juta. Komposisi kerugian perseroan berasal dari bisnis Krakatau sebesar US$15-25 juta dan kerugian dari perusahaan afiliasi sebesar 40 persen dari total kerugian. 

"Jadi, net loss akhir tahun ini bisa sekitar US$50 juta," katanya. Meski masih merugi, perseroan bakal membukukan rugi lebih rendah dari tahun lalu, yakni sebesar US$171,69 juta. (Baca : Hari Terakhir Diperdagangkan, Bagaimana Harga Rights KRAS?)

Lebih lanjut dia menjelaskan, dari anak usaha Krakatau Steel, masih ada perusahaan yang rugi tahun ini, yakni PT Meratus Jaya Iron & Steel (MJIS) dan PT Krakatau Wajatama. Dia mengklaim, kerugian paling besar perseroan tetap berasal dari perusahaan afiliasinya, yaitu PT Krakatau Posco. (AM)