Bareksa.com – PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) menjawab tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adanya dugaan kerugian negara terkait klaim asuransi kredit macet senilai Rp366 miliar. Kenyataannya, angka yang merupakan bagian dari KPR bersubsidi pada tahun 2016 itu tidak semuanya macet.
Kepada Bareksa, Chief Credit Officer BTN Nixon Napitupulu menjelaskan, apa yang dianggap BPK hanyalah persoalan administrasi. Namun, Nixon bercerita, tidak ada yang salah dari temuan BPK tersebut.
“Hanya saja ada pemaknaan berbeda soal non performing loan (NPL). Yang namanya NPL itu bukan berarti kredit macet, tapi kredit bermasalah. Artinya, ada yang tidak lancar, diragukan, dan macet,” tutur Nixon, Rabu, 4 Oktober 2017.
Untuk klaim asuransi bernilai Rp366 miliar, Nixon menegaskan, tidak semuanya macet. BTN sudah melakukan klaim untuk yang macet sekitar Rp160 miliar, sekitar Rp70 miliar sudah berbalik lancar, dan sisanya dalam tahap verifikasi.
“Dan itu tidak ada urusannya sama negara. Karena KPR Subsidi kalau terjadi NPL, maka klaim akan diajukan ke Askrindo dan Jamkrindo,” imbuh Nixon.
Nixon juga menuturkan, dalam proses penanganan NPL ada yang namanya restrukturisasi atau penataan ulang pembayaran utang. Apalagi, lanjut dia, KPR Subsidi erat kaitannya dengan masyarakat berpenghasilan rendah.
Tabel: Performa NPL BTN Periode 2012 – 30 Juni 2017
Sumber: Materi presentasi perseroan
Sebagai informasi, seperti diberitakan www.kontan.co.id, BPK menemukan bahwa BTN belum proaktif mengajukan potensi klaim asuransi kredit macet Rp366 miliar. Hal ini, menurut Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara, BTN belum sepenuhnya melaporkan monitoring hasil realisasi klaim asuransi kredit macet yang telah terbayar.
Adapun Nixon menyampaikan, sampai saat ini penyaluran KPR bersubsidi BTN tumbuh baik. Hingga Juni 2017, KPR subsidi BTN tumbuh 28,34 persen dari Rp49,86 triliun menjadi Rp63,99 triliun. Bahkan, level NPL KPR subsidi BTN terbilang rendah atau berada pada level 1,66 persen yang berarti masih baik. Adapun batas maksimum NPL yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 5 persen. (hm)