Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) akhirnya secara resmi mengeluarkan aturan pembatasan biaya isi ulang (top up fee) untuk uang elektronik (e-money). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tertanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN).
Dalam peraturan tersebut, biaya isi ulang untuk skema on us (melalui kanal pembayaran bank penerbit kartu) tidak akan dikenakan biaya sampai batas isi ulang Rp 200 ribu. Kemudian jika di atas Rp 200 ribu akan dikenakan biaya maksimum Rp 750.
Sedangkan untuk skema off us (kanal pembayaran di luar bank penerbit kartu atau mitra bank) akan dikenakan biaya maksimal Rp 1.500.
Sekedar informasi, saat ini isi ulang e-money jika menggunakan fasilitas jaringan ATM Bersama dikenakan biaya seperti biaya transfer antar bank sebesar Rp 6.500. Kemudian jika menggunakan mitra bank seperti Indomaret / Alfamart hingga halte Transjakarta juga dikenakan biaya yang beragam mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Nah perbedaan pengenaan tarif ini lah yang diatur dan dibatasi oleh BI. (Baca : BI Tetapkan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Maksimal Rp 1.500 per Transaksi)
Namun jika melihat fakta yang ada, rata-rata nilai top up dari 96 persen pengguna e-money di Indonesia tidak lebih dari Rp 200 ribu. Artinya aturan tersebut diharapkan tidak akan memberatkan masyarakat karena jika masih dibawah Rp 200 ribu tidak akan dikenakan biaya (jika mengisi melalui kanal pembayaran bank penerbit kartu).
Lantas bagaimana pengaruh kebijakan tersebut terhadap kinerja perbankan?
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), dan BNI menjadi empat bank besar pemain produk e-money. (Lihat : Peraturan Standardisasi Isi Ulang Uang Elektronik akan Terbit Sebelum Akhir 2017)
Hingga semester I 2017, keempat bank tersebut telah mengeluarkan produk e-money masing-masing sebesar :
Sumber : perseroan
Bank Mandiri sebagai bank yang cukup unggul dalam sektor ini, hingga Juni 2017 telah menerbitkan 9,61 juta kartu uang elektronik (e-Money) dengan rata-rata transaksi setiapbulan mencapai lebih dari 36,8 juta transaksi sepanjang tahun ini. Total nilai transaksi sebesar Rp 424,4 miliar per bulan.
E-Money Mandiri dapat digunakan untuk bertransaksi di 4.807 merchant dengan jumlah outlet lebih dari 111,8 ribu unit. Hal ini menjadi bukti bahwa penggunaan uang elektronik memiliki potensi cukup menguntungkan bagi perbankan. (Baca : Menuai Protes Keras, Himbara Akhirnya Gratiskan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik)
Pendapatan Fee Based Income BMRI, BBCA, BBRI, dan BBNI
Sumber : perseroan
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa fee based income perbankan mengalami pertumbuhan dalam setahun terakhir dengan rata-rata 15 persen. Pendapatan tersebut belum mengenakan biaya top up saja kontribusinya sudah cukup besar terhadap kontribusi pendapatan operasional keseluruhan yang mencapai sekitar 15 - 20 persen.
Sehingga dalam hal ini bisa dikatakan bahwa keuntungan bank sebenarnya sudah cukup besar dari penjualan kartu e-money itu sendiri.
Karena itu, menurut analisis Bareksa, aturan pembebasan biaya top up tentu akan sangat menguntungkan konsumen, namun di sisi lain juga tidak akan terlalu merugikan perbankan.
Sebab jika masyarakat dibebaskan dari pengenaan biaya top up, diharapkan akan semakin banyak pengguna e-money. Selain nanti pada Oktober pembayaran tol semua diwajibkan menggunakan non tunai yang tentu akan meningkatkan permintaan akan kartu e-money, sehingga hal itu dapat menjadi peluang bagi perbankan untuk meningkatkan penjualan kartu e-moneynya secara intensif. (Lihat : Kisruh Biaya Top Up e-Money, Ini Dampaknya ke Saham BBRI, BMRI, BBCA, dan BBNI)