Bareksa.com -- Pemerintah resmi mengeluarkan peraturan yang mengizinkan Direktorat Jenderal Pajak untuk mengakses data keuangan masyarakat demi kepentingan perpajakan. Artinya, Ditjen Pajak bisa melihat rekening nasabah bank dalam rangka memperoleh informasi keuangan untuk melaksanakan peraturan perpajakan. Sejumlah bankir pun memiliki pandangan berbeda terkait dengan hal ini.
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan sebagai upaya mendorong penerimaan pajak dalam membiayai perekonomian nasional. Hal ini juga untuk memenuhi komitmen dalam kesepakatan internasional terkait pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information).
Adapun akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan ini meliputi akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan. Laporan yang berisi informasi keuangan sebagaimana dimaksud, paling sedikit memuat identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Menurut Perppu ini, Direktur Jenderal Pajak (DJP) berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Menanggapi hal tersebut kalangan bankir punya pendapat beragam. Salah satunya disampaikan oleh Presiden Direktur & CEO PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), Parwati Surjaudaja, yang menilai upaya tersebut seharusnya telah diantisipasi perbankan sejak tahun lalu, saat pemerintah menggelar program pengampunan pajak atau tax amnesty. Dampak negatif ke bisnis bank dinilainya tidak akan signifikan dan hanya berupa kegamangan sesaat.
"Ke depannya era transparansi atau keterbukaan sudah jadi norma baru bukan hanya di Indonesia tapi di dunia dengan penerapan AEoI (Automatic Exchange of Information) dan BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) 2018 baik untuk individu maupun perusahaan," tukasnya di Jakarta (17 Mei 2017).
Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk (BBKP), Glen Glenardi mengaku sedikit khawatir akan adanya perpindahan dana dari industri keuangan, terutama bagi nasabah-nasabah yang belum melakukan deklarasi pajak secara penuh. "Tentunya itu juga tidak mudah karena kan ini berlaku internasional," ucapnya.
Selain itu, Glen juga mengkhawatirkan bila ada terjadi kebocoran data nasabah yang bukan hanya untuk kepentingan pajak. Dalam hal ini perbankan juga menghadapi tekanan, karena ada pasal kerahasiaan bank dalam Undang-Undang Perbankan.
Sedangkan Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Kartika Wirjoatmodjo berharap terkait pembukaan data nasabah ini bisa dibatasi untuk data tertentu dan tidak semuanya. “Di Undang-Undang perbankan yang dilarang itu pembukaan data liabilities. Kalau data transaksi memang saat ini belum diproteksi, tapi tetap Perbanas berharap memang tidak semua data dibuka dan dianalisa, hanya data yang ada kecurigaan yang harus dibuka,” ujar Kartika di Jakarta medio April lalu.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai pasal kerahasiaan bank dalam Undang-undang Perbankan memang perlu dihapuskan untuk melancarkan implementasi AEoI. "Untuk bisa mengikuti AEoI, aturan perundangan-undangan harus selesai pada Mei ini yaitu aturan perundang-undangan akses informasi dan untuk Indonesia berarti kita harus menghilangkan pasal kerahasiaan bank yang selama ini ada di undang-undang," tegasnya. (K15)