Investor Asing Vs Nasional di Industri Telekomunikasi, Pilih Mana?
Selain Smartfren milik Grup Sinarmas, sebagian saham Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, dan Tri dikuasai asing.
Selain Smartfren milik Grup Sinarmas, sebagian saham Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, dan Tri dikuasai asing.
Bareksa.com - Keberadaan investor asing di industri telekomunikasi di Indonesia kerap memantik pro-kontra. Belakangan, isu asing ini kembali digoreng menyusul rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerapkan kebijakan network sharing dan tarif interkoneksi. Sementara pihak menuding dua rencana itu menguntungkan operator-operator asing.
Saat ini, tercatat ada lima operator telekomunikasi di Indonesia, yakni Telkomsel, Indosat Ooredoo, XL Axiata, Smartfren, dan Tri Indonesia. Kenyataannya, investor asing turut menjadi pemegang saham di semua operator telekomunikasi itu.
Telkomsel, sekitar 35 persen sahamnya dimiliki Singapore Telecommunications Ltd. (Singtel), perusahaan telekomunikasi terbesar di Singapura. Lalu, Indosat dimiliki Ooredoo Asia Pte Ltd yang sebelumnya bernama Qtel asal Qatar. Begitu juga XL yang dimiliki Axiata Group Berhad melalui Axiata Investments Sdn Bhd. Sementara itu, Tri dioperasikan Hutchison 3 Indonesia yang 65 persen sahamnya dimiliki Hutchison Whampoa dan sisanya dikuasai Northstar Pacific. Hanya Smartfren yang saat ini penuh dikuasai investor lokal, Grup Sinarmas.
Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan saat ini jumlah saham asing di operator telekomunikasi sudah dibatasi. “Sebagaimana diatur dalam Perpres No. 44/2016, untuk penyelenggara telekomunikasi dibatasi maksimal 67 persen.”
Keberadaan asing di industri telekomunikasi tak menjamin keberlangsungan hidup perusahaan tersebut. Apalagi, industri telekomunikasi memiliki dinamika perubahan teknologi yang sangat cepat. Merza menjelaskan sejumlah kajian terakhir menyatakan teknologi telekomunikasi bisa berubah setiap 1,5 tahun. Jadi, industri ini harus selalu mengikuti dinamika tersebut dengan terus berinvestasi. “Industri telekomunikasi membutuhkan investor yang siap untuk selalu berinvestasi, baik itu investor asing maupun lokal,” katanya.
Bukan sekadar investor, Merza melihat industri telekomunikasi membutuhkan strategic investor. Jadi, selain memiliki kemampuan investasi, juga punya kemampuan di bidang teknologi dan pemasaran.
Merza tak ingin merendahkan kemampuan investor lokal ataupun menolak keberadaan investor asing. “Bila ada investor dalam negeri yang memiliki kemampuan investasi, teknologi, dan marketing, kenapa tidak? Apresiasilah investor dalam negeri, rangkullah investor luar negeri.”
Soal kepemilikan asing, pengamat telekomunikasi Agus Simorangkir punya pandangan serupa. Mantan Vice President Project Management Office XL Axiata ini mengatakan, “Dari sekian banyak investor asing di telco, semua ibaratnya hanya datang untuk 'menyumbang'. Cuma Singtel yang meraup untung.”
Tidak seksi
Pengamat telekomunikasi dari Indonesia ICT Insitute Heru Sutadi punya pandangan lain terkait keberadaan investor asing di industri telekomunikasi di Indonesia. Dia menyoroti kabar akan adanya pelepasan saham Axiata di XL dan baru-baru ini Ooredoo di Indosat.
Heru bercerita, sejak 2012 sektor telekomunikasi Indonesia memasuki tahap yang berat. Kondisi ini disebabkan jumlah pemain begitu banyak, jumlah pengguna memasuki titik jenuh, sementara kehadiran pemain over the top (OTT) membuat trafik suara dan SMS melorot drastis.
“Akhirnya, beberapa pemain menyerah seperti Bakrie Telecom, termasuk juga Flexi, akibat kerugian yang terus mendera di tengah persaingan yang ketat. Bahkan, per tahun 2015 lalu, hampir semua operator merugi. Hanya Telkomsel yang untung. Iklim bisnis telekomunikasi di Indonesia sudah dinilai tidak seksi lagi.”
Meski begitu, Heru berpandangan tetap perlu ada pembatasan kepemilikan asing di operator telekomunikasi. Hal ini bisa dilakukan melalui pengaturan Daftar Negatif Investasi. “Memang seharusnya porsi asing tidak terlalu moderat, misalnya maksimal 65 persen." (AD | dh)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.