Bareksa.com – Bersamaan dengan peluang untuk menambah likuiditas dari program tax amnesty, industri perbankan mendapat tantangan baru. Tantangan ini datang dari keberadaan surat berharga negara (SBN) ritel, khususnya ORI013 yang mulai ditawarkan 29 September 2016 hingga 20 Oktober mendatang.
Dalam penerbitan ORI013 ini, pemerintah bahkan menargetkan bisa meraup dana hingga Rp20 triliun. Adapun tingkat kupon fixed rate dipatok 6,6 persen.
Mengacu Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) Bank Indonesia, rata-rata deposito bank hingga 6 Oktober 2016 berkisar 6,1 persen hingga 6,31 persen. Dengan begitu, penawaran ORI013 jelas lebih menggiurkan ketimbang menaruh dana di deposito.
Hal ini sudah dicermati Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam laporan Indikator Likuiditas September yang dirilis Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko LPS, secara perlahan telah terjadi shifting mindset investasi dari simpanan deposito kepada SBN ritel.
“SBN ritel patut dicermati karena instrumen investasi ini menjadi kompetitor utama perbankan dalam memperebutkan dana pihak ketiga (DPK). Hal ini bisa menimbulkan tekanan pada likuiditas perbankan dan meningkatkan risiko di pasar keuangan,” tulis laporan itu.
Meski begitu, dengan beberapa indikator likuiditas lainnya, LPS memproyeksikan DPK bank masih akan tumbuh lebih cepat ketimbang akhir tahun lalu. Tahun ini, DPK bank akan naik 8 persen dibandingkan tahun 2015 yang naik 7,3 persen.
Sementara itu, berdasarkan data statistik perbankan Indonesia (SPI) Juli 2016 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DPK bank tumbuh 5,93 persen dari Rp4.238,82 triliun menjadi Rp4.585,38 triliun.
Tabel: Indikator Likuiditas September
Sumber: Lembaga Penjamin Simpanan
Menanggapi catatan LPS, Direktur Keuangan dan Treasury PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) Iman Noegroho Soeko menjelaskan, peralihan investasi dari deposito ke SBN ritel belum terasa di BTN. “So far, likuiditas kami (liquidity coverage ratio/LCR) oke. Dengan secondary reserve 2,5 kali kebutuhan minimal,” ujar Iman kepada Bareksa, Kamis, 6 Oktober 2016.
Bahkan, lanjut Iman, BTN akan mendapat tambahan likuiditas dari sekuritisasi kredit pemilikan rumah (KPR) senilai Rp1 triliun akhir bulan ini. Iman pun yakin, kondisi likuiditas BTN sampai akhir tahun masih dapat dikendalikan.
Iman memperkirakan, LCR BTN akhir tahun di atas 100 persen atau sesuai dengan ketentuan OJK. Sementara, level loan to funding ratio (LFR) akan di bawah 92 persen. Catatan itu, lanjut Iman, dengan asumsi pertumbuhan kredit 18 persen sampai 20 persen dengan DPK 20 persen sampai 22 persen.
Saham Bank
Sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Kamis, 6 Oktober 2016 (year to date/ytd), hanya ada dua saham bank yang masuk dalam 10 saham penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dua saham itu adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Saham BMRI telah naik 18,38 persen dan memberi 36,6 poin terhadap IHSG yang telah naik 816,34 poin atau 17,77 persen. Pada saat yang sama, saham BBCA telah naik 18,6 persen dan memberi 56,2 poin kepada IHSG.
Grafik: Return Lima Saham Bank Hingga 6 Oktober 2016
Sumber: Bareksa
Analis Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya pun berpendapat, saham bank seharusnya masih bagus jika berbicara jangka panjang. “Empat bank besar ditambah BBTN, sebenarnya yang masih cukup menarik,” tutur William.
Salah satu faktor yang membuat saham bank menarik adalah karena bank merupakan nadi perekonomian. “Ditambah lagi, aliran dana tax amnesty lebih banyak lari ke bank,” ucap dia.
Publikasi Indikator Likuiditas LPS juga menjelaskan, stabilitas industri perbankan masih tetap kuat, dengan rasio kecukupan modal yang tinggi. Keluarnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/16/PBI/2016 tentang rasio loan to value (LTV) juga diharapkan bisa mendorong pertumbuhan kredit perbankan serta turunannya. (hm)