Bareksa.com - Harapan pelaku industri agar pemerintah segera menurunkan harga gas, masih harus ditunggu. Hingga saat ini, pemerintah belum juga memastikan kapan penurunan harga gas untuk industri bakal direalisir.
Hingga saat ini, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan dua beleid terkait harga gas bumi. Beleid pertama tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Sementara itu, aturan turunannya yakni Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016 sudah disahkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang saat itu masih dijabat Sudirman Said.
Ketidakpastian ini membuat Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) kembali bersuara. Salah satunya dilontarkan Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki). Ketua Umum Asaki Elisa Sinaga menyatakan dua beleid terkait harga gas bumi itu tidak punya manfaat. "Permen ESDM No. 16 itu mengatur harga gas di hulu, sehingga membuat Perpres No. 40 tidak memiliki dampak," katanya kepada Bareksa.
Elisa menegaskan, sampai saat ini belum ada kepastian soal penurunan harga gas untuk industri. Beberapa waktu lalu, FIPGB mengikuti rapat dengan Dewan Energi Nasional (DEN) untuk menegaskan Permen ESDM No. 16 dan Perpres No. 40 saling bertolak belakang. Hal inilah yang membuat pembahasan penurunan harga gas bumi belum juga kelar.
"Selesaikan segera, jangan ada polemik," Elisa mendesak pemerintah.
Saat ini, rata-rata harga gas untuk industri keramik berkisar US$9,18 per million metric british thermal unit (mmbtu). Harapan Asaki, harga bisa turun ke kisaran US$7,18 per mmbtu saja sudah bagus. Usulan ini bahkan terpaut jauh dari angka target Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang US$3-4 per mmbtu.
"Saat Saleh Husin menjabat sebagai Menperin, (harga gas) kan diusulkan US$6 per mmbtu, dan sekarang Airlangga US$3-4 per mmbtu. Ini sudah bagus, tapi bagi kami yang penting tidak setinggi sekarang," ujar dia.
Elisa mengatakan jika sampai minggu ini tak kunjung juga ada kepastian soal harga gas, Asaki akan mengirim lagi surat tertulis kepada Presiden Joko Widodo. "Sebelumnya, kami sudah sampaikan surat ke Presiden. Nanti kami akan kirimkan lagi surat jika tidak ada kepastian, karena kami frustrasi."
Dihubungi secara terpisah, Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) juga buka suara. Meski gas bumi bukan merupakan sumber energi utama para anggotanya, Aspadin ikut tergabung dalam FIPGB. Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat juga mengaku belum mendapat informasi mengenai kepastian penurunan harga gas bumi.
Dia bahkan menanyakan soal penetapan harga maksimal sebesar US$6 per mmbtu. "Harga US$6 per mmbtu itu untuk di mana? Kan harga itu macam-macam, ada yang di hulu dan hilir."
Rachmat melihat mahalnya harga gas saat ini mengakibatkan beban industri masih tinggi. Berdasarkan informasi yang dia dapat, rata-rata harga gas berkisar US$10 per mmbtu, sementara di beberapa negara tetangga sudah berkisar US$6 per mmbtu bahkan ada yang mencapai US$5 per mmbtu. (Baca juga Kepala SKK Migas: "Harga Gas Indonesia Lebih Mahal dari Malaysia Karena Markup")
"Intinya adalah daya saing. Jika dari sisi harga gas saja sudah kalah, bagaimana kita bisa bersaing? Kami harap pemerintah aspiratif," tutur dia.
Dalam hitungan Menperin, apabila penurunan harga gas bumi menjadi US$3,8 per mmbtu akan menurunkan penerimaan negara sebesar Rp48,92 triliun. Namun demikian, akan meningkatkan penerimaan berbagai pajak dari industri turunannya sebesar Rp77,85 triliun.
Menperin juga mengusulkan perubahan Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016 terkait sektor industri yang bakal dapat keringanan harga gas yang semula untuk tujuh sektor industri menjadi 10 sektor industri. Kesepuluh sektor industri tersebut, yakni Industri Pupuk, Industri Petrokimia, Industri Oleokimia, Industri Baja/Logam Lainnya, Industri Keramik, Industri Kaca, Industri Ban dan Sarung Tangan Karet, Industri Pulp dan Kertas, Industri Makanan dan Minuman, serta Industri Tekstil dan Alas Kaki.
Perlu dicatat bahwa dalam Peraturan Menteri ESDM No. 16/2016, disebutkan bahwa untuk mendapatkan harga gas bumi tertentu, pengguna gas harus mengajukan permohonan kepada Menteri ESDM melalui Direktur Jenderal Migas. Itupun dibutuhkan rekomendasi dari Menteri Perindustrian. Bila sudah ada rekomendasi, perlu ada verifikasi lagi oleh tim penentuan harga gas. (Baca juga: Harga Gas Industri Bakal Langsung Turun Setelah Permen ESDM Terbit?)
Ketidakpastian ini pun menjadi isu yang harus dibereskan setelah pergantian pucuk kepemimpinan di Kementerian ESDM, setelah Arcandra Tahar yang baru menjabat 20 hari dicopot akibat masalah kewarganegaraan ganda. Saat ini, Menteri Koordinator Maritim dan Energi Luhut Bisar Panjaitan didaulat menjadi Pjs. Menteri ESDM. (hm)