Bareksa.com - Demi memperlancar program pengampunan pajak alias tax amnesty, pemerintah terus berkoordinasi dengan berbagai pihak. Salah satunya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam hal ini, PPATK melakukan pembahasan secara intensif bersama Kementerian Keuangan melalui Dirjen Pajak, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dengan pertimbangan serta masukkan dari bank persepsi. Salah satu poin utama pembahasannya adalah beberapa aturan teknis pelaksanaan tax amnesty.
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso mengungkapkan, pembahasan teknis itu dilakukan agar ada kesepahaman dalam proses pelaksanaan serta monitoring tax amnesty. "Hal-hal teknis yang diatur adalah tentang proses pengenalan nasabah yang lebih sederhana (simplified know your customer) dan penyediaan rekening khusus sesuai instrumen investasinya sehingga penggunaan dana bisa dimonitor," tutur Agus kepada Bareksa, Kamis, 4 Agustus 2016.
Secara sederhana, Agus menganalogikan, kembalinya dana repatriasi ini bisa diibaratkan seperti truk container yang masuk jalan tol, lalu daftar di gerbang tol dan berjalan di jalur tol itu sehingga sampai ke tujuan akhir. "Kami ingin jaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam implementasi tax amnesty. Ibaratnya si truk tadi tidak dibolehkan keluar dari tol sebelum sampai ke tujuan terakhir," imbuh dia.
"Kalau terjadi penyimpangan atas komitmen/aturan tax amnesty, maka tentu akan terkena pasal sanksi," lanjut Agus. Agus juga memastikan, selama wajib pajak mengikuti aturan tax amnesty, maka dugaan pidana pajaknya diampuni dan tidak diungkit.
Terkait dengan usulan tersebut, Agus bilang, DJP, OJK, Bank Indonesia dan perbankan sependapat untuk menyiapkan rekening khusus tax amnesty guna menampung dana repatriasi. Dan dengan pembukaan rekening khusus itu, maka upaya monitoring aliran dana agar tepat sasaran dan memastikan bahwa dana repatriasi berada selama 3 tahun.
"Jadi tidak bocor kembali lagi ke luar negeri pada masa holding period, karena kita menganut rezim devisa bebas," ungkap Agus.
UU Tindak Pidana Pencucian Uang
Kebijakan tax amnesty adalah kebijakan perpajakan yang dikenal oleh dunia internasional. PPATK ingin agar kebijakan ini sukses, berhasil di dalam negeri dan diakui oleh pihak luar negeri, khususnya oleh Financial Action Task Force (FATF).
Untuk itu, Agus menyampaikan, dalam pelaksanaan tax amnesty perlu dibangun rambu-rambu teknis, baik aturan yang berupa untuk menjaga kredibilitas dari kebijakan tax amnesty ini agar sesuai dengan tujuan dan tepat hasil gunanya. "PPATK tentu mendukung kebijakan tax amnesty. Apalagi sudah menjadi Undang-undang. Sehingga PPATK perlu mengawal agar dana repatriasi digunakan sesuai tujuannya (tepat sasaran) yakni digunakan untuk penguatan sektor-sektor ekonomi prioritas di dalam negeri dalam jangka waktu holding period 3 tahun sesuai UU tax amnesty," kata Agus.
Agus juga memaparkan, kebijakan tax amnesty jika digambarkan dalam suatu diagram grafis akan berada dalam kerangka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Setiap wajib pajak program tax amnesty yang menyimpang maka akan terkena sanksi sesuai UU tax amnesty.
Agus menegaskan, tidak diperbolehkan perpindahan dana repatriasi yang berada di rekening khusus tax amnesty ke rekening individu yang eksisting (ada sebelum program tax amnesty). "Perpindahan dana harus dalam koridor UU tax amnesty," ucapnya.
Di sisi lain, Agus juga memastikan, PPATK tak akan meminta data wajib pajak program tax amnesty. "Selama ini pun kami tidak pernah minta data wajib pajak atau Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Untuk KYC dalam rangka tax amnesty cukup surat keterangan dari DJP," tegasnya.
Menanggapi soal koordinasi DJP dengan PPATK, Direktur Treasury PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) Panji Irawan akan menunggu hasil keputusan pertemuan itu.
"Nanti kami ikuti saja. Untuk saat ini, kami hanya melaporkan dana tax amnesty ke DJP," imbuh Panji.