Bareksa.com - Reklamasi Teluk Jakarta menjadi salah satu isu paling kontroversial di tahun 2016 ini. Berbagai macam isu berbaur jadi satu di tengah pertarungan politik pemilihan gubernur Jakarta awal tahun depan; mulai dari kasus suap, perizinan, termasuk perdebatan dampak lingkungan dan ekonominya. Presiden Jokowi sampai turun tangan dan menyatakan akan mengeluarkan Peraturan Presiden yang baru untuk menggantikan Keputusan Presiden No. 52/1995 yang selama ini menjadi landasan hukum pembuatan pulau-pulau buatan ini.
Salah satu tokoh sentral yang berada di tengah pusaran isu reklamasi adalah Tuty Kusumawati (53), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta. Alumnus Magister Institut Pertanian Bogor yang menjadi salah satu tangan kanan Gubernur Basuki "Ahok" Purnama ini, menjabat sejak Januari 2015 dan mengkoordinasikan 750 SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di seluruh wilayah Ibukota.
Berikut petikan wawancara khusus Bareksa dengan Tuty mengenai seluk-beluk dan dimensi ekonomi reklamasi di Pantai Utara Jakarta ini.
Bagaimana perkembangan reklamasi Teluk Jakarta?
Kewenangan kami di Bappeda adalah dalam perencanaan zona ruang. Tugas kami menentukan setelah pulau-pulau itu terbangun akan dijadikan apa saja di atasnya.
Saat ini dari total 17 pulau, 13 sudah mempunyai rencana pembangunan detail. Empat lainnya belum ada. Yang sudah ada rencana pembangunannya adalah Pulau A hingga M. Sedangkan Pulau N, O, P, dan Q belum ditentukan detailnya. Namun, keempat pulau ini sudah dipastikan akan menjadi pelabuhan terpadu. Saat ini kami sedang menyusun langkah-langkah awal, dibantu tim dari Belanda.
Untuk 13 pulau ini, zonasinya sudah ada. Kawasan barat akan jadi residensial, tengah akan menjadi perkantoran, dan timur akan menjadi Port of Jakarta.
Saat ini sedang moratorium izin reklamasi, apa yang terjadi?
Yang terjadi saat ini adalah pengecekan ulang, mulai dari masalah teknis, kebijakan, perizinan, penyelarasan perundang-undangan, kebijakan lingkungan hidup strategis, dan juga kompilasi data antar kementerian. Proses ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari perwakilan pemerintah provinsi dan juga kementerian.
Apakah sudah pernah ada perkiraan berapa NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) lahan di pulau-pulau reklamasi itu?
NJOP itu kewenangan Dinas Pelayanan Pajak DKI. Mereka yang mempunyai metoda untuk menentukan NJOP dari lahan reklamasi tersebut.
NJOP belum eksis, NJOP kan ditetapkan berdasarkan pasar dan juga PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Kalau tanahnya belum ada, NJOP-nya belum. Tapi mungkin saja sudah ada kajian internal di Dinas Pelayanan Pajak.
Bangunan yang ada di atas pulau reklamasi nanti apakah statusnya HGB (Hak Guna Bangunan) di atas HPL (Hak Pengelolaan)?
Betul, bangunan di atas pulau reklamasi tidak berstatus HGB murni, tapi HGB di atas HPL. Pemprov akan mendapatkan 2,5 persen dari setiap transaksi di atas tanah reklamasi.
Mengenai pulau di wilayah timur reklamasi, bagaimana pengembangannya nanti?
Pulau di sebelah timur itu harus bersaing dengan Singapura. Pulau di barat dan tengah sudah ada detailnya. Pulau N sebenarnya milik Kementerian Perhubungan yang didelegasikan ke Pelindo. Sedangkan sisanya, Pulau O, P, dan Q adalah milik pemda dan nanti akan kami kerjasamakan dengan pihak lain.
Soal rencana pembangunan Port of Jakarta, ada rujukan mau seperti apa pelabuhan itu nanti?
Rencananya kami mau membuat semacam Port of Rotterdam. Pelabuhan ini dibangun dengan sistem joint venture di mana pemerintah kota memiliki 65 persen saham dan sisanya milik pemerintah pusat. Namun, kami masih ada perubahan bentuk dari detail pulau karena di dekat Pulau O, P, dan Q ditemui beberapa kendala. Pertama, di sana ada outflow Kanal Banjir Timur, ada juga TNI Angkatan Laut dan beberapa proyek pembangunan lainnya.
Kami berencana mengikuti Maasvlakte, bagian dari Europoort, area pelabuhan dan kawasan industri di dekat Rotterdam, Belanda. Secara keseluruhan, Belanda menghabiskan 2,9 miliar euro atau sekitar Rp43,2 triliun untuk pembangunan tahap pertama Port of Rotterdam. Investasi tersebut untuk pembangunan lahan seluas 2.000 hektare, di mana 1.000 hektare di antaranya digunakan untuk daerah industri. Pembangunan fase pertama dilakukan dalam lima tahun. Fase kedua dan ketiga dilaksanakan secara bertahap hingga 2030.
Walaupun baru fase satu, Rotterdam sudah bisa mengalahkan Hamburg. Mereka sudah bisa menggaet klien dari Hamburg walau awalnya sangat kesulitan mendapatkan penyewa.
Apakah kita bisa mengalahkan Singapura jika ini terealisasi?
Tentu ini akan mengalahkan Singapura. Mereka juga tidak akan happy dengan hal ini.
Bagaimana pembiayaannya nanti?
Di Belanda, mereka juga menggunakan pembiayaan swasta. Pemerintah pusat hanya memberikan dana sekitar Rp10 triliun untuk pembuatan tanggul dan juga fasilitas publik. Sisanya mereka menggunakan dana pinjaman dari swasta.
Seberapa luas lahan yang akan dijual nanti di pulau-pulau reklamasi?
Kami sudah menerapkan semua standar yang ada di perundang-undangan dalam perjanjian yang kami buat. Kami membuat non-saleable area itu rata-rata ada di angka 40-45 persen. Jadi area tersebut tidak boleh dijual oleh pengembang. Area tersebut akan digunakan untuk RTH (Ruang Terbuka Hijau), RTB (Ruang Terbuka Biru), dan juga untuk Pemprov DKI. Pemprov DKI harus mendapat porsi 5 persen dari luas lahan di setiap pulau.
Gambar: Peta Penggunaan Lahan Reklamasi
Sumber: Bappeda DKI
Lahan Pemprov DKI nanti akan digunakan untuk apa?
Rencananya akan digunakan untuk rusun pekerja. Karena di area reklamasi nanti hampir dipastikan harga rumah ataupun apartemen akan mahal. Karena itu pemerintah perlu menyediakan hunian yang terjangkau untuk pekerja yang bekerja di sana, yang pendapatannya minim. Kami akan bangun setara dengan apartemen, di mana setiap kamar dirancang minimal tipe 36 dengan dua kamar.
Secara total, luasan pulau adalah 5.100 hektare. Pemprov DKI akan mendapat lahan paling tidak 255 hektare.
Seberapa besar manfaat ekonomi yang bisa diraih dari reklamasi ini?
Efeknya akan sangat besar. Benefit paling besar adalah kita akan punya prime mover perekonomian yang baru dan pendapatan nasional pasti terdongkrak. Penduduk Jakarta saat ini ada 10 juta orang, sedangkan penduduk Indonesia 250 juta orang. Jadi, penduduk DKI hanya 4 persen dari total populasi tapi menghasilkan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) hingga Rp1.900 triliun. Angka ini mencapai 16 persen dari PDB nasional.
Kalau kita bicara angka kasar, produktivitas penduduk Jakarta adalah empat kali lipat dari penduduk Indonesia di wilayah lainnya. Jadi, kalau perekonomian Jakarta melonjak, tentu akan mendongkrak perekonomian secara nasional.
Bisa dibandingkan, kurva ekonomi DKI Jakarta selalu in line dengan ekonomi nasional. Perbedaan pertumbuhan ekonomi Jakarta di tahun 2015 dengan nasional pun hanya terpaut tipis. Bahkan di tahun 2015 pertumbuhan ekonomi Jakarta lebih tinggi dari nasional di mana Jakarta tumbuh 5,88 persen dan nasional 4,79 persen. Begitu juga dengan angka inflasi. Jika inflasi Jakarta tinggi maka akan berpengaruh juga kepada inflasi nasional. Meskipun dari sisi PDRB hanya 16 persen, namun sirkulasi perbankan itu 70 persen terjadi di Jakarta.
Manfaat lain?
Ada lagi keuntungan lain, itu dalam persyaratan yang kukuh diminta Pak Gubernur untuk memberikan benefit 15 persen untuk Jakarta; yang sekarang ramai diributkan itu. Jadi, dari rata-rata 55-60 persen lahan yang boleh digarap itu, kami akan minta 15 persen kontribusi dari para pengembang, dihitung dari nilai NJOP.
Cara menghitungnya adalah: 15 persen dikali NJOP dikalikan luasan lahan yang dapat dijual. Nah, nantinya benefit yang dibebankan kepada pengembang ini akan kami bangun rusun, penataan kawasan nelayan, pembuatan tanggul, dan fasilitas umum lainnya. Dana ini akan digunakan untuk pembangunan Jakarta Utara khususnya, dan wilayah Jakarta pada umumnya.
Kita ambil contoh pengembang yang punya lahan reklamasi seluas 100 hektare. Dari 100 hektare tersebut, lahan yang bisa dijual adalah 55 hektare. Kita asumsikan jika NJOP di tanah reklamasi tersebut adalah Rp10 juta per meter persegi, artinya ada area yang dijual senilai Rp5,5 triliun. Dari hitungan itu, pemerintah provinsi akan mendapatkan 15 persen tambahan kontribusi untuk penataan kembali infrastruktur Jakarta Utara dan Jakarta sebesar Rp825 miliar.
Bagaimana dengan sistem transportasinya?
Itu juga sudah kami pikirkan. Kami memprioritaskan transportasi umum dan akan membuat berbagai moda transportasi seperti LRT (Light Rail Transit) dan juga bus. (kd)