Bareksa.com - Mampukah Indonesia mengikuti jejak India dan China memangkas tingkat suku bunga demi mendorong pertumbuhan ekonomi?
Pada 29 September 2015, Bank Sentral India memotong suku bunga acuan 50 basis poin menjadi 6,75 persen untuk menopang rendahnya inflasi sepanjang semester pertama tahun ini. Berdasarkan pengamatan Bareksa, inflasi India memang berada pada level terendah sejak 2012. Hal ini menunjukan lemahnya daya beli masyarakat. Terbukti juga dari turunnya pertumbuhan ekonomi kuartal II-2015 ke level 7 persen dari kuartal sebelumnya 7,5 persen.
Sumber: Tradingeconomics.com
Dalam pernyataannya Gubernur Bank Sentral India, Raghuram Rajan mengatakan pemulihan ekonomi di India sudah terjadi tapi masih jauh dari target. Rajan mengatakan tetap akan memperhatikan langkah Bank Sentral Amerika yang akan menaikkan suku bunga. Namun karena inflasi berada jauh dari target pemerintah 6 persen akhir tahun ini mendorong pemerintah mengambil kebijakan ini.
Ternyata responnya cukup positif, pada 30 September 2015, indeks saham India loncat 1,45 persen diikuti juga dengan penguatan mata uang rupe 0,6 persen terhadap dolar Amerika.
Sebelumnya pada 25 Agustus 2015, Bank Sentral China juga memangkas suku bunga 25 basis poin menjadi 4,6 persen dan merupakan level bunga terendah sejak 1996. Hal ini dilakukan guna menahan agar pertumbuhan ekonomi China tidak jatuh di bawah level 7 persen.
Perlambatan ekonomi juga dirasakan oleh Indonesia yang pada kuartal dua tahun ini hanya tumbuh 4,67 persen dibanding kuartal sebelumnya 4,7 persen. Beberapa kalangan juga sudah mulai meminta Bank Indonesia menurunkan suku bunga sehingga memberi stimulus bagi konsumsi masyarakat. Alasannya kebijakan moneter lebih cepat dirasakan masyarakat ketimbang kebijakan fiskal, seperti belanja pemerintah.
Menurut Lanang Trihardian, investment analyst PT Syailendra Capital, sayangnya Indonesia tidak dapat menggunakan kebijakan moneter seleluasa China dan India, mengingat ekonomi Indonesia yang lebih fragile. China masih merasakan surplus transaksi berjalan terhadap PDB. Adapun India walaupun defisit, tetapi telah menyusut hingga 1,4 persen. Berbeda dengan Indonesia yang masih defisit 2,1 persen.
Sumber: Tradingeconomics.com
Artinya ekspor China dan India masih jauh lebih stabil ketimbang Indonesia. Ketergantungan ekspor komoditas menyebabkan ketika siklus komoditas sedang lemah turut melemahkan nilai transaksi berjalan di Indonesia. Besarnya defisit ini membuat nilai tukar rupiah menjadi lebih rentan, sehingga rawan akan keluarnya dana investor asing seperti yang terjadi dalam dua bulan terakhir ini. (Baca juga: CHART OF THE DAY: Tingginya Outflow Dana Investor Asing Tidak Hanya Di Indonesia)
Inilah yang menyebabkan mau tidak mau dalam mengambil stimulus moneter, Bank Indonesia perlu menunggu kepastian langkah Bank Sentral Amerika.