Bareksa.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan tidak akan mengganti bahan bakar minyak dengan kadar oktan (RON) 88 dengan Pertalite (RON 90), varian baru bensin produksi PT Pertamina (Persero).
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja menjelaskan bahwa produk Pertalite dengan RON 90 merupakan varian tambahan dan menyasar masyarakat yang membutuhkan BBM dengan kadar oktan lebih tinggi dibanding Premium, produk yang kini beredar dengan RON 88. “Jadi ada pilihan untuk masyarakat yang memiliki kendaraan di atas tahun 2000, tetapi di bawah 2010,” katanya seperti dikutip laman Kementerian ESDM.
Dalam rilis yang sama, Direktur Pertamina Dwi Sutjipto menambahkan Pertalite merupakan rangkaian dari proses pengembangan oleh Pertamina untuk mencari hal-hal baru yang memiliki nilai tambah bagi konsumen. “Sebagai corporate, kami tentu memikirkan bagaimana memberi pilihan bagi konsumen,” katanya.
Saat ini, kata Dwi, Pertalite masih dalam kajian lebih lanjut dan jika telah siap, baru akan diluncurkan ke masyarakat. Koordinasi dengan banyak pihak perlu dilakukan sebelum produk ini dijual ke masyarakat. Sesuai dengan prosesnya, varian bensin baru nantinya akan diajukan ke Ditjen Migas. Saat ini, Pertamina masih mempersiapkan sistem distribusi ke SPBU-SPBU untuk menjual Pertalite. Adapun harganya, berada di antara Premium dan Pertamax (produk dengan kadar oktan 92).
Dwi juga menegaskan bahwa Pertamina tidak berencana menghapuskan Premium, kecuali ada ketentuan baru dari Pemerintah. “Intinya, kami butuh kajian yang lebih mendalam, sebelum benar-benar di-launching ke pasar. Baik pemahaman tentang produk ini sendiri agar konsumen tidak bingung, kemudahan untuk mendapatkannya, sistem distribusinya harus disiapkan benar dan tentu saja dampak-dampak lain yang akan dikaji oleh Pemerintah. Apabila memang ini baik untuk diteruskan, kami akan lakukan (launching),” ujar Dwi.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas telah merekomendasikan untuk menghapus Premium karena sudah tidak digunakan lagi secara global dan pembentukan harganya tidak transparan. (Baca juga: Kenapa Bensin Premium Layak Dihapus; Benar Bisa Hemat Rp290 Triliun?)