JK-Luhut 'Bertabrakan', Bagaimana Nasib Program Ekonomi Unggulan Jokowi?

Bareksa • 25 Mar 2015

an image
Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan (Antara Foto, diedit)

Lima tahun ke depan, dibutuhkan dana Rp5.519 triliun untuk program percepatan pembangunan infrastruktur.

Bareksa.com - Enam tahun lalu, Luhut Binsar Pandjaitan diminta membantu seorang pengusaha furnitur di Solo yang sedang kekurangan bahan baku kayu. Kerjasama pun terjadi. Mereka berdua lalu membentuk perusahaan patungan. Seiring waktu, hubungan mereka makin erat, tak cuma di urusan bisnis bahkan juga melebar ke wilayah politik.

Pengusaha mebel itu bernama Joko Widodo alias Jokowi, Presiden RI sekarang.

Menjadi salah satu pendukung utama Jokowi saat kampanye pemilu lalu, Luhut sekarang dikenal luas menjadi tangan kanan Presiden Jokowi.

Sejak awal Januari, ia memulai jabatannya sebagai Kepala Staf Kepresidenan, dan di akhir Februari Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden yang memberikan Luhut kewenangan yang sangat luas: mengendalikan program-program ekonomi prioritas pemerintah, termasuk memanggil menteri-menteri terkait.

Pemberian kewenangan yang luas itu bukan tanpa konsekuensi. Ada potensi tabrakan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga sebelumnya telah diberi wewenang untuk mengkoordinir program-program ekonomi.

Lantas, apa impaknya untuk laju perekonomian dan pasar modal?

Analis dan manajer investasi yang dihubungi Bareksa, termasuk Hari Septanto dari BNI Asset Management, mengungkapan plus-minus situasi ini.

Menurut dia, Jokowi harus pandai-pandai mengatur perimbangan kekuatan antara JK dan Luhut, dua tokoh terpenting dalam lingkaran terdekat Persiden Jokowi saat ini. Sekarang ini Jokowi membutuhkan keduanya, baik JK maupun Luhut.

"Kalau saling merenggang, posisi tawar antara masing-masing kubu jadi berimbang. Tidak ada yang terlalu dominan juga bagus. Kalau Golkar kini dikuasai Agung Laksono dan JK, dampaknya ke Jokowi jadi tidak bagus karena daya tawar JK jadi naik," demikian analisis Hari Septanto, yang mengelola dana Rp1 triliun kepada Bareksa.

Setelah Agung Laksono cs disahkan Menteri Hukum dan HAM sebagai kepengurusan Golkar yang resmi, kekuasaan partai terbesar di koalisi oposisi ini sedang berpindah dari tangan Aburizal Bakrie ke tangan Agung Laksono yang dikenal dekat dengan JK.

Agung telah beberapa kali menegaskan bahwa ia akan membawa Golkar 'menyeberang' ke Koalisi Indonesia Hebat yang sekarang ini masih menguasai 37 persen jumlah kursi di DPR RI.

Dengan masuknya Golkar, kubu partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK akan menguasai 53 persen jumlah kursi di parlemen. Artinya, hal ini akan memudahkan pemerintahan Jokowi untuk menjalankan program-program unggulannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan emiten-emiten di pasar modal untuk membukukan nilai pendapatan yang lebih tinggi.

Emiten-emiten yang langung segera diuntungkan adalah sektor infrastruktur seperti INTP, SMGR, dan ADHI. Ini karena tulang punggung program ekonomi Jokowi ada di wilayah pembangunan infrastruktur jalan, waduk, dan pelabuhan. Sektor berikutnya adalah perbankan dan retail, seperti BBRI, BMRI dan MPPA karena akan meningkatnya daya beli konsumen. 

Jokowi sendiri setiap tahunnya harus memperoleh dukungan dari parlemen agar program-program yang dicanangkannya bisa berjalan mulus. Salah satu yang paling krusial adalah dukungan dari segi anggaran. Berdasarkan rancangan Bappenas, dalam lima tahun ke depan Indonesia membutuhkan dana Rp5.519 triliun untuk membangun infrastruktur. Itu termasuk program pengadaan listrik 35.000 Mega Watt -- guna meningkatkan rasio elektrifikasi menjadi 96,6 persen -- dan pembangunan dua kilang minyak 2 x 300 ribu barel yang diperkirakan bakal membutuhkan dana Rp1.486 triliun. Proyek-proyek semacam ini, paling tidak 40 persen dananya harus berasal dari pemerintah, karena  secara hitungan bisnis tidak begitu menarik bagi investor swasta. (Baca juga: Bangun Pembangkit Listrik Seperti Program CSR, Tidak Menarik)

Untuk semakin memuluskan masuknya Beringin itu, menurut seorang sumber yang dekat dengan Istana, Jokowi sedang mempertimbangkan untuk mengajak beberapa kader Golkar bergabung di kabinet. Reshuffle kemungkinan akan terjadi di bulan Mei.

Itu JK, lantas bagaimana dengan Luhut?

Direktur Eksekutif Akar Rumput Strategic Dimas Oky Nugroho — yang dikenal dekat dan saat ini bekerja di tim Luhut — menjeaskan bahwa Luhut punya value bagus untuk Jokowi. Selain memiliki karir cemerlang di militer, Luhut juga pernah menjadi menteri, loyal kepada Jokowi, dan yang lebih penting lagi: memiliki hubungan yang bagus dengan kawan dan lawan politik Jokowi.

"Luhut tidak punya musuh, tapi banyak kawan," ungkap Dimas kepada Bareksa.

Luhut secara rutin bertemu dengan Prabowo dan Ketua DPR RI Setya Novanto yang dikenal luas merupakan salah satu donatur utama Partai Golkar. 

Dimas menuturkan Luhut sejauh ini berperan sebagai jembatan Jokowi dengan pihak-pihak di luar istana, termasuk dengan kelompok oposisi. Dalam situasi di mana dukungan dari partai sendiri, PDI-P, kadang malah melemah, Jokowi membutuhkan semacam asuransi dukungan dari partai-partai lainnya. Hubungan yang baik dengan oposisi ini dapat memperkuat posisi tawar Jokowi terhadap partai pendukungnya sendiri.
 
***
 
Memiliki wewenang yang saling tumpang tindih, “tabrakan” JK dan Luhut tidak terhindarkan. Menanggapi Perpres yang memberi kewenangan luas kepada Luhut itu, JK beberapa kali mengungkapkan ketidaksetujuaannya secara terbuka di media.

Hussain Abdullah, juru bicara JK, saat dihubungi Bareksa mengatakan: "Bukan soal kesepahaman, karena ini tidak menyangkut masalah hubungan antar person. Tetapi ini soal aturan atau konstitusi. Tugas Wapres sudah diatur dalam konstitusi sebagai pembantu Presiden yang tugas dan kewenangannya jelas."

"Semua aturan harus mengacu pada konstitusi kita. Bukan keinginan JK," Hussain menegaskan. (kd)