Bareksa.com - Indonesia masih menjadi pengimpor beras bagi negara produsen utama termasuk Vietnam, Thailand dan India. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan total nilai impor beras Indonesia sebesar $275 juta pada periode Januari-November 2014. Padahal, bahan pangan yang biasa diolah menjadi nasi tersebut merupakan makanan pokok penduduk negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini.
Dalam wawancara eksklusif Bareksa, Darmin Nasution menanggapi kondisi Indonesia sebagai pengimpor beras. Mantan Gubernur Bank Indonesia periode September 2010 hingga Mei 2013 ini menunggu kebijakan pemerintah saat ini untuk mengatasi masalah pangan tersebut. Berikut petikannya.
Bagaimana komentar Anda mengenai impor produk pangan hingga saat ini?
Sebenarnya, negara seperti Indonesia produk pangannya banyak kecuali terigu yang bahannya terbuat dari gandum, tanaman yang tidak cocok ditanam di sini.
Namun, bahan pangan seperti beras sering ada masalah. Kemudian daging sapi, gula, garam, cabe. Persoalan itu mana jawabannya?
Saya kira (jawaban persoalan) itu yang diharapkan. Sehingga pemerintahan ini kemudian kredibilitasnya naik dan pasar bisa percaya, selesai masalah ini. Walau tidak langsung selesai, tapi arahnya harus kelihatan. Sekarang, menurut saya itu yang belum kelihatan.
Apakah kita harus mengurangi impor bahan pangan dan menggunakan hanya produk dari dalam negeri?
Jawabannya adalah dengan menaikkan produksi dalam negeri. Jangan kurangi konsumsi.
Artinya, kalau satu negara memiliki pangan dasar terlalu banyak macamnya itu rawan.
Setahu saya pemerintah ini menyebutnya kedaulatan pangan.
Kenapa pakai istilah kedaulatan? Kalau begitu dalam artinya kecukupan pangan. Oleh karena kita harus bisa hasilkan sendiri kecuali terigu ya sudah harus impor.
Akan tetapi, mana itu peternakan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri? Mana itu kebun tebu untuk mencukupi konsumsi gula?
Berarti intinya, kita harus tingkatkan produksi dalam negeri?
Ya, bisa dari sisi industri dan juga pangan. Tapi kalau pangan itu krusial. Satu bangsa apalagi yang besar seperti kita tidak seyogyanya dalam urusan beras itu kalang kabut.
Sekali kita impor, bisa goyang internasional karena tidak banyak yang menghasilkan beras.
Negara mana yang surplus beras? Thailand, Vietnam, India.
China? Enggak.
Kalau Presiden Joko Widodo enggan mengimpor beras, apakah harga akan terganggu?
Nah ini masalahnya, kita tidak cukup produksi dalam negeri sehingga tanpa disadari harga lebih tinggi daripada harga internasional.
Harga daging di sini lebih tinggi daripada harga di Singapura karena kurang (pasokannya).
Masalahnya, pemerintah sering menganggap "jangan sembarangan impor nanti susah petaninya."
Sebenarnya yang harus dilakukan adalah bagaimana membuat produksinya cukup, harganya tidak perlu lebih rendah dari pasar internasional tapi jangan juga terlalu tinggi. Sehingga kalau impor harga tidak bergejolak, dan pada saat berlebih ya ekspor melalui mekanisme normal.
Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah yang sekarang ini untuk mengatasi masalah kebutuhan pangan?
Kita seharusnya melakukan sesuatu dalam kebijakan industrialisasi kita yang kelihatannya tidak terjawab dengan memadai.
Kalau pemerintahan Pak SBY dulu mencoba bergerak ke arah industrialisasi melalui hilirisasi. Hilirisasi di pertambangan dan perkebunan. Ya memang banyak persoalannya sehingga banyak tantangannya. Tapi tetap saja ada hal bisa dilakukan di situ. Tidak perlu anggap itu semua harus ditinggalkan.
Yang kedua soal kebijakan industri, kita semakin lama industrialisasinya itu semakin mengandalkan pasar dalam negeri bukan untuk ekspor. Itu harus berubah.
Pasar dalam negeri baik tapi akan lebih banyak dampak positifnya kalau kemudian industri kita diekspor. Ini belum disentuh apa yang harus dilakukan. (qs)