Bareksa.com - Tiga tenda biru dipasang di tepi mulut jalan menuju lahan tambang kapur PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) di Desa Tegal Dowo, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di lahan 500 hektar inilah, rencananya akan dibangun pabrik semen berteknologi modern milik Semen Indonesia.
Di salah satu tenda, seorang ibu berumur 40-an jongkok di sisi dandang besar yang diganjal batu, sementara api dari kayu bakar di bawahnya terlihat membara. Di sebelahnya, seorang ibu seumuran ikut membantu.
"Kami menolak kehadiran pabrik semen di sini," ujar Mak Eyud, ibu yang jongkok itu, sembari menikmati nasi jagung yang mengepul, saat ditemui wartawan Bareksa Alfin Tofler pada hari Selasa, 3 Maret 2015 lalu. Di sebelahnya, Bu Sir, mengangguk-angguk tanda setuju.
Delapan perempuan yang pada siang itu ditemui Bareksa di tenda biru semula mengaku tidak bisa berbahasa Indonesia. Namun, yang menarik, begitu ditanya keberatan mereka, bahasa Indonesia langsung meluncur dari mulut mereka, terpatah-patah.
Bu Sir mengatakan dia ingin seluruh kendaraan berat yang digunakan untuk pembangunan pabrik ditarik mundur. Tapi soal apa alasan persisnya, ia hanya berkata “Yaa… pokoknya tuntutannya itu…”
“Nanti kalau batunya sudah tidak ada dan habis kami akan kesulitan air, Gunung Watu putih itu adalah kas air,” kata temannya, menimpali.
Ibu-ibu ini bukan sedang buka warung atau arisan. Mereka adalah demonstran.
Demonstran?
Ya, demonstran. Setiap hari, 7-8 warga desa Tegal Dowo, Rembang, rajin berunjuk rasa. Dari pagi sampai sore, mereka duduk-duduk di area sekitar tenda biru itu sambil sesekali berteriak atau mengacungkan poster menolak rencana Semen Indonesia membangun pabrik di dekat situ.
“Ya kami kerjanya begini, Mas. Kami duduk-duduk, memasak, mandi di sungai, shalat, dan tidur,” kata seorang pengunjuk rasa yang sedang berada di salah satu tenda biru.
Ibu-ibu yang berunjuk rasa menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang (Bareksa.com/Alfin Tofler)
Tak jauh dari situ, juga berdiri apa yang mereka namai “Posko Penolakan”. Terlihat beberapa pria setengah baya sedang leyeh-leyeh di sebuah bangunan kayu berukuran 3x4 meter, yang dindingnya penuh ditempeli berbagai spanduk dan coretan menolak pembangunan pabrik itu.
Tapi ada suara lain.
Salah satu warga sekampung Mak Eyud yang enggan disebut namanya, saat ditemui Bareksa, mengatakan, "Mereka sebenarnya mengerti ndak ada masalah dengan pembangunan pabrik di sini. Warga banyak yang sudah dapat kerja dari Semen Indonesia.”
Sembari tersenyum, ia menuding aksi teman sekampungnya itu semata mengais rezeki dari “uang demo”.
Dia mengungkapkan kerap bergaul dengan kelompok pengunjuk rasa itu. Menurutnya, mereka tertarik ikut berkumpul di tenda biru itu karena selain sembari mengisi waktu luang saat tidak sedang menggarap ladang, setiap hari mereka mendapatkan “uang demo”. Sudah diatur sedemikian rupa, mereka cukup demo bergantian. Setiap hari 6-8 orang saja, dan sudah berlangsung sejak 16 Juni 2014.
“Kalau ngobrol berdua sama saya sih mereka bilang mereka setuju dengan keberadaan pabrik. Tapi, kalau mereka bilang setuju, mereka kan tidak bisa mendapatkan pemasukan tambahan,” katanya.
Seorang sumber lain yang sehari-hari berkecimpung di lapangan, melontarkan tuduhan serupa. “Kalau itu sudah pasti dan memang seperti itu. Banyak yang sudah bilang, kok. Cuma kalau untuk bicara terbuka tidak berani," katanya.
Di Desa Tegal Dowo itu bermukim 1.526 kepala keluarga. Dari jumlah itu, kurang dari 100 orang yang terang-terangan menolak pembangunan pabrik semen di sana, begitu diungkapkan Kepala Desa Suntono kepada Bareksa.
Tegal Dowo merupakan salah satu desa paling luas di area ring 1 (radius 3 km dari lahan tambang Semen Indonesia).
Suntono sendiri mengaku heran dengan sejumlah warganya yang getol berdemo itu. Pasalnya, mereka seperti tidak bisa diajak berunding untuk mencari solusi. “Sebagian besar warga tidak resah dengan pembangunan ini. Cuma ada beberapa yang kontra dan tidak mau diberi masukan oleh warga yang setuju pembangunan,” ujarnya.
Salamun, Kepala Desa Pasucen, yang bersebelahan dengan Desa Tegal Dowo, mengaku mayoritas penduduk desanya malah senang dengan adanya pembangunan pabrik.
Menurut pria berumur 34 tahun ini, banyak warganya saat ini sudah bekerja di proyek pembangunan pabrik Semen Indonesia. Kebanyakan menjadi tukang batu dan buruh. Beberapa lainnya dididik menjadi tenaga sekuriti. Warga Desa Pasucen berjumlah 890, dan sekitar 70 orang berada di usia produktif.
Suntono mengatakan dia berharap Semen Indonesia memenuhi janji mereka untuk mengutamakan penduduk desa di wilayah ring 1 pabrik, untuk direkrut sebagai karyawan setelah pabrik rampung dibangun nanti. Dia berharap keberadaan pabrik Semen Indonesia dapat menggenjot perekonomian desa-desa di sana.
***
Soal tuduhan “uang demo” itu sejumlah pengunjuk rasa membantah menerimanya. Joko Prianto, perwakilan warga setempat yang menolak pembangunan pabrik semen, mengatakan, “Kami menuntut bukti. Bisa dibuktikan tidak kalau kami mendapat uang atau ada yang menggaji? Setiap orang berhak menghitung apapun. Itu sah-sah saja. Tapi bagi kami itu tidak benar.”
Joko mengungkapkan kelompoknya menolak karena sejumlah alasan: proyek itu melanggar peraturan daerah, area itu merupakan kawasan lindung geologi, lahan pertanian akan menyempit, serta sumber air dan gua-gua di sekitarnya bakal terancam.
“Kami tidak mau di daerah kami ada pabrik dan pertambangan. Kami makan nasi, bukan makan semen. Kami tidak mau negosiasi,” katanya. “Mereka bilang tidak ada gua di sana. Saya orang asli sana dan saya tahu kenyataannya di sana. Saya ajak mereka untuk membuktikan secara langsung tapi mereka tidak pernah berani.”
Soal protes dari sejumlah warga itu, pakar geoteknik, hidrogeologi dan lingkungan geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Budi Sulistijo mengungkapkan di dalam lokasi pabrik Rembang tidak ada gua ataupun mata air. Budi yang ikut merancang penentuan lokasi pabrik mengatakan dia memang menghindari mata air dan gua.
"Jadi, dulu luas area tambang sekitar 800 hektare. Namun, karena kami menghindari mata air, area yang ditambang hanya sekitar 520 hektare," ujarnya kepada Bareksa.
Gambar: Peta Area Penambangan dan Pabrik Semen Indonesia di Rembang (dalam Kotak Merah)
Sumber: Semen Indonesia
Menurut Budi, desain itu dibuat dengan sangat memperhatikan kepentingan air warga. Alih-alih bakal menghabiskan air, seperti yang dikhawatirkan sebagian warga, pembangunan pabrik Rembang itu malahan akan memberikan tambahan air ke area di sekitar tambang. Air yang semula mengalir keluar area tambang nantinya akan dialirkan ke dalam sumur-sumur resapan, yang akan menambah cadangan air tanah dan bisa dimanfaatkan oleh warga desa di sekitar pabrik.
***
Pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang diperkirakan akan menghabiskan dana investasi hingga Rp4,4 triliun dengan asumsi kurs rupiah Rp12.500 per dolar Amerika. Jika tak ada aral melintang, pabrik ini diperkirakan akan rampung pada akhir tahun 2016.
Saat beroperasi penuh, pabrik baru ini diperkirakan bakal menyerap 3.500 tenaga kerja dan menghasilkan semen hingga tiga juta ton per tahunnya. Pembangunan fisik pabrik akan dilakukan di atas lahan seluas 54 hektare.
Yang menarik, sebenarnya pabrik Semen Indonesia bukanlah tambang kapur pertama di Rembang. Bareksa menemukan di lokasi yang sama sudah terlebih dahulu terdapat tambang-tambang lain yang dibangun perusahaan swasta. Bahkan, menurut warga setempat, keberadaan tambang-tambang itu sudah hampir 10 tahun lamanya.
Karena itu Budi Sulistijo juga mengungkapkan keheranannya dengan aksi para demonstran itu. Menurut dia, tambang-tambang di bukit kapur Rembang bukan baru ada kemarin sore dan selama ini tidak pernah diprotes. "Di sana juga sudah ada tambang-tambang besar yang sudah tahunan berproduksi, berizin semua, dan selama ini tidak ada masalah sama sekali," katanya. (kd)
*Artikel ini di-update pada 17 Maret 2015