Bareksa.com - Banyak kalangan yang bertanya-tanya -- sebagian sambil mengolok-olok -- kenapa setelah Joko Widodo terpilih menjadi presiden, rupiah justru ambrol hingga sempat menembus Rp13.000 per dolar Amerika.
Fenomena ini meleset jauh dari prediksi banyak analis yang sebelumnya menggadang-gadang bahwa jika Jokowi masuk Istana, rupiah akan menguat secara signifikan. Optimisme itu utamanya didasari oleh keyakinan bahwa dana investor asing akan deras mengalir ke Indonesia. Survei Nomura bahkan sempat menyebutkan nilai tukar rupiah dapat terdongkrak ke level Rp11.600 per dolar AS. (Baca artikel lengkapnya di sini)
Menurut data Bareksa, rupiah memang sempat menguat menjelang pemilu dan sesaat setelah Jokowi terpilih menjadi presiden. Ketika itu nilai tukar rupiah naik hingga Rp11.505. Namun, rupiah kembali melemah di masa-masa menjelang pelantikan presiden. Saat Jokowi dilantik, rupiah bertengger di level Rp11.995 dan setelah itu terus terdepresiasi.
Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina, kepada Bareksa mengatakan 'Jokowi Effect' rupanya cuma membawa impak jangka pendek. "Optimisme pelaku pasar ketika Jokowi terpilih menjadi presiden dan sebelum penyusunan kabinet membawa short term effect saja bagi pergerakan nilai tukar rupiah."
Pendapat senada diutarakan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Dr. Ari Kuncoro. Menurut dia, banyaknya sentimen negatif yang memukul pasar, khususnya nilai tukar rupiah, telah mengandaskan 'Jokowi Effect'.
"Adanya sentimen negatif dari luar negeri misalnya krisis Yunani, menguatnya perekonomian Amerika, dan berbagai kasus di dalam negeri yang menciptakan sentimen negatif, mematahkan kekuatan 'Jokowi Effect' sehingga membuat rupiah terus melemah," Ari menjelaskan.
Grafik: Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika dalam 1 Tahun
Sumber: Bareksa.com
Sebab paling utama adalah terus menguatnya dolar Amerika. Fenomena ini terjadi sejak Bank Sentral Amerika menyetop kebijakan membeli obligasi pemerintah AS sejak Oktober 2014 lalu karena melihat perekonomian AS sudah mulai tumbuh kembali. Selain itu, rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga ikut mengerek nilai tukar dolar Amerika karena dana investor asing mulai mengalir kembali ke Uncle Sam. (Baca juga: Rupiah Terdepresiasi No. 3 Terdalam terhadap Dolar AS Setahun Terakhir)
Ketika Amerika dibelit krisis pada tahun 2008, investor agresif menanamkan dana mereka di emerging markets, termasuk Indonesia. Ini karena return yang dihasilkan di Amerika saat itu sangat kecil akibat kebijakan The Fed menurunkan suku bunga acuan menjadi hanya 0,25 persen. Maka ketika The Fed mulai berencana menaikkan suku bunga, praktis kebijakan itu mendorong investor kembali membeli obligasi pemerintah Amerika yang risikonya sangat kecil.
Berdasarkan data Yahoo Finance, yield obligasi Amerika tenor 10 tahun anjlok hingga di bawah 2,5 persen mulai semester ke-2 2014. Yield obligasi berbanding terbalik dengan harga obligasi. Artinya, jika yield obligasi turun maka harga obligasi justru naik.
Grafik: Pergerakan Yield Obligasi Pemerintah Amerika Tenor 10 Tahun (Periode 1 Tahun)
Sumber: yahoo.finance.com
Selain itu, muncul faktor di luar ekspektasi para ekonom: anjloknya harga minyak dunia akibat benturan kepentingan antara Amerika, Rusia, dan OPEC. Harga minyak dunia jenis Brent bahkan pernah terkapar di level $50 per barel.
Amerika belakangan ini mulai mengembangkan shale gas -- sumber energi gas -- setelah menemukan teknologi untuk menambang gas tersebut. Permintaan minyak dari Negeri Paman Sam mulai melorot. Melemahnya ekonomi dunia juga ikut memerosotkan permintaan akan minyak mentah, Akan tetapi, Rusia dan OPEC -- mayoritas anggotanya adalah negara-negara Timur Tengah -- saling bersikukuh tidak mau menurunkan jumlah produksi minyak mereka. Akibatnya, harga minyak pun jebol.
Grafik: Harga Minyak Jenis Brent Periode 1 Tahun
Sumber: Bareksa.com
Runtuhnya harga minyak itu lalu membuat para trader komoditas beralih ke pasar uang. Mereka memborong dolar Amerika. Akibatnya, posisi dolar AS semakin perkasa. Dan impaknya langsung memukul rupiah, termasuk mayoritas berbagai mata uang negara lain.
Selain berbagai sentimen negatif dari eksternal itu, Dian menambahkan, ada sejumlah faktor domestik yang ikut menggerus rupiah. Salah satunya adalah masih tingginya permintaan dolar AS di Indonesia. "Terutama dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan dolar untuk berbagai transaksi, misalnya impor, membayar utang luar negeri, melakukan hedging, dan sebagainya."
Gubernur BI Agus Martowardjojo mengamini pendapat itu. Dia menyatakan melorotnya nilai tukar rupiah saat ini lebih disebabkan faktor eksternal. Menurut dia, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih baik. Karena itu dia berharap masyarakat tidak perlu was-was berlebihan. Agus menekankan rupiah saat ini masih dalam kondisi relatif aman karena pelemahannya belum sampai 10 persen -- ambang batas yang telah ditetapkan tahun lalu.
"Perkembangan dunia ini harus diketahui masyarakat. Tahun lalu, kami menjaga agar volatilitas rupiah tidak turun lebih dari 10 persen. Batas di tahun ini tidak bisa disebutkan. Akan tetapi, sekarang yang penting masih di bawah 10 persen," kata Agus kepada media.
Grafik: Persentase Volatilitas Nilai Tukar Regional secara Year-to-Date (YTD)
Sumber: Presentasi Bank Indonesia
Agus menambahkan BI akan mengintervensi jika rupiah terus melorot, melewati batas yang ditetapkan. "Bank Indonesia akan berada di pasar dan bila perlu intervensi, meski saya tidak bisa mengungkapkan apa bentuk intervensinya. Posisi cadangan devisa kita juga masih cukup banyak, sekitar $114,25 juta."
Lalu, masihkah kita bisa berharap pada 'Jokowi Effect'?
Profesor Ari Kuncoro berpendapat 'Jokowi Effect' dapat kembali memantik sentimen positif bagi pergerakan rupiah. Syaratnya, dia menekankan, "Jika Jokowi berhasil merealisasikan proyek infrastruktur dan program-program kerja unggulan lainnya." (np, kd)