Bareksa.com - Sektor pertambangan sepanjang tahun ini mengalami tekanan. Bukan hanya akibat pelemahan harga komoditas global, tetapi juga larangan ekspor mineral mentah yang baru diterapkan oleh pemerintah sejak awal tahun.
Indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang tahun telah mencatat kenaikan sebesar 20,37 persen sementara Mining Index yang berisi saham-saham pertambangan malah turun 4,19 persen per 19 Desember 2014.
Sebagian besar perusahaan tambang mineral nasional mengalami kesulitan tahun ini karena pemerintah sudah mulai menerapkan peraturan baru yang melarang ekspor mineral mentah dan hanya memperbolehkan produk hasil olahan untuk dikirim ke luar negeri.
Kinerja keuangan para produsen mineral termasuk nikel, bauksit dan mangan menjadi sektor yang paling terpukul akibat penerapan peraturan baru ini. Pasalnya hampir semua perusahaan tambang mineral belum memiliki pabrik pengolahan (smelter) di dalam negeri yang dapat memberi nilai tambah bagi produk mereka sebelum diekspor.
Grafik pergerakan harga saham emiten tambang mineral
Sumber: Bareksa.com
Dalam Grafik terlihat kinerja buruk saham emiten tambang mineral dipimpin oleh PT SMR Utama Tbk (SMRU) yang mencatat return minus 28,57 persen per 19 Desember 2014 dibandingkan dengan penutupan akhir tahun lalu.
SMRU merupakan produsen mangan yang beroperasi di Nusa Tenggara Timur. Menghadapi larangan ekspor mineral mentah, perseroan pernah melontarkan wacana untuk membangun smelter senilai US$10 juta tetapi belum ada tindak lanjutnya. SMRU malah mengakuisi perusahaan jasa pertambangan batubara untuk mendiversifikasi pendapatannya.
Per September 2014, SMRU mencatatkan pertumbuhan penjualan 25 persen dibandingkan dengan perolehan yang sama tahun lalu. Namun di saat yang sama, laba bersih perseroan anjlok 20,9 persen.
Tabel pertumbuhan penjualan dan laba bersih emiten tambang mineral
Fundamental | INCO | ANTM | TINS | SMRU | CKRA |
Revenue Growth (%) | 12,5 | -34 | 12 | 25,8 | -14,7 |
Net Profit Growth (%) | 189,5 | -262 | 142,1 | -20,9 | -9646,5 |
Sumber: Bareksa.com
Kinerja buruk lainnya dicatatkan oleh PT Cakra Mineral Tbk (CKRA) yang mencatat penurunan harga saham hingga 11,63 persen sepanjang tahun hingga 19 Desember 2014. Penjualan perusahaan anjlok 14,7 persen hingga kuartal ketiga 2014 dan membalikkan laba tahun lalu menjadi rugi.
CKRA adalah produsen nikel, bijih besi dan zircon yang belum memiliki smelter. Perusahaan ini bersama dengan investor Hongkong berencana untuk membangun smelter feronikel senilai $50 juta yang ditargetkan beroperasi 2016.
Sementara itu, saham produsen mineral PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) membukukan return negatif 10,09 persen year-to-date (YTD). Hal ini sejalan dengan anjloknya revenue hingga 34 persen hingga kuartal ketiga 2014 dibandingkan periode sama tahun lalu. Di saat yang sama, laba bersih juga jatuh 262 persen dibandingkan perolehan periode sama tahun lalu.
Saat ini, perusahaan mineral milik pemerintah ini mengandalkan penjualan emas batangan di saat perusahaan mengembangkan kapasitas proyek smelter untuk memproduksi feronikel di Pomalaa dan membangun pabrik baru di Halmahera.
Penerapan larangan ekspor juga berpengaruh sangat besar terhadap keberlangsungan PT Central Omega Tbk (DKFT) yang terpaksa menghentikan produksi nikel di Sulawesi dan merumahkan 2.000 orang pekerjanya. Bursa Efek Indonesia pun menghentikan perdagangan saham DKFT sejak 19 Januari 2014.
Suspensi juga diterapkan pada saham PT Cita Mineral Tbk (CITA) sejak 21 Januari 2014 karena peningkatan harga saham secara signifikan. Terjadi akumulasi peningkatan 141 persen sejak Oktober 2013 hingga 20 Januari 2014. Perusahaan ini mencatatkan rugi bersih hingga kuartal ketiga 2014, membalikkan laba pada periode sama tahun lalu.
Di saat perusahaan mineral lain mengalami kesulitan, produsen timah terbesar di Indonesia yang juga dikendalikan pemerintah, yaitu PT Timah Tbk (TINS) justru menikmati hasil penerapan larangan ekspor mineral mentah. TINS mendapatkan untung karena larangan ekspor berhasil mengangkat harga komoditas yang hanya diproduksi di Pulau Bangka dan Belitung tersebut.
Laporan keuangan TINS masih menunjukkan kinerja yang positif dengan pertumbuhan revenue 12 persen dan laba bersih melonjak 142,1 persen akibat efisiensi perusahaan sepanjang Januari-September 2014 dibandingkan periode sama 2013. Namun, harga saham TINS terlihat jatuh dan terkesan mencatat return negatif 26,56 persen karena ada aksi korporasi yaitu pemberian saham bonus pada April 2014.
Perusahaan tambang mineral lain yang masih mencatat kinerja saham dan keuangan yang positif adalah PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Saham perusahaan yang terafiliasi dengan Vale SA berbasis di Brasil ini membukukan return 39,25 persen sepanjang tahun.
Seiring dengan harga sahamnya yang gemilang, INCO juga melaporkan kenaikan penjualan 12,5 persen hingga kuartal ketiga 2014 dibandingkan periode sama 2013. Selain itu, laba bersih juga melonjak 189,5 persen.
Vale Indonesia adalah satu-satunya produsen nikel swasta yang sudah memiliki smelter, sehingga penerapan peraturan baru pemerintah tidak berdampak signifikan. Selain itu, Vale juga telah berhasil merenegosiasi kontrak karya untuk terus beroperasi. Di saat yang sama, perusahaan induknya dikabarkan siap untuk mendukung dana ekspasi perseroan.(al)