Bareksa.com - Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS beberapa pekan terakhir anjlok hingga ke level Rp 12.010. Tekanan berat tersebut seiring gonjang-ganjingnya dunia politik nasional serta belum juga membaiknya data neraca perdagangan Indonesia yang masih dihantui ancaman defisit. Neraca perdagangan bulan Juli hanya mencatatkan surplus sebesar USD130 juta.
Ambruknya nilai tukar Rupiah menjadi momok menakutkan bagi perekonomian Indonesia saat dihantam krisis pada tahun 1998. Di era pemerintahanan Presiden Soeharto itu, Rupiah sempat anjlok hingga level penutupan tertinggi pada tanggal 26 Januari 1998 ke level Rp12.950 per dolar AS. Padahal, 1,5 tahun sebelumnya, pada 8 Juli 1996, Rupiah masih bertengger di titik Rp2.330.
Ada banyak faktor yang menyebabkan Rupiah makin tergerus: merosotnya kepercayaan publik terhadap presiden, situasi ekonomi regional dan internasional yang kurang menguntungkan, serta besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo. Dalam sebuah naskah pidato ilmiahnya di Australian National University, Dr. Boediono yang kini menjadi wakil presiden menyoroti faktor kunci lain yang menyebabkan krisis itu: bad governance dan korupsi.
Dikutip dari situs seasite.niu.edu, tercatat dari total utang luar negeri per bulan Maret 1998 yang mencapai USD138 miliar, sebesar USD20 miliar di antaranya adalah utang swasta yang akan jatuh tempo di tahun 1998.
Hancurnya nilai tukar Rupiah tersebut menyebabkan cadangan devisa Indonesia tergerus, dari semula USD19,13 miliar menjadi USD17,43 miliar. Puncaknya terjadi setelah Presiden Soeharto digulingkan paksa dan lalu mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 untuk digantikan Wakil Presiden BJ Habibie.
Rupiah tersungkur ke level tertinggi pada perdagangan intraday yakni ke level Rp16.950 per dolar AS pada tanggal 17 Juni 1998. Berdasarkan data Bareksa.com, pada penutupan hari tersebut, Rupiah berada pada level Rp16.650 per dolar AS dan tercatat sebagai level penutupan tertinggi.
Akhirnya pada tanggal 19 Juni 1998 demi menjaga gejolak nilai Rupiah, pemerintah sepakat dengan IMF untuk merevisi anggaran agar IMF dapat menggelontorkan kredit baru guna menghadapi masalah utang yang kian membelit. Nilai tukar Rupiah kembali pada posisi Rp14.850 per dolar AS.
Di masa pemerintahan Presiden Habibie, neraca perdagangan — khususnya perdagangan barang--mencatatkan surplus. Cadangan devisa Indonesia meningkat menjadi USD23,76 miliar dan Rupiah pun menguat hingga menyentuh Rp6.772 per dolar AS pada level penutupan 19 Juli 1999; demikian yang terangkum dalam buku Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia: Badai Pasti Berlalu?
Catatan: Nilai tukar berdasarkan harga penutupan transaksi harian. Sumber: Bareksa.com diolah dari IQ plus
Dalam masa pemerintahannya yang berlangsung singkat, Presiden Habibie berusaha melakukan berbagai perbaikan di bidang ekonomi dengan cara merekapitulasi perbankan, melikuidasi beberapa bank bermasalah, merekonstruksi perekonomian Indonesia, serta mengimplementasikan program-program reformasi ekonomi sebagaimana dipersyaratkan IMF.
Sayangya, penguatan Rupiah itu tidak bertahan lama.
Digantikan Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi ketidakstabilan politik dan sosial. Hal ini meningkatkan country risk Indonesia.
Rupiah pun kembali melemah hingga ke level Rp12.000 pada level penutupan di tanggal 26 April 2001. Hubungan buruk antara pemerintah dengan IMF menambah merah penilaian pelaku bisnis dan investor asing. Buntutnya, mereka pun mengurungkan niat untuk berinvestasi di Indonesia. Negeri ini sampai terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club karena kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan yang terus membengkak. Bahkan, pemerintah diperkirakan tidak sanggup membayar utang yang akan jatuh tempo pada tahun 2002.
Selama periode tersebut IHSG terperosok hingga lebih dari 300 poin, gara-gara begitu masifnya aksi jual investor.
Presiden Abdurrahman Wahid lalu diturunkan di tengah jalan, dan digantikan wakilnya, Megawati Soekarnoputri.
Di masa pemerintahannya, Megawati dibantu oleh antara lain Menteri Keuangan Dr. Boediono kembali mengambil berbagai langkah untuk menambal defisit APBN yang ketika itu mencapai 2,8 persen dari PDB berdasarkan data Bappenas. Salah satu langkah yang diambil adalah menggelar privatisasi 12 BUMN dan menandatangani Post Program Monitoring (PPM) untuk mulai disapih dari IMF. Berbagai program restorasi ekonomi itu berhasil membawa Rupiah kembali menguat ke level Rp8.200-9100.
Catatan: Nilai tukar berdasarkan harga penutupan transaksi harian. Sumber: Bareksa.com diolah dari IQ plus
Berganti ke pemerintahan SBY, kenaikan harga minyak dunia menjadi batu sandungan berikutnya. Beban subsidi BBM menggelembung. Rupiah kembali tertekan hingga mencapai puncaknya di level perdagangan intraday Rp10.875 per dolar AS pada 29 Agustus 2005 namun ditutup pada level Rp10.775 per dolar AS. Pemerintah pun memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dua kali – pada 1 Maret dan 1 Oktober 2005. Kondisi fundamental Indonesia kembali pulih. Rupiah berangsur-angsur menguat dan kembali ke level di bawah Rp10.000 per dolar AS.
Berikutnya datang krisis global, berembus dari krisis kredit-perumahan Amerika di tahun 2008. Rupiah kembali terpuruk ke level Rp 12.600 per dolar AS pada penutupan tanggal 20 November 2008. Pelemahan tertinggi terjadi pada perdagangan intraday tanggal 21 November 2008 pada level Rp13.150 per dolar AS, tetapi ditutup pada level Rp12.200. Perekonomian Indonesia kembali tertekan.
Untuk mengatasi dampak krisis tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono melonggarkan suku bunga (BI Rate) untuk menstimulasi konsumsi dan investasi domestik. Bank sentral juga memberi bantuan likuiditas kepada perbankan untuk menghindari dampak sistemik krisis ini.
Membaiknya fundamental ekonomi Indonesia -- seperti pertumbuhan ekonomi yang mencapai 3,5 persen di tengah terpaan krisis dan inflasi yang terkendali -- menyebabkan Rupiah berangsur-angsur kembali menguat hingga ke level Rp 8.511 per dolar AS pada 1 Agustus 2011.
Namun berbagai capaian itu kini kembali tergerus. Rupiah kembali ambrol ke level Rp12.171 per dolar AS di penutupan tanggal 23 Desember 2013. Biang keladinya adalah kembali menganganya defisit neraca berjalan Indonesia pada kuartal III-2013 menjadi USD9.850 juta, menurut data Trading Economic. Selain itu, tekanan diperberat oleh utang swasta sebesar USD 22,27 miliar yang segera jatuh tempo -- ini sekitar 1/3 cadangan devisa.
Terakhir, di penghujung pemerintahan SBY, situasi politik nasional kembali bergejolak. Berbagai langkah politik Koalisi Merah Putih -- pimpinan Prabowo-Hatta yang kalah pemilu -- digelar untuk dengan segala cara menjegal pemerintahan Jokowi-JK di parlemen. Puncaknya adalah saat kubu ini berhasil meloloskan UU Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD. Rupiah pun kembali ambruk ke level Rp12.000 lebih. (kd)