Bunga Turun, Pebisnis Putar Otak Optimalkan Keuntungan di Investasi
Tidak hanya peningkatan bisnis, penurunan suku bunga juga dimanfaatkan pebisnis dalam berinvestasi saham, reksa dana, emas dan SBN

Tidak hanya peningkatan bisnis, penurunan suku bunga juga dimanfaatkan pebisnis dalam berinvestasi saham, reksa dana, emas dan SBN
Bareksa – Lebih dari 250 pebisnis hadir dalam Business Forum 2025 untuk membahas peluang investasi di tengah penurunan suku bunga. Pasalnya Indeks Saham telah menyentuh level 8.000, emas juga terus mencatat rekor hingga terakhir menembus US$3.700 per ons. Indikator ini mendorong optimisme pebisnis untuk mengoptimalkan keuntungan bisnisnya di pasar modal dan emas.
Pasar modal juga kian dinamis dipengaruhi penurunan suku bunga, ketegangan geopolitik, pelemahan rupiah di atas Rp16.500 per $, dan defisit anggaran.
Hal itu mengemuka dari diskusi di acara talks show “Business Forum 2025: Build Big, Scale Smart, Outlast the Chaos” yang diselenggarakan Super App Investasi Bareksa di Damai Indah - PIK Golf Course, Jakarta, Selasa (23/9/2025).
Promo Terbaru di Bareksa
Acara ini menekankan pentingnya pelaku usaha mengelola keuangan bisnis dan pribadi secara cermat di tengah ketidakpastian ekonomi. Keuangan bisnis harus menjaga operasional dan pertumbuhan, sementara keuangan pribadi fokus pada perlindungan dan pengembangan aset. Keseimbangan keduanya krusial agar risiko tidak saling berdampak.
Dan dibawakan oleh beragam Narasumber dari berbagai bidang yakni Dimas Yusuf - Chief Investment Officer Sucor Asset Management, Rivan Kurniawan - Indonesia Value Investor, Edison Sarmin - CFO Holika Holika, Victor Teja - Chief Retail Officer Syailendra Capital, Albertus Axel - CFA & Influencer Investasi, Fajar Wibisono - CEO HUMANIS, Andreas Setiawan Santoso - CEO dan Co-founder Treasury dan Deni Ridwan - Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kementerian Keuangan.
Memaksimalkan Peluang Cuan di Pasar Saham dan Reksadana
Dimas Yusuf, CIO Sucor Asset Management menyatakan banyak pihak menilai kinerja reksadana basis saham saat ini masih terbatas dan belum mampu mengungguli IHSG. Sebab IHSG saat ini kinerjanya masih ditopang oleh saham-saham dengan valuasi mahal. Namun, jika investor jeli, sebenarnya ada sejumlah reksadana basis saham yang mampu outperform dari IHSG dan indeks acuannya.
“Kami melakukan komunikasi intens dengan nasabah untuk mengetahui aspirasi mereka dan tujuan mereka dalam mengalahkan indeks, serta agar selaras dengan kebutuhan mereka,” kata dia.
Menurut Dimas, saat ini ada banyak investor institusi yang sedang bersiap masuk atau sudah mulai masuk ke pasar saham. Termasuk BPJS Ketenagakerjaan yang mulai alokasi investasinya ke saham dalam dua tahun ke depan diperkirakan mencapai Rp70 triliun. Hal ini jadi sinyal positif bagi pasar. Jika sebelumnya IHSG dinilai masih undervalue, seiring kebijakan menteri keuangan yang baru Purbaya Yudhi Sadewa yang pro-growth, maka sentimen jadi lebih bullish.
“Dengan proyeksi belanja fiskal ekspansif dan dukungan regulasi, peluang pertumbuhan PDB lebih tinggi terbuka, meski tetap ada risiko. Sentimen cenderung lebih bullish untuk saham dibanding obligasi, khususnya pada emiten dengan fundamental kuat ketimbang saham new economy,” dia menjelaskan.
Rivan Kurniawan, Indonesia Value Investor, mengatakan pendekatan investasi tidak lagi semata mencari capital gain, melainkan juga menekankan keberlanjutan melalui dividen. “Kalau tidak mendapat cuan besar dari harga, dividen masih bisa jadi pegangan yang nyaman,” ungkapnya.
Strategi ini menekankan pentingnya disiplin reinvestasi, misalnya dengan mengalokasikan sebagian dividen untuk biaya hidup dan sisanya untuk akumulasi aset jangka panjang. Rivan memberikan tips investor bisa memilah daftar saham yang rajin membagikan dividen setiap tahunnya. Saham-saham tersebut memiliki jadwal pembagian dividen masing-masing, sebagian membagi dividen 2 kali setahun.
“Sehingga investor bisa setiap bulan mendapatkan dividen dari saham yang berbeda. Dengan begitu, dividen pun bisa diandalkan sebagai sumber cashflow bulanan pebisnis,” dia menjelaskan.
Dia menekankan investor tidak mesti berfokus ke saham-saham konglomerasi yang saat ini sedang tren. Saham perbankan, termasuk bank digital dan syariah juga bisa dipertimbangkan karena kinerjanya mulai mencatatkan laba. Meski begitu, untuk saham rokok yang akhir-akhir ini rebound seiring wacana penurunan cukai, Rivan menyarankan investor tetap mencermati kinerja fundamentalnya yang masih dibayangi tren penurunan pasar dan gempuran rokok ilegal.
“Investor bisa juga mencermati sektor komoditas. Emas yang terus mencetak rekor harga, CPO yang sedang naik daun, hingga batu bara yang berpotensi kembali menjadi primadona di 2026. Di tengah ketidakpastian geopolitik global, oil & gas juga perlu dicermati,” dia memaparkan.
Ibarat Main Bola SBN untuk Defensif, Emas Bisa Ofensif
Deni Ridwan, Direktur Pembiayaan Syariah DJPPR Kementerian Keuangan mengibaratkan pengelolaan investasi seperti seorang manajer sepak bola. Investor bisa memilih instrumen rendah risiko seperti Surat Berharga Negara (SBN) Ritel, reksadana pasar uang hingga emas sebagai pertahanan (defensif). Di sisi lain instrumen saham hingga kripto bisa dipilih sebagai instrumen agresif (ofensif).
“SBN Ritel memberikan kupon bulanan sehingga bisa diandalkan pebisnis untuk sumber cashflow bulanan. Adapun SBN non ritel kuponnya dibagikan per 6 bulan. Tapi ini harus dikembalikan ke tujuan dan profil risiko investor,” kata dia.
Mempertimbangkan tren penurunan suku bunga acuan, kata Deni, investor disarankan untuk segera mengamankan investasi di SBN Ritel yang ditawarkan saat ini dengan imbal hasil kompetitif. Sebab suku bunga BI dan AS diperkirakan masih akan turun hingga 2026. Hal ini biasanya diikuti oleh penurunan yield SBN, sehingga penawaran SBN Ritel di masa mendatang berpotensi menawarkan kupon lebih rendah.
“Dalam berinvestasi, ibarat sepak bola, attacks win you games, but defence wins you titles. Menang jangka pendek perlu, tapi fondasi jangka panjang lebih penting,” ujar Deni.
Berdasarkan beberapa lelang SBN beberapa waktu terakhir, tenor panjang lebih diminati investor. Karena itu, Deni merekomendasikan investor bisa mempertimbangkan SBN tenor panjang.
Andreas Setiawan Santoso, CEO dan Co-founder Treasury mengungkapkan zaman dulu emas memang selalu dianggap sebagai instrumen safe haven atau lindung nilai (hedging). Namun akhir-akhir ini, dari sisi return emas seperti instrumen agresif dengan kenaikan 14-15% sebulan.
“Sehingga saat ini muncul dua tipe investor emas. Yakni tipe coba saja beli rutin tiap bulan, atau tunggu harga turun baru beli. Ternyata harganya nggak turun-turun, akhirnya nggak jadi beli,” dia mengungkapkan.
Andreas mengibaratkan sesuatu yang paling berbahaya bagi rumah ialah rayap, sama halnya dengan investasi musuh utamanya adalah inflasi. Besarnya inflasi harus mampu dikalahkan oleh hasil investasi, karena meskipun ada pemasukan rutin seperti transfer bulanan, nilainya tetap tergerus jika kalah oleh inflasi.
“Oleh karena itu, rata-rata imbal hasil investasi (average return) wajib melampaui laju inflasi agar kekayaan tetap terjaga nilainya,” dia menjelaskan.
Fajar Wibisono, CEO HUMANIS mengisahkan tantangan terbesar yang dia hadapi dalam melindungi aset dari gerusan inflasi, pelemahan rupiah, dan gejolak pasar global yang langsung memengaruhi arus kas bisnis. Karena itu, dia menilai emas fisik jadi instrumen lindung nilai yang efektif.
“Bukan hanya karena sejak ribuan tahun lalu disebut dalam kitab suci Injil dan Al-Qur’an, tetapi juga karena data historis menunjukkan rata-rata imbal hasil 10,28% per tahun selama 40 tahun terakhir, bahkan kenaikan harga rata-ratanya mencapai 12,4% per tahun,” dia mengungkapkan.
Emas memberi proteksi sekaligus likuiditas, bisa dijadikan jaminan, hingga untuk kebutuhan besar seperti persiapan ibadah haji (ongkos naik haji/ONH). Dari hasil riset yang dia lakukan, ONH justru jadi semakin murah jika dibandingkan dengan emas logam mulia, meskipun secara nilai terus naik. Pada 2001, ONH senilai Rp22 juta, naik jadi Rp58,5 juta pada 2024.
“Namun jika dikonversikan dengan emas logam mulia pada 2001 setara 285 gram, turun jadi 53 gram di 2024 dan bahkan bisa di bawah 50 gram di 2025 ini,” dia menjelaskan.
Cara Cerdas Kelola Idle Cash
Victor Teja, Chief Retail Officer Syailendra Capital menggarisbawahi fenomena banyak pebisnis menyimpan dana idle (menganggur) perusahaan di giro atau deposito. Padahal imbal hasilnya rata-rata hanya 3-4% per tahun di bank besar, setelah dipotong pajak 20% tinggal 2,5-3,2%. Langkah itu justru membuat opportunity cost tinggi karena dana tidak tumbuh optimal. “Di tengah inflasi dan kenaikan biaya, strategi idle cash seperti itu jadi tidak efisien,” dia menjelaskan.
Salah satu cara cerdas mengoptimalkan dana idle ialah dengan investasi di reksadana. Sebab imbal hasil reksadana tidak dikenai pajak, sementara instrumen lain masih harus dipotong pajak. Selain itu, dana idle tersebut juga akan digerus inflasi.
“Misalkan menyimpan dana menganggur Rp100 juta dalam 10 tahun ke depan, jika hanya disimpan tunai nilainya masih tetap Rp100 juta, disimpan di tabungan naik jadi Rp110 juta, dan jika diinvestasikan bisa tumbuh jadi Rp136 juta,” dia menjelaskan.
Alternatif lain yang bisa dipertimbangkan investor untuk mengelola dana idle perusahaan adalah dengan menempatkannya di reksadana berbasis obligasi korporasi. Victor menjelaskan reksadana ini bisa memberikan potensi imbal hasil hingga 9% persen tahun, sudah bersih tidak dipotong pajak. Selain itu juga likuid bisa dicairkan kapan saja.
“Produk investasi reksadana yang mengoptimalkan dana idle salah satunya di reksadana pendapatan tetap dengan underlying obligasi korporasi,” kata dia.
(Ni Putu K/AM)
***
- Download super app investasi Bareksa di App Store
- Download super app investasi Bareksa di Google Play Store
- Daftar akun di Bareksa sebagai pelaku usaha di sini
DISCLAIMER
Investasi mengandung risiko dan seluruhnya menjadi tanggung jawab pribadi investor. Bareksa membuat informasi ini dari materi dan sumber-sumber terpercaya, serta tidak dipengaruhi pihak manapun. Informasi ini bukan merupakan ajakan, ataupun paksaan untuk melakukan transaksi dan Bareksa tidak memberikan jaminan atas transaksi yang dilakukan.
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
| Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
|---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Obligasi Nusantara autodebet | 1.199,47 | ||||||
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.180,11 | - | - | ||||
Syailendra Sharia Fixed Income Fund Kelas A | 1.150,79 | - | - | ||||
Eastspring Syariah Mixed Asset Fund Kelas A | 1.033,05 | - | - | - | - | - |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.