Bareksa.com - Pasar modal sepanjang semester I 2023 bergejolak, akibat sentimen kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang agresif menaikkan suku bunga acuannya.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pasar saham pada Juni 2023 menguat 0,43% sepanjang bulan berjalan (MTD) ke level 6.661,88 setelah pada Mei 2023 melemah 4,08%, meskipun investor asing (non-resident) mencatatkan outflow Rp4,38 triliun.
Penguatan IHSG pada Juni terbesar dicatatkan oleh saham di sektor transportasi & logistik dan keuangan. Sepanjang 6 bulan pertama di 2023, investor non-residen membukukan net buy Rp16,21.
Di pasar obligasi, indeks pasar obligasi ICBI menguat 0,96% dan 6,48% sepanjang semester I 2023 ke level 367,12. Untuk pasar obligasi korporasi, aliran dana masuk investor non-residen tercatat Rp22,85 miliar pada Juni, namun di semester I 2023 tercatat outflow Rp637,86 miliar.
Pasar Surat Berharga Negara (SBN) masih melanjutkan tren positif dan membukukan dana masuk investor asing. Per 27 Juni 2023, investor non-residen mencatatkan inflow cukup signifikan Rp17,53 triliun sebulan, sehingga mendorong penurunan ekspektasi imbal hasil (yield) SBN rata-rata 1,32 basis poin di seluruh tenor.
Sepanjang 6 bulan pertama di 2023, yield SBN turun rata-rata 7,55 bps di seluruh tenor dengan investor asing mencatat net buy Rp84,7 triliun.
Melihat gejolak pasar modal di semester I 2023, bagaimana prediksi di semester II? Berikut penjelasan dari Katarina Setiawan – Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) dalam ulasan pasar saham - Seeking Alpha Edisi Juli 2023 :
Pada awal tahun ini, terdapat pandangan bahwa The Fed atau Bank Sentral Amerika, sudah mendekati puncak suku bunga dan bahkan terdapat potensi pemangkasan suku bunga. Memasuki paruh kedua 2023, apakah pandangan tersebut masih valid?
Katarina menyampaikan perekonomian AS ternyata menunjukkan daya tahan yang lebih kuat dari ekspektasi, terutama didukung oleh konsumsi masyarakat di sektor jasa yang kuat. Di sisi lain, inflasi ternyata juga lebih persisten dari ekspektasi yang membuat The Fed mengindikasikan kenaikan suku bunga lebih lanjut masih dapat terjadi.
Menurut dia, kondisi ini tidak hanya terjadi di AS, tapi juga di kawasan negara maju lain seperti Kanada, Inggris, dan Australia yang mengindikasikan pandangan yang serupa dengan The Fed.
"Kami melihat terdapat pergeseran pandangan pasar bahwa puncak suku bunga dan pemangkasan suku bunga diperkirakan dapat mundur dari ekspektasi di awal tahun yang membuat masih ada elemen ketidakpastian di pasar saat ini," ucap Katarina.
Apakah kenaikan suku bunga yang lebih tinggi lagi dapat memperbesar risiko resesi ekonomi?
Katarina menjelaskan bahwa kondisi ekonomi yang lebih resilien meningkatkan ekspektasi bahwa risiko resesi menjadi lebih rendah. Dalam proyeksinya, The Fed merevisi naik proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun ini dari 0,4% menjadi 1%, didukung oleh konsumsi masyarakat yang lebih kuat.
Sementara itu dalam laporan The Fed San Francisco, diperkirakan simpanan tambahan masyarakat di periode pandemi mencapai US$2,1 triliun, karena adanya stimulus dan tendensi untuk menahan pengeluaran di kondisi pandemi. Saat ini simpanan tersebut diestimasi masih tersisa US$500 miliar, yang sehingga diperkirakan masih dapat menopang konsumsi masyarakat hingga akhir tahun ini.
"Dengan konsumsi masyarakat yang lebih kuat dari perkiraan dan sektor tenaga kerja yang resilien, masih ada harapan bagi The Fed untuk mencapai soft landing, kondisi di mana inflasi menurun tanpa menyebabkan resesi ekonomi sampai akhir tahun ini," kata Katarina.
Di awal tahun, pembukaan ekonomi China dipandang sebagai katalis bagi pasar Asia. Namun dengan kabar pemulihan ekonomi China yang mengecewakan, apakah ini dapat mengurangi minat investor terhadap Asia?
Katarina menilai kalau pandangan investor asing terhadap Asia tidak hanya bergantung pada outlook China. "Kami melihat investor asing melakukan pemilihan investasi dengan lebih selektif, memilih negara yang memiliki kondisi konsumsi domestik kuat, kebijakan suku bunga sudah mendekati puncak, atau memiliki peranan di rantai pasok teknologi dunia," paparnya.
Dia menyampaikan preferensi ini terlihat dari arus dana asing yang positif di pasar saham Taiwan, Korea Selatan, India dan Indonesia. Keempatnya diperkirakan sudah mencapai puncak suku bunga, di samping itu India-Indonesia adalah negara dengan karakter konsumsi domestik yang kuat, serta Taiwan-Korea Selatan berperan besar dalam rantai pasok teknologi dunia yang diuntungkan dari ekspektasi perbaikan inventori dan perkembangan artificial intelligence. Jadi masih terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan di pasar Asia selain China.
Beralih ke domestik, bagaimana arah kebijakan suku bunga BI mengingat The Fed berpotensi menaikkan suku bunga lebih tinggi dari perkiraan?
"Kami melihat BI masih memiliki ruang untuk mempertahankan suku bunga, tidak perlu ikut bergerak naik mengikuti The Fed. Kondisi makroekonomi domestik yang suportif memberi ruang fleksibilitas bagi BI," kata Katarina.
Dia menyampaikan tingkat inflasi terus melandai, nilai tukar rupiah tetap di level yang terjaga, serta surplus neraca perdagangan dan arus dana asing ke pasar finansial Indonesia menjadi faktor pendukung bagi BI untuk mempertahankan suku bunga. Mesi begiti, BI menegaskan fokus kebijakan saat ini adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
"Karena itu risiko terhadap stabilitas rupiah seperti pelemahan kinerja perdagangan Indonesia, atau perubahan selera investasi asing ke pasar finansial Indonesia dapat menjadi faktor yang mendorong postur kebijakan BI untuk berubah," ucapnya.
Bagaimana outlook ekonomi Indonesia di paruh kedua 2023 di tengah kondisi global yang masih dibayangi ketidakpastian?
Kondisi makroekonomi Indonesia dalam posisi yang baik dan berpotensi untuk lebih baik di paruh kedua tahun ini. Di paruh pertama tahun ini narasi terkait pembukaan ekonomi dan turunnya inflasi domestik menjadi sorotan utama yang menjadi katalis bagi Indonesia.
"Ke depannya, kami melihat terdapat potensi katalis bagi ekonomi dari belanja pemerintah yang dapat dimaksimalkan, dan dampak positif dari periode menjelang periode Pemilu 2024," kata Katarina.
Dia menjelaskan pemerintah mencatat surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp153 triliun per Juni 2023, di mana pendapatan mencapai 57% dari target, sementara belanja negara baru 41% dari target. Sehingga masih ada potensi belanja negara yang bisa dimaksimalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di paruh kedua.
"Selain itu periode kampanye Pemilu diperkirakan dapat berdampak positif bagi konsumsi masyarakat. Anggaran pelaksanaan pemilu serentak 2024 mencapai Rp76 triliun, belum termasuk dana yang akan digelontorkan oleh partai politik. Besarnya perputaran dana dalam pesta politik ini dapat berdampak positif bagi konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi," ujar Katarina.
Melemahnya ekonomi global semakin menekan kinerja perdagangan global. Bagaimana implikasinya terhadap Indonesia?
Katarina Setiawan menjelaskan Indonesia tidak luput dari melemahnya permintaan dunia, terlihat dari kinerja ekspor yang melemah. Sepanjang tahun ini hingga bulan Mei, ekspor mengalami kontraksi 6,01% secara tahunan (YOY,) dengan ekspor ke berbagai negara mengalami kontraksi cukup dalam seperti ke AS minus 23% dan Uni Eropa turun 13% (YOY).
Menurut dia, positifnya, ekspor ke China masih mencatat pertumbuhan 11%, jadi pemulihan ekonomi China – meskipun moderat – memberikan dukungan bagi Indonesia. "Selain itu kami melihat pemulihan ekonomi domestik dapat membantu memitigasi pelemahan global," dia menjelaskan.
Menurut dia, aktivitas sektor manufaktur Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan, di mana PMI manufaktur berada di level 52,5 pada Juni, secara konsisten berada di zona ekspansi selama 22 bulan berturut-turut, berlawanan dengan sektor manufaktur global yang mengalami kontraksi. Meningkatnya permintaan domestik mendorong kinerja manufaktur Indonesia, memitigasi melemahnya permintaan eksternal.
Bagaimana outlook pasar saham dan obligasi Indonesia untuk paruh kedua tahun ini?
Katarina Setiawan menyampaikan PT Manulife Aset Manajemen Indonesia sebagai perusahaan manajer investasi terbesar di Indonesia memiliki pandangan yang konstruktif bagi pasar obligasi dan saham Indonesia ke depannya.
"Pasar obligasi dapat menjadi pertimbangan bagi investor dengan profil risiko yang lebih konservatif, karena kondisi makroekonomi yang kondusif dengan inflasi terus melandai dan kebijakan suku bunga sudah di puncak merupakan iklim yang suportif bagi kinerja pasar obligasi," kata Katarina.
Kondisi fiskal pemerintah yang sehat dengan kemungkinan penerbitan SBN dikurangi juga menjadi faktor positif bagi pasar obligasi. "Sementara itu kelas aset saham dapat dipertimbangkan untuk investor dengan profil lebih agresif, atau sebagai booster bagi portofolio investor," katanya.
Dia melihat saham merupakan kelas aset yang undervalued sepanjang tahun ini, karena secara fundamental kinerja emiten dalam pasar saham mencatat kinerja yang positif di kuartal pertama, dan investor asing juga memiliki pandangan positif terhadap pasar saham Indonesia, tercermin dari pembelian bersih asing mencapai US$1,1 miliar tahun ini per Juni 2023.
Namun sayangnya, faktor-faktor tersebut belum diapresiasi oleh pasar. Valuasi pasar saham telah turun ke level yang atraktif dengan forward PE ratio di kisaran 12x, di bawah rata-rata jangka panjang di kisaran 15x yang memberikan entry point menarik bagi investor.
"Kami melihat pertumbuhan konsumsi domestik di semester kedua, dan sinyal The Fed sudah mencapai puncak kebijakan suku bunga berpotensi menjadi katalis yang dapat menggerakkan kinerja pasar saham," kata Katarina.
Menurut Katarina bagi investor dengan horizon investasi jangka panjang, saat ini potensi hasil investasi di pasar saham terlihat menarik. "Bagi investor jangka panjang yang ingin berinvestasi di pasar saham, dapat juga melakukannya melalui investasi di reksadana saham," ujarnya.
Dia menyarankan agar investor memilah investasi di reksadana saham dengan strategi high conviction (yang pemilihan sahamnya lebih fleksibel, dengan deviasi lebih besar terhadap indeks acuan) serta strategi core (yang pemilihan sahamnya tidak berdeviasi jauh dari indeks acuan). "Masing-masing strategi memiliki karakteristiknya," pesannya.
Ia menjelaskan bahwa strategi high conviction berpotensi mencatat hasil lebih tinggi ketika pemilihan saham diapresiasi pasar, namun strategi ini juga cenderung menunjukkan volatilitas lebih tinggi dibandingkan strategi core. Lebih lanjut strategi high conviction lebih cocok bagi investor dengan profil risiko agresif dan telah memiliki pengetahuan cukup terkait investasi di pasar saham.
Katarina berpesan investor sebaiknya melakukan pemilihan investasi sesuai dengan profil risiko, tujuan investasi, serta horizon investasi.
(Martina Priyanti/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.