Bareksa.com - Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai minat masyarakat untuk berinvestasi di produk berbasis environment, social and governance (ESG) semakin meningkat. Pada akhir 2021, total dana kelolaan reksadana berbasis ESG mencapai Rp 3,5 triliun.
Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi menjelaskan, pihaknya berkomitmen untuk mendukung penerapan aspek ESG di pasar modal Indonesia. Penerapan ESG pada produk investasi secara tidak langsung bisa mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, sekaligus memberikan rasa aman karena investasi dilakukan pada perusahaan yang menerapkan tata kelola yang baik.
Hasan menyebutkan, pertumbuhan investasi berkelanjutan sudah terjadi, tidak hanya di global namun juga di Indonesia. Sejak pertama diluncurkan di tahun 2014, jumlah produk dan besaran dana yang dikelola reksadana berbasis ESG meningkat drastis.
“Inisiatif yang berkelanjutan dan ESG ini yang dilakukan oleh manajer investasi, perusahaan, pemerintah, OJK, dan BEI bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara aspek yang terkait untuk mencapai kesejahteraan dan keuntungan dengan bertanggung jawab dan keberlangsungan lingkungan hidup,” ungkap Hasan, Selasa (22/3).
Hasan menambahkan, sampai akhir 2021, sudah terdapat 15 produk reksadana yang berdasarkan indeks saham bertema ESG, dengan nilai dana kelolaan Rp3,5 triliun. Jumlah dana kelolaan produk reksadana berbasis ESG juga meningkat secara drastis dibandingkan dengan lima tahun dengan hanya satu produk reksadana dengan dana kelolaan senilai Rp42 miliar.
Selain itu, pemerintah selalu menempatkan asas ESG dalam praktik bisnis di Indonesia. BEI juga memiliki empat indeks ESG, yaitu IDX ESG Leaders, SRI KEHATI, ESG Sector Leaders IDX KEHATI, dan ESG Quality 45 IDX KEHATI.
Menurut Hasan, penerapan ESG dalam berinvestasi seharusnya tidak bisa dihindari. Di luar negeri, ia mencontohkan, ada sanksi atau hukuman kepada perusahaan tercatat yang belum menerapkan ESG. Di Indonesia, sanksi memang belum ada, namun bursa sudah mewajibkan pelaporan sustainability report secara bertahap.
"Tahun 2021 lalu, ada 153 emiten yang menyampaikan sustainability report atau hampir 20 persen dari total perusahaan tercatat," kata dia dalam sebuah webinar akhir tahun lalu.
Hasan optimistis akan semakin banyak emiten yang menyampaikan sustainability report. Sebab, saat ini baru emiten besar (aset di atas Rp 250 miliar) yang wajib menyampaikan laporan. Pada 2022, emiten berkategori medium (dengan aset Rp 50 miliar hingga Rp 250 miliar) juga akan diwajibkan. Selanjutnya, pada 2024, atau untuk pelaporan 2025, seluruh emiten harus mengirimkan laporan.
Ia mengatakan kesadaran akan pentingnya ESG ini yang harus lebih dulu ditekankan pada perusahaan tercatat. "Biar mereka bersaing untuk bisa masuk ke indeks ESG. Kalau tidak masuk, nanti jadi malu sendiri.”
BEI juga mewadahi emiten ini dalam bentuk ESG scoring yang bisa menjadi acuan seberapa ‘hijau’ perusahaan tersebut. Emiten ini juga bisa memamerkan prestasinya dalam website yang dirancang khusus, yakni Microsite ESG.
"Situs ini bisa dilihat investor lokal dan global, seberapa jauh emiten menerapkan ESG.” Juga tersedia materi yang bisa menjadi bukti, bila ada pertanyaan kepada perusahaan tersebut.
Untuk mendorong penerapan ESG, BEI memberikan stimulus bagi emiten yang menerbitkan instrumen investasi hijau seperti green bond. Insentif berupa diskon 50 persen biaya pencatatan tahunan, bila emiten menerbitkan obligasi atau sukuk ramah lingkungan.
(K09/AM)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.