Bareksa.com - Bingung bagaimana menangkap peluang investasi reksadana di tengah kondisi perekonomian saat ini? Freddy Tedja, Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia atau Manulife AM (MAMI), dalam ulasan berikut memberikan saran bagaimana sebaiknya strategi investasi, termasuk di reksadana sekarang ini.
Freddy mengatakan berbekal pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik dalam menangani pandemi dan ditopang oleh tingkat vaksinasi yang semakin tinggi, dampak gelombang ketiga pandemi Covid-19 atau omicron wave, terhadap perekonomian dan pasar finansial terlihat lebih terbatas dibandingkan gelombang-gelombang sebelumnya di tahun 2020 dan 2021.
Menurut Freddy sinyal keberlanjutan pemulihan ekonomi di Indonesia terlihat dengan terjadinya peningkatan siklus investasi dan konsumsi masyarakat yang menjadi katalis penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Peningkatan siklus investasi ditandai dengan kenaikan impor barang mentah dan barang modal, sedangkan peningkatan konsumsi masyarakat terjadi seiring dengan tingginya harga komoditas yang dapat mendorong konsumsi," kata Freddy dalam keterangan tertulisnya kepada media, Rabu (23/2/2022).
Baca Ketidakpastian Meningkat, Bagaimana Strategi Investasi yang Tepat?
Ia menjelaskan stabilitas nilai tukar rupiah didukung indikator stabilitas makroekonomi seperti suku bunga riil, inflasi, neraca transaksi berjalan, dan cadangan devisa yang menunjukkan perbaikan solid membuat Indonesia lebih kuat dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter global.
Selain itu, rendahnya kepemilikan investor asing di pasar modal, baik di pasar saham maupun obligasi, juga menurunkan risiko volatilitas nilai tukar jika terjadi arus dana keluar dari Indonesia saat sentimen global memburuk.
Freddy menilai untuk menjaga keseimbangan antara menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan stabilitas rupiah, Bank Indonesia (BI) untuk sementara waktu diperkirakan akan mempertahankan tingkat suku bunga acuan (selama inflasi masih terjaga), tetapi menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap hingga September 2022.
Lebih lanjut ia menjelaskan dana sekitar Rp200 triliun atau setara 1,1 persen dari PDB, akan ditarik dari sektor perbankan, nilai yang setara dengan 25 persen dari Rp800 triliun likuiditas yang disuntikkan oleh Bank Indonesia sejak awal pandemi.
Lihat MAMI : Fundamental Ekonomi Solid, Investor Bisa Investasi di New Economy
Menurut Freddy, The Fed telah mempertegas perubahan arah kebijakannya, dengan lebih menekankan pada pentingnya penanggulangan inflasi, memberikan sinyal kenaikan suku bunga lebih cepat dan sinyal pengurangan neraca (quantitative tightening).
Nah, ia melanjutkan seiring perubahan arah kebijakan ini, antisipasi pasar terhadap jumlah kenaikan suku bunga menjadi semakin agresif, berada pada kisaran kenaikan 4-5 kali di tahun 2022 ini. Namun, ia mengingatkan bahwa dalam memutuskan kebijakan, The Fed akan tetap data dependent. Artinya, keputusan menaikkan suku bunga akan tetap didasari pada perkembangan data perekonomian terkini, terutama terkait inflasi, arah pertumbuhan ekonomi, dan pandemi COVID-19.
"Sangat wajar jika terjadi sedikit volatilitas pasar pada periode kenaikan suku bunga The Fed. Namun stabilitas makroekonomi Indonesia saat ini yang jauh lebih baik dibandingkan dengan data-data periode kenaikan suku bunga The Fed di masa lalu, membuat Indonesia jauh lebih kuat dalam menghadapi kenaikan ini," kata Freddy.
Di sisi lain dalam beberapa pekan terakhir, perhatian dunia tengah berfokus pada ketegangan antara dua negara yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet, yaitu Rusia dan Ukraina. Secara geografis, Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia dan Uni Eropa. Sementara secara geopolitik, saat ini Ukraina terlihat lebih mendekat ke Eropa.
"Perkembangan invasi Rusia ke Ukraina menjadi salah satu risiko yang harus diwaspadai, karena dapat menimbulkan peningkatan volatilitas di pasar finansial dunia. Sebagai negara penghasil komoditas, baik di bidang pertambangan maupun pertanian - terutama gandum, invasi Rusia ke Ukraina dapat menambah beban pada meroketnya inflasi dunia," katanya.
Baca Bareksa Insight : Konflik Ukraina Kian Memanas, Aset Ini Makin Diburu Investor
Freddy mengatakan mencermati risiko dan menangkap peluang yang ada, dapat disimpulkan bahwa perbaikan fundamental ekonomi Indonesia berperan sebagai penopang sentimen di pasar saham domestik.
"Kesiapan Indonesia dalam menghadapi perubahan kebijakan moneter dan fiskal di tahun ini ditunjukkan oleh aliran dana asing yang masuk secara stabil ke pasar saham Indonesia," ujarnya.
Ia melanjutkan optimisme pemulihan aktivitas ekonomi, fundamental ekonomi yang semakin baik, stabilitas nilai tukar rupiah, serta pendekatan investor yang forward looking past pandemic mendorong masuknya aliran dana asing di pasar saham Indonesia.
Sementara itu, pasar obligasi Indonesia sudah lebih siap dalam menghadapi volatilitas eksternal. Kondisi fundamental yang suportif menjadi penopang pasar obligasi Indonesia di tengah tingginya sentimen eksternal.
Menurutnya fundamental yang suportif terlihat dari imbal hasil riil yang tinggi, defisit neraca berjalan yang mengecil, cadangan devisa yang meningkat, likuiditas domestik yang memadai, dan pasokan yang terkendali.
"Di tengah kondisi saat ini, investor harus melakukan diversifikasi portofolio investasi. Investasi pada kedua instrumen, baik saham maupun obligasi, akan menjaga risk-return portofolio investor," kata Freddy.
Sementara investasi pada saham, kata dia, dapat menjadi performance kicker yang didukung oleh potensi pemulihan ekonomi, sedangkan obligasi dapat memberikan kinerja yang lebih moderat dengan risiko yang lebih rendah.
"Keduanya sebaiknya dimiliki oleh investor sebagai diversifikasi aset pada portofolio di tengah kondisi global yang fluktuatif," ucapnya.
Diversifikasi portofolio bisa dilakukan dengan memiliki reksadana yang berbasis saham dan obligasi yaitu reksadana saham dan reksadana pendapatan tetap. Reksadana saham memiliki potensi tinggi untuk jangka panjang tetapi risikonya juga tinggi, sementara reksadana pendapatan tetap bisa memberikan imbal hasil moderat dan risiko yang lebih rendah dalam jangka menengah.
Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan, dalam setahun terakhir (per akhir Januari 2021 – akhir Januari 2022), reksadana sahamManulife Saham Andalan (MSA) mencatatkan kinerja sebesar 23,44 persen. Pada periode yang sama, reksadana pendapatan tetapManulife Pendapatan Bulanan II (MPB II) mencatatkan kinerja sebesar 3,37 persen dan Manulife Obligasi Unggulan (MOU) memberikan imbal hasil sebesar 5,45 persen.
"Di tengah kondisi perekonomian yang kondusif, investor tetap disarankan untuk melakukan diversifikasi portofolio dengan porsi yang sesuai dengan tujuan keuangan dan profil risiko masing-masing investor," ujar Freddy.
(Martina Priyanti/hm)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan in
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak menjamin kinerja masa depan. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.