Bareksa.com - Dalam berinvestasi, kita sebagai investor pasti tidak ingin mengalami kerugian. Namun, setiap investasi pasti ada risikonya dan penurunan nilai investasi pun tidak dapat dielakkan.
Sepanjang tahun ini, salah satu risiko yang tidak dapat dihindari adalah pergerakan pasar saham yang turun tertekan pandemi virus corona Covid-19. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi acuan pasar modal sepanjang tahun ini sudah turun 21 persen (per 6 Juli 2020).
Indeks LQ45, yang berisikan saham-saham paling likuid dengan fundamental baik, juga turun 24 persen. Seiring dengan IHSG, rata-rata reksadana saham yang tercermin dari Indeks Reksadana Saham Bareksa juga turun 22 persen sejak awal tahun hingga 6 Juli 2020 (year to date/YTD).
Sebagian investor reksadana, terutama yang menaruh dananya di reksadana saham atau reksadana indeks saham, sepanjang tahun ini menghadapi penurunan nilai investasi karena risiko pasar. Nilai portofolio mereka bisa saja minus, alias lebih kecil daripada nilainya di awal tahun.
Menghadapi hal ini, apa yang bisa dilakukan?
Bagi investor dengan pandangan investasi jangka panjang, pasar saham yang sedang turun ini bisa menjadi momentum untuk membeli (top up) di harga yang murah. Namun, sebaiknya pembelian ini dilakukan tidak sekaligus melainkan dengan bertahap atau disebut dollar cost averaging (DCA).
Cara investasi dengan metode dollar cost averaging adalah investasi secara bertahap atau berkala, sehingga mendapatkan harga rata-rata. Dengan cara investasi yang juga dikenal sebagai investasi berkala atau bertahap ini, kita berinvestasi dengan nilai uang dalam dolar (rupiah) yang sama tiap bulan.
Strategi ini berbeda dengan cara investasi sekali beli (lump sum), yang sangat mengandalkan pada momen tepat alias market timing. Untuk investor kebanyakan, sangat sulit memprediksi pasar dan market timing tepat untuk masuk ke pasar saat harga termurah.
Jadi, meski IHSG turun dan portofolio sedang minus, investor dengan metode DCA tetap menambah (top up) reksadana indeks saham. Pada saat pasar saham sedang turun, mengapa kita malah menambah atau top up reksadana indeks saham?
Untuk memahaminya, mari kita gunakan simulasi investor A melakukan metode dollar cost averaging sementara investor B menggunakan cara investasi strategi lump sum.
Contoh, pada 1 Februari 2020 investor A memiliki portofolio reksadana indeks saham senilai Rp20 juta. Kemudian, dengan rutin investor A membeli (top up) reksadana indeks saham tersebut senilai Rp20 juta setiap bulan di tanggal 23. Hasilnya, nilai pokok investasi sebesar Rp120 juta.
Dalam perjalanannya, nilai investasi bisa naik-turun. Seperti terlihat dalam grafik, di bulan Maret, April dan Mei hasil investasi (abu-abu) berada di bawah dana investasi (hijau). Akan tetapi, sekarang setelah sekitar 6 bulan berinvestasi, nilainya naik menjadi Rp121,93 juta per 6 Juli 2020.
Artinya, ada pertumbuhan senilai Rp1,93 juta atau sekitar 1,6 persen dari modal investasinya.
Grafik Simulasi Hasil Investasi Investor A dengan Metode Dollar Cost Averaging
Sumber: Bareksa.com
Sementara itu, investor B pada 1 Februari 2020 membeli reksadana indeks saham yang sama dengan nilai Rp120 juta. Kemudian dia tidak menambah nilai investasinya hingga saat ini.
Hasilnya, nilai investasinya hanya mengikuti pergerakan pasar saja yang sedang tertekan saat ini. Nilainya kini per 6 Juli 2020 menjadi tinggal Rp90,97 juta alias turun 24,19 persen.
Grafik Simulasi Hasil Investasi Investor B dengan Metode Lump Sum
Sumber: Bareksa.com
Berdasarkan hasil simulasi tersebut, kita bisa memahami bahwa risiko pasar saham tidak bisa dihindari. Akan tetapi, kita bisa menyiasatinya dan meraih potensi investasi optimal dengan cara investasi yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kantong kita.
Dengan strategi DCA, meskipun nilai investasi awal berkurang, kita membelinya kembali di harga yang murah dan mendapatkan harga rata-rata lebih rendah. Sehingga, ketika pasar saham menguat, nilai investasi kita bisa ikut naik.
Strategi dollar cost averaging cocok untuk investor yang tidak punya banyak waktu memantau pergerakan pasar dan memiliki dana terbatas. Sementara itu, strategi lump sum mungkin baik bila investor tahu pasti kapan waktu yang tepat masuk ke pasar, dan memiliki dana besar sekaligus.
Sebagai informasi reksadana adalah kumpulan dana investor yang dikelola oleh manajer investasi untuk dimasukkan ke dalam aset-aset keuangan, seperti saham, obligasi dan pasar uang. Adapun reksadana indeks saham adalah reksadana yang mengacu pada indeks saham tertentu seperti LQ45, IDX30 atau MSCI Indonesia.
Baik reksadana saham ataupun reksadana indeks saham cocok untuk investor dengan profil risiko tinggi (risk taker) dan memiliki pandangan investasi jangka panjang sekitar 5 tahun atau lebih.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.