Bareksa.com - Direktur dan Portfolio Manager PT Schroders Investment Management Indonesia, Irwanti menjelaskan beberapa strategi perseroan dalam memitigasi fluktuasi pasar akibat dampak wabah virus corona. Ia menyampaikan dampak penyebaran virus corona, tidak hanya berpengaruh pada pasar saham tapi juga nilai tukar rupiah dan Surat Utang Negara (SUN). Meski begitu, dampak pada ketiganya berbeda-beda.
"(IHSG, rupiah, dan SUN) tentu saja masih akan berfluktuasi ke depannya karena ketidakpastian yang diakibatkan oleh wabah virus corona ke ekonomi dan bisnis global. Akan tetapi, kinerja pasar saham Indonesia lebih lemah jika dibandingkan kebanyakan pasar saham di luar tahun ini sehingga secara valuasi pasar saham kita berada di level yang menarik," ujarnya kepada Bareksa (4/3/2020).
Menurut Irwanti, untuk kinerja SUN akan lebih stabil jika dibandingkan kinerja saham. Sebab dampak corona ini akan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi global sehingga regulator akan mengimbangi dampak negatif terhadap ekonomi dengan mengeluarkan kebijakan stimulus.
Irwanti mengakui, dampak wabah virus corona yang terasa di pasar saham dan obligasi mau tak mau juga mempengaruhi kinerja reksadana Schroders. "Kami tetap defensive untuk saham karena pasar masih akan menghadapi ketidakpastian akibat wabah virus COVID-19. Kami tetap memilih saham berkualitas tinggi dengan fundamental yang baik dan defensive pada kondisi ini," ucapnya.
Sementara pada obligasi, ia melanjutkan, kalau Schroders mengurangi durasi Schroders ke netral di obligasi untuk menghadapi ketidakpastian pasar.
"Dengan rupiah yang melemah dan menghadapi ketidakpastian global, saat ini kami lebih memilih untuk defensive sampai mendapatkan kejelasan tentang dampak dari wabah virus COVID-19 pada ekonomi dan bisnis," lanjut dia.
bagi investor reksadana, Irwanti menyarankan agar investor tetap tenang dalam menanggapi dampak penyebaran virus corona pada pasar saham dan keuangan termasuk di Indonesia. Dia menyatakan sebaiknya investor tetap tenang dan tidak panik serta tetap fokus pada tujuan investasi jangka panjang.
"Untuk kondisi saat ini, strategi defensive bisa menjadi pilihan dengan mengedepankan fundamental yang baik dan prinsip kehati-hatian. Dalam situasi volatilitas, investor sebaiknya menilik kembali profil risiko investasi masing masing dan jika perlu melakukan portfolio rebalancing," kata Irwanti.
Ia menilai wabah virus corona berdampak pada seluruh pasar di mana pasar turun baik di Amerika Serikat, Asia maupun Eropa. Dampak tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian terhadap ekonomi dan bisnis global.
"Menurut pandangan kami pasar masih akan tetap berfluktuasi sampai dengan wabah ini menjadi stabil atau ditemukannya prosedur medis untuk menangani outbreak ini. Data makro dan laba perusahaan di kuartal I yang akan keluar pada April 2020 juga ada risiko untuk di bawah ekspektasi pasar," jelas Irwanti.
Untuk diketahui sepanjang bulan Februari 2020, bursa saham domestik kembali harus rela mengalami kinerja cukup mengecewakan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi tolok ukur bursa saham Tanah Air tercatat anjlok 8,2 persen sepanjang Februari 2020, lebih buruk dari bulan sebelumnya yang juga jatuh 5,71 persen. Alhasil secara year to date (YtD), IHSG sudah merosot 13,44 persen. Meluasnya wabah virus corona (COVID-19) di luar China menjadi faktor utama yang menekan kinerja IHSG pada Februari 2020.
Kondisi bursa saham Tanah Air yang anjlok tajam pada Februari 2020, turut memberikan tekanan terhadap kinerja reksadana yang berbasiskan instrumen saham dalam portofolionya.
Sumber: Bareksa
Berdasarkan data Bareksa, dua jenis reksadana yang memiliki aset saham dalam portofolionya yakni reksadana saham dan reksadana campuran kompak mencatatkan kinerja negatif dengan amblas masing-masing 6,77 persen dan 3,35 persen sepanjang bulan lalu.
Sementara dua jenis reksadana lainnya masih mampu bertahan yakni reksadana pendapatan tetap dengan kenaikan tipis 0,05 persen dan disusul reksadana pasar uang yang tidak berubah 0 persen.
AUM Schroders Januari 2020
Sumber : Bareksa
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Schroders menjadi salah satu manajer investasi yang masuk dalam jajaran top 5 dana kelolaan terbesar. Schroders berada di posisi keempat dengan AUM reksadana senilai Rp38,41 triliun
Top 5 Manajer Investasi Dana Kelolaan Terbesar Januari 2020
Sumber: OJK, diolah Bareksa
Schroder Investment Management Indonesia mencatatkan penurunan AUM 5,67 persen sepanjang Januari 2020. CEO Schroder Investment Management Indonesia Michael Tjandra Tjoajadi, sebelumnya menyatakan untuk keseluruhan produknya termasuk reksadana yang dijual kepada publik, Schroders menargetkan pertumbuhan AUM 7-8 persen. Sepanjang 2019, total AUM berkisar Rp76 triliun.
"Dana kelolaan kami turun. Harapannya memang kami bisa mencapai AUM Rp97 triliun. Tapi kan IHSG turun terus, sementara 60 persen aset kami di saham. Jadi pada 2019 AUM kami hanya sekitar Rp75 triliun sampai Rp76 triliun," ujarnya.
Untuk diketahui, reksadana ialah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut, nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi atau deposito.
Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.
Sebagaimana dikutip dari Bursa Efek Indonesia (BEI), reksadana dirancang sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal, mempunyai keinginan untuk melakukan investasi, namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas. Selain itu, reksadana juga diharapkan dapat meningkatkan peran pemodal lokal untuk berinvestasi di pasar modal Indonesia.
Reksadana memberikan imbal hasil (return) dari pertumbuhan nilai aset-aset yang ada di dalam portofolionya. Imbal hasil ini potensinya lebih tinggi dibandingkan dengan deposito atau tabungan bank.
Jenis reksadana yang dipilih, bisa disesuaikan dengan karakter kita apakah seorang high-risk taker, medium-risk taker, atau low-risk taker. Jika kurang berani untuk mengambil risiko rugi, bisa memilih reksadana pasar uang.
Sementara jika cukup berani tapi masih jaga-jaga untuk tidak terlalu rugi, bisa coba fixed income (reksadana pendapatan tetap) atau balanced (reksadana campuran). Jika cukup berani ambil risiko, bisa berinvestasi di reksadana saham (equity).
Perlu diketahui soal reksadana, selain aman karena diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), reksadana juga berpotensi memberikan imbal hasil optimal, bukan objek pajak, serta sangat berpeluang bisa mengalahkan angka inflasi.
Sekadar mengingatkan, demi kenyamanan berinvestasi pastikan dulu tujuan keuangan dan profil risiko kamu.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.