Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Jumat, 11 Oktober 2019 :
Pertumbuhan Ekonomi
Bank Dunia kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019. Perang dagang dan ketidakpastian global memicu ancaman jangka panjang. Dilansir Kompas (11/10/2019), Bank Dunia untuk kedua kalinya kembali merevisi proyeksi ekonomi Indonesia 2019 jadi 5 persen dari sebelumnya 5,2 persen.
Ekonomi Indonesia diperkirakan kembali tumbuh 5,1 persen pada 2020 dan 5,2 persen pada 2021. Adapun asumsi makro ekonomi Indonesia dalam APBN 2019 sebesar 5,3 persen. Namun pemerintah dan Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan 5,2 persen.
Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Frederico Gil Sander menyatakan sejumlah indikator ekonomi kawasan di bawah ekspektasi. Risiko penurunan pertumbuhan disebabkan eskalasi perang dagang AS-China, perlambatan Eropa, ketidakpastian Brexit, dan potensi resesi ekonomi AS. "Seluruh sinyal itu menyiratkan risiko ekonomi global makin meningkat," ujarnya.
PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) atau Bali United
Pengusaha Pieter Tanuri menjajaki peningkatan kepemilikan saham pada PT Bali Bintang Sejahtera Tbk (BOLA) dari saat ini 23,52 persen. Rencana itu seiring dengan kinerja pengelola klub sepakbola Bali United itu yang berpotensi meningkat tahun depan. Dilansir Investor Daily (11/10/2019), dalam laporan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) terkait kepemilikan efek di atas 5 persen, kepemilikan Pieter tercatat berkurang drastis menjadi 11,59 persen per 8 Oktober dibandingkan sehari sebelumnya 22,12 persen.
Menurut Pieter pengurangan kepemilikan saham miliknya hanya bersifat sementara. Ini karena adanya deposit sejumlah efek yang berfungsi untuk menaikkan trading limit dari kegiatan transaksi di Bursa. "Jadi istilahnya dipinjam dulu sebentar di KSEI, lalu nanti kembali lagi seperti semula. Jadi saya tidak melepas saham secara tiba-tiba dalam sehari," ungkapnya. Pieter menyatakan dirinya tidak menutup kemungkinan untuk menaikkan jumlah sahamnya di Bali United, apabila ada pihak yang menawarkan dengan harga menarik di pasar.
Dia mengaku selama ini menambah sahamnya secara bertahap setelah Bali United listing di BEI pada 17 Juni 2019. "Alasan saya adalah investasi. Saya percaya kinerja para pemain atau perusahaan melanjutkan tren positif," katanya. Namun Pieter tidak menyebutkan dana yang disiapkan untuk memborong saham BOLA tersebut. Sebagai informasi, selain Pieter, kepemilikan saham BOLA di atas 5 persen juga dimiliki oleh enam pihak lainnya. Di antaranya Miranda dan Ayu Patricia Rachmat masing-masing 5,25 persen, tiga perusahaan di bawah kendali Grup Salim, yakni PT Indolife Pensiontama, PT Asuransi Central Asia (ACA), dan PT Asuransi Jiwa Central Asia Raya masing-masing 5,39 persen, 8,8 persen dan 5,61 persen.
Financial Technology
Sebanyak enam penyelenggara financial technology peer to peer (P2P) lending memperoleh status berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Status tersebut didapat melalui proses ketat regulator dengan menimbang segala aspek dari kualitas model bisnis hingga mitigasi risiko berbasis teknologi. Keenam P2P lending itu adalah Modalku, KTA Kilat (pendanaan.com), Kredit Pintar, Maucash, Finmas dan KlikACC. Izin usaha tersebut berdasarkan surat keputusan OJK pada 30 September 2019 dengan nomor 81-85 dan 87/D.05/2019.
Dengan demikian hingga saat ini dari 127 penyelenggara P2P lending, yang memiliki status berizin sudah ada 13 penyelenggara. Sebelumnya 7 perusahaan sudah mendapatkan status berizin, yakni Danamas, Investree, Amartha, Dompet Kilat, KIMO, Toko Modal, dan Uang Teman. Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi mengatakan ketika fintech P2P lending mengajukan izin, pihaknya mematok beberapa pesyaratan yang harus dilalui.
"Pertama penyelenggara harus bisa membuktikan bisa berkolaborasi dengan perbankan guna meningkatkan kualitas pembiayaan, kedua penyelenggara harus bisa menunjukkan bentuk penilaian pinjaman supaya pembiayaan tidak dilakukan secara ugal-ugalan, ketiga, penyelenggara juga harus membuktikan telah bekerja sama dengan perusahaan asuransi atau penjaminan sebagai antisipasi pembiayaan bermasalah," ungkap Hendrikus dikutip Investor Daily (11/10/2019).
Surat Berharga Negara
Manajer investasi terpantau berbondong-bondong memburu instrumen Surat Berharga Negara (SBN) sepanjang kuartal III 2019 di tengah tren penurunan suku bunga acuan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan reksadana pada SBN terus meningkat pada kuartal III. Tercatat pada akhir Juni sampai September 2019, manajer investasi menambah dananya sebesar 17,54 persen yakni dari Rp106,76 triliun jadi Rp125,49 triliun.
Padahal kuartal sebelumnya yakni kuartal I dan II, jumlah kepemilikan reksadana di SBN tercatat lebih rendah. Pada kuartal I 2019, pemilikan reksadana di SBN turun 5,12 persen, dari Rp118,63 triliun pada akhir Desember jadi Rp113,05 triliun pada akhir Maret. Kemudian pada kuartal II, kepemilikan reksadana di SBN turun lebih dalam 6,19 persen dari Rp113,02 triliun pada April menjadi Rp106,76 triliun pada akhir Juni.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan pada pekan kedua September 2019, pertumbuhan kepemilikan reksadana dalam instrumen obligasi korporasi lebih rendah yakni 6,19 persen dari Rp104,27 triliun pada pekan pertama Juli menjadi Rp111,48 triliun. Head of Investment Avrist Asset Management, Farash Farich, menyatakan baik SBN maupun obligasi korporasi memberikan keunggulan yang berbeda.
"Obligasi korporasi kerap dipilih untuk mengunci imbal hasil untuk mengantisipasi penurunan suku bunga acuan dengan pertimbangan inflasi dan nilai tukar stabil. Adapun SBN menawarkan potensi keuntungan lebih besar dengan terus turunnya suku bunga acuan," ujarnya dikutip Bisnis Indonesia (11/10/2019).
Tokopedia
E-commerce tanah air, Tokopedia menargetkan bisa mulai mencetak keuntungan tahun depan setelah 10 tahun terakhir mencatatkan kerugian. Hal ini diungkapkan oleh CEO dan Co-Founder Tokopedia William Tanuwijaya di Jakarta, Kamis (10/10/2019). "Secara komitmen tahun depan kita sudah profitable. Menghadapi persaingan apapun ayo. Strateginya tahun depan harus profit," jelasnya dilansir CNBC Indonesia.
Meski mengejar profit, Tokopedia belum akan melantai di Bursa saham tahun depan. Alasannya, masih memiliki modal yang cukup dari dua investornya.Yakni SoftBank dan Alibaba. "Harapannya dalam beberapa tahun ke depan bisa go public," ujar William.
William menekankan, persaingan yang harus dilakukan yakni dengan inovasi. Bukan hanya dengan kabar uang. "Beberapa tahun lalu dengan lebih kecil kita berhadapan dengan eBay dan Rakuten. Kini kita punya uang lebih tapi persaing sekarang berhadapan dengan Amazon yang punya modal setara ekonomi indonesia. Jadi Tidak pernah ada habisnya kalau kita melakukan persaingan uang. Tapi harus dengan persaingan inovasi," jelasnya.
Dilansir liputan6.com, Tokopedia menargetkan bisa meraih total transaksi (gross merchandise value/GMV) Rp 222 triliun pada tahun ini. Target tersebut melesat 204,1 persen dibandingkan raihan total transaksi pada 2018 yang senilai Rp73 triliun. “Saat ini nilai transaksi kami per bulannya mencapai Rp14 triliun,” ujar William.
William menjelaskan, jika target transaksi sebesar Rp222 triliun terwujud, maka nilai tersebut sama dengan 1,5 persen dari perekonomian Indonesia. “Untuk dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia di 2018, Tokopedia telah berkontribusi Rp58 triliun. Angka itu diprediksi akan meningkat jadi Rp170 triliun di 2019 menurut riset LPEM FEB UI,” kata William.
Dia menambahkan, kontribusi ekonomi langsung dari Tokopedia ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa. Kontribusi ini ikut menggerakkan ekonomi di Sulawesi Utara Rp160 miliar, Aceh Rp262 miliar, Kalimantan Timur Rp933 miliar, Sumatera Utara Rp2,79 triliun dan Bali Rp822 miliar.
“Hasil riset LPEM FEB UI juga menemukan Tokopedia juga turut menambah total pendapatan rumah tangga Rp19,02 triliun yang setara dengan peningkatan pendapatan Rp 441.000 untuk setiap angkatan kerja di Indonesia,” pungkasnya.
(*)