Bareksa.com - Pada April lalu, pasar global dibayangi oleh kekhawatiran akan resesi di Amerika Serikat setelah terjadinya inversi imbal hasil US Treasury. Ditambah pula meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China terkait perang dagang.
Sedangkan dari dalam negeri, faktor yang perlu diperhatikan adalah laporan keuangan emiten dan belum diumumkannya hasil pemilihan umum. Untuk diketahui, pada penutupan sesi I Senin, 20 Mei 2019, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di 5.866.
Bagaimana faktor-faktor kondisi global mempengaruhi IHSG pada bulan Mei 2019 dan hingga akhir tahun ini. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh investor dan reksadana mana yang masih mencatatkan hasil positif di tengah gejolak tersebut?
Simak penuturan Portofolio Manager-Equity dari PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Andrian Tanuwijaya berikut yang dikutip dari ulasan pasar saham edisi Mei dari Manulife Aset Manajemen Indonesia (20/05) :
Pada bulan April kemarin pasar global dibayangi kekhawatiran resesi Amerika Serikat, setelah terjadinya inversi imbal hasil US Treasury. Namun saat ini seakan-akan pasar sudah melupakan kejadian tersebut. Bagaimana pandangan Anda atas perekonomian global terkini?
Kekhawatiran resesi Amerika Serikat adalah contoh fenomena di mana sentimen jangka pendek pasar bisa sangat cepat berubah. Dan di sinilah manajer investasi berperan lebih untuk menganalisa kondisi fundamental, tidak hanya berdasarkan sentimen sesaat.
Secara umum kami menilai perekonomian global dalam kondisi relatif sehat, walaupun memang pertumbuhannya melambat. Data ekonomi dari Amerika Serikat dan China - dua raksasa yang menjadi proksi ekonomi global - mengafirmasi pandangan tersebut.
Di Amerika Serikat data ketenagakerjaan tetap di level yang kuat dengan klaim subsidi pengangguran yang membaik dan tingkat pengangguran yang menurun. Di China, data ekonomi juga membaik sejalan dengan stimulus yang dikeluarkan pemerintah untuk melakukan stabilisasi ekonomi. Data manufaktur China kembali ke zona ekspansi di bulan Maret dan April, setelah sebelumnya mengalami kontraksi tiga bulan berturut-turut.
Pertumbuhan kredit di China juga membaik, didukung oleh stimulus fiskal dari pemerintah. Secara keseluruhan, indikator ekonomi di kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi global tetap sehat walaupun melambat dibandingkan tahun sebelumnya.
Memasuki awal bulan Mei, tiba-tiba tensi negosiasi perdagangan Amerika Serikat dengan China kembali meningkat menyusul komentar keras dari Presiden Trump. Apakah ini pun merupakan sentimen sesaat seperti isu resesi?Bagaimana pendapat anda terhadap perkembangan ini?
Perkembangan yang sangat mengejutkan pasar, karena sebelumnya negosiasi antara kedua negara berlangsung positif dan dikonfirmasi sendiri oleh pernyataan-pernyataan dari kedua delegasi. Perubahan sentimen yang drastis ini mengakibatkan market shock karena pasar global sebelumnya sudah semakin yakin kesepakatan akan tercapai segera.
Meski begitu, sampai saat ini perang dagang besar-besaran antara Amerika Serikat dan China bukan merupakan skenario base case kami. Dengan perkembangan ini, kami melihat negosiasi dagang dapat kembali memanjang dan volatilitas pasar pun berpotensi kembali meningkat.
Terlepas apakah skenario base case akan terjadi atau tidak, kami melihat pemerintah China sangat siap dan memiliki cukup ruang untuk melakukan stimulus tambahan untuk mengurangi dampak negatif dari tarif impor dan menopang pertumbuhan ekonominya. Dalam proses pembentukan portofolio kami juga memastikan untuk memilih saham yang memiliki fundamental solid di tengah sentimen pasar global yang dinamis.
Dengan segala dinamika yang ada, bagaimana The Fed akan menyikapinya?
Faktor utama yang harus diperhatikan untuk menakar arah suku bunga The Fed adalah tekanan inflasi di Amerika Serikat. Beberapa pejabat The Fed berkomentar bahwa suku bunga saat ini sudah berada di zona netral, yang berarti kenaikan suku bunga hanya perlu dilakukan apabila tekanan inflasi meningkat. Namun saat ini beberapa indikator inflasi Amerika Serikat masih menunjukkan tekanan inflasi yang lemah dan bahkan mengalami penurunan.
Pada bulan Maret kemarin indeks core PCE - yang merupakan acuan inflasi bagi bank sentral - turun ke level 1,6 persen, belum mencapai target 2 persen The Fed. Karena itu, kami berpandangan The Fed akan berhati-hati sebelum menaikkan suku bunga kembali. Kami perkirakan suku bunga The Fed tahun ini malah akan tetap bertahan di level yang sama.
Beralih ke pasar domestik, mayoritas emiten telah melaporkan kinerja kuartal I 2019, apa komentar Anda mengenai kinerja emiten dan apakah hasil ini mengubah proyeksi akhir tahun IHSG?
Secara umum kinerja emiten kuaral I 2019 sedikit dibawah ekspektasi kami dengan pertumbuhan laba bersih rata-rata sebesar 8 persen YoY. Sektor finansial dan konsumer masih menjadi penopang pertumbuhan laba IHSG, diikuti oleh sektor telekomunikasi dan properti. Sementara itu, komoditas dan semen merupakan sektor dengan pertumbuhan laba negatif sepanjang Q1 2019, sejalan dengan harga komoditas yang juga mengalami tren penurunan dalam 2 kuartal terakhir.
Kami masih mempertahankan target IHSG akhir tahun di level 6.900 – 7.100, mengharapkan peningkatan kinerja di kuartal-kuartal berikutnya. Kami menyadari bahwa ada banyak pelaku ekonomi yang cenderung wait and see menjelang Pemilu di April kemarin. Karena itu dengan berakhirnya penyelenggaraan Pemilu yang aman dan damai, aktivitas ekonomi kami harapkan akan mulai menunjukkan peningkatan yang akan berdampak positif pada kinerja laporan keuangan emiten-emiten.
Ada mitos di pasar saham “sell in May and go away”. Memasuki bulan Mei ini IHSG bergerak negatif dan nilai tukar rupiah juga bergerak melemah. Apakah hal ini mengkonfirmasi mitos tersebut juga berlaku di pasar saham Indonesia?
Mitos 'sell in May and go away' didasari oleh kepercayaan bahwa secara historis - di Amerika Serikat - pasar saham cenderung melemah di periode Mei hingga Oktober. Namun apabila kita implementasikan di pasar saham Indonesia, berdasarkan data historis mitos tersebut tidak berlaku. Menilik kinerja IHSG dari tahun 1998 hingga 2018, hanya 8 kali terjadi kinerja negatif selama periode Mei - Oktober.
Namun memang memasuki pertengahan tahun pergerakan IHSG dan rupiah relatif lebih fluktuatif. Pada periode ini rupiah cenderung melemah karena memasuki periode pembayaran dividen. Selain itu kita juga memasuki periode Ramadan dan libur Lebaran di pertengahan tahun, di mana pada periode ini perdagangan pasar saham relatif lebih sepi. Faktor-faktor ini merupakan faktor musiman yang mempengaruhi volatilitas pasar dalam jangka pendek.
Meski demikian, idealnya kita melihat potensi pasar berdasarkan faktor fundamentalnya. Dan sejauh ini kami memandang fundamental pasar masih tetap sehat. Kinerja emiten kami ekspektasi tetap tumbuh positif tahun ini dan kondisi makroekonomi Indonesia juga tetap baik. Karena itu kami berpendapat volatilitas pasar dalam jangka pendek dapat menjadi peluang bagi investor untuk berinvestasi secara bertahap.
Pandangan Anda cukup optimis terhadap potensi pasar saham Indonesia, katalis apa yang anda nantikan dapat mendorong kinerja pasar?
Pertama-tama Indonesia sudah melalui Pemilu yang berjalan dengan aman. Berlalunya Pemilu menghilangkan sentimen ketidakpastian politik yang sebelumnya sempat membayangi pasar. Selain itu kami memandang adanya potensi Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga tahun ini. Dengan The Fed yang diperkirakan akan menahan tingkat suku bunga, kondisi ini membuka ruang gerak bagi BI untuk memangkas suku bunga.
Penurunan suku bunga dapat menjadi sinyal bagi pasar bahwa BI sudah beranjak lebih pro-growth, dan ini berpotensi menjadi katalis positif bagi pasar finansial Indonesia. Faktor-faktor tersebut ditambah basis fundamental ekonomi domestik yang sehat menurut kami dapat menjadi daya tarik pasar saham Indonesia dan menarik bagi investor asing.
Dengan pandangan positif tersebut adakah faktor risiko yang Anda perhatikan?
Menurut kami faktor risiko terbesar berasal dari faktor global. Salah satunya adalah perkembangan negosiasi dagang antara Amerika Serikat dengan China. Gagalnya negosiasi dagang dapat memicu kembali ketidakpastian bagi pasar dan dunia usaha yang dapat berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Namun sebaliknya, perkembangan positif negosiasi dagang dapat menjadi katalis bagi sentimen pasar.
Selain risiko tersebut, sentimen yang dapat berdampak bagi pasar Indonesia adalah MSCI rebalancing di akhir bulan Mei. Porsi saham Indonesia dalam indeks MSCI berpotensi berkurang karena dimasukkannya saham China A-shares ke dalam indeks. Walau demikian ini merupakan one-off event yang sudah diperkirakan pasar dan hanya bersifat sentimen jangka pendek.
Di tengah dinamika pasar saat ini sektor apa yang menjadi unggulan anda?
Ada beberapa tema top-down yang kami angkat dalam pemilihan sektor kami. Pertama, dengan adanya ekspektasi penurunan suku bunga BI kami mengunggulkan sektor yang diuntungkan oleh tren penurunan suku bunga. Contoh dari sektor ini adalah perbankan, properti, konstruksi, dan otomotif. Kedua adalah sektor yang diuntungkan dari fokus pemerintah untuk mendukung daya beli masyarakat. Contoh dari sektor ini adalah consumer discretionary.
Selain itu secara bottom-up kami juga melihat potensi menarik di sektor industrial metals didukung oleh fundamental permintaan dan penawaran yang suportif, serta adanya supply reform terkait pelarangan penambang liar.
(AM)