Bareksa.com - Berinvestasi saat ini semakin dimudahkan dengan kehadiran teknologi. Jika dulu berinvestasi identik dengan segala keribetannya mulai dari proses registrasi yang membutuhkan banyak dokumen fisik, proses transaksi yang masih bersifat konvensional, investor dan manajer investasi harus bertatap muka, hingga proses-proses lain yang tradisional.
Namun kini dengan kehadiran teknologi, semua bisa dilakukan hanya dengan sentuhan jari di layar telepon genggam. Dokumen-dokumen semua bisa dalam bentuk soft copy, nasabah juga tidak perlu mendatangi kantor manajer investasi atau loket penjualan produk investasi untuk mengurus segala kebutuhannya. Kehadiran teknologi mampu memutus rantai proses konvensional tersebut.
Kehadiran teknologi juga menawarkan kemudahan transaksi, dalam hal ini penggunaan uang elektronik (e-money) hingga virtual account (akun virtual). Namun penggunaan teknologi ini belum jamak dilakukan di industri reksadana. Meskipun secara regulasi sudah mengizinkan, ternyata penerapannya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Bagaimana peluang penggunaan e-money dan rekening virtual di industri reksadana? Simak penelusuran Bareksa berikut ini ;
Dukungan Regulasi
Menurut Direktur Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sujanto, pembayaran reksadana saat ini bisa dilakukan melalui pembayaran elektronik. Hal ini diatur dalam POJK Nomor.23/POJK.04/2016 tentang Reksadana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
“Kalau pembayaran bisa melalui sarana pembayaran elektronik contoh, sebagaimana diatur dalam POJK 23 tentang Reksa Dana KIK. Namun ujungnya tetap rekening reksadana di bank kustodian,” ujar dia kepada Bareksa, baru-baru ini.
Di sisi lain, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menjelaskan pembayaran reksadana melalui uang elektronik memang dimungkinkan.
”Namun sepanjang limitnya mencukupi,” ucap dia.
Meski dari sisi regulasi memungkinkan hal tersebut, namun beberapa penerbit uang elektronik mengaku belum menggunakan uang elektronik untuk pembayaran reksadana.
Senior Vice President Consumer and Transaction PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), Jasmin menjelaskan saat ini Mandiri e-Money belum ada yang digunakan untuk transaksi reksadana.
Begitu pula dengan Direktur PT Bank Central Asia (BBCA) Tbk, Santoso, mengatakan Flazz BCA memiliki limit maksimal Rp1 juta dan bertransaksi secara face to face.
“Jadi, menurut kami tidak tepat untuk transaksi reksadana,” ungkap dia.
Kendati BCA juga memiliki produk uang elektronik server based, namun menurut Santoso sejauh ini belum pernah digunakan untuk transaksi reksadana.
“Adalagi e-money server based dengan nama Sakuku dan limit sampai dengan Rp10 juta (register). Bisa digunakan untuk pembayaran namun sejauh ini saya belum dengar digunakan untuk transaksi reksadana,” ucap dia.
Berdasarkan data BI, nilai transaksi uang elektronik sejak Januari-Desember 2018 mencapai Rp47,19 triliun. Nilai tersebut meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2017 yang mencapai Rp12,37 triliun.
Peluang Virtual Account
Selain melalui e-money, transaksi reksadana juga bisa dilakukan melalui media elektronik lain. Salah satunya melalui virtual account. Menurut Senior Vice President Transaction Banking and Retail Sales Bank Mandiri, Thomas Wahyudi, secara definisi, virtual account adalah layanan cash management untuk membantu perusahaan melakukan identifikasi transaksi pembayaran masuk dengan membentuk keterangan transaksi berupa nomor identitas pembayar pada rekening koran perusahaan.
“Usecase-nya dapat digunakan untuk berbagai macam bentuk pembayaran tagihan seperti premi asuransi, langganan TV kabel, ecommerce dan lainnya,” ujar dia.
Sedangkan untuk pembelian reksadana, sejauh ini virtual account milik Bank Mandiri belum ada yang digunakan untuk usecase pembelian reksadana.
“Secara teknis dimungkinkan namun flow dan detilnya perlu dibicarakan lebih lanjut dengan mitra perusahaan pengelola reksadana yang akan bekerja sama dengan Bank Mandiri,” kata dia.
Sejauh ini, salah satu e-commerce yang sudah menggunakan virtual account sebagai alat transaksi adalah Tokopedia. Tokopedia juga menjual reksadana di marketplace-nya dan melakukan pembayaran reksadana tersebut melalui virtual account.
Data Uang Elektronik Desember 2018
Sumber : Bank Indonesia
Kendala Transaksi Reksadana
Meskipun secara regulasi memungkin penerapan transaksi reksadana menggunakan uang elektronik dan virtual account, namun penerapannya tidak semudah membalik telapak tangan.
Direktur Utama Avrist Asset Management Hanif Mantiq Hanif menyinggung soal sistem pembayaran yang tengah happening saat ini yakni OVO. Hanif menyebut, jika OVO ingin masuk sebagai bagian dari metode pembayaran reksadana, maka OVO harus memiliki izin sebagai agen penjual reksadana. Padahal, OVO sudah bisa melayani transaksi apapun.
Hanif mengungkapkan apa yang menjadi kendalanya saat ini. Menurut Hanif, masih ada yang beranggapan reksadana itu ‘barang’ yang berbahaya.
“Sebenarnya kan sudah mudah. Yang penting punya rekening bank dan KTP saja cukup untuk membeli reksadana,” terang dia.
Di sisi lain, perbankan Tanah Air belum bisa seperti di luar negeri yang telah menerapkan secara penuh payment gateway sehingga tak ada biaya transfer antar bank. Untuk itu, Hanif berharap regulator bisa secara bijak memberikan kemudahan-kemudahan untuk perluasan metode pembayaran/transaksi reksadana.
SVP Intermediary Business PT Schroder Investment Management Adrian Maulana juga menyampaikan metode pembayaran pada umumnya adalah dengan cara transfer ke rekening reksadana (bisa juga dilakukan secara berkala, tergantung fitur yang dimiliki oleh agen penjual).
“Cara membelinya yang beragam. Kalau dulu masyarakat harus pergi ke manajer investasi atau bank sebagai agen penjual, kini sudah bisa membeli via online platform. Contohnya Bareksa,” ungkap Adrian.
Saat ditanya apakah sistem pembayaran seperti melalui GO-PAY atau OVO bisa diterapkan pada industri reksadana, Adrian menjawab, “Bisa aja. Selama sudah bekerja sama dengan APERD yang memiliki lisensi OJK, mengingat GO-PAY atau OVO tidak memilikinya,” tambahnya.
Atau bisa juga mereka (GO-PAY atau OVO dan sejenisnya) mengajukan izin kepada OJK sebagai APERD. Untuk itu harus memenuhi kriteria yang ditentukan. Selain berbadan hukum, juga harus ada orang-orang bekerja di dalamnya yang memiliki izin WAPERD (Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana). Bila disetujui maka proses administrasi nasabah seperti KYC (Know Your Customer) dilakukan oleh pihak GO-PAY atau OVO.
Kepada Bareksa, Intermediary Sales Manager PT Trimegah Asset Management, Fredy Gunawan menuturkan, dengan keberadaan fintech, transaksi reksadana sudah berkembang melalui peer to peer (P2P) lending. Setelah itu, kata Fredy, pasti akan ada sebuah sistem yang mengakomodir dan lebih gampang.
“Contoh, Alto. Ini sebuah perusahaan yang menjadi gerbang antara APERD dan bank kustodi. Tapi ini saya baru denger-dengar saja,” katanya.
Bahkan, kata Fredy, OJK sebagai regulator sudah memberi sinyal positif secara verbal, meskipun belum sampai ke prakteknya. Untuk itu, kata Fredy, industri perlu ketegasan khususnya dengan aturan tertulis sehingga penerapannya bisa terealisasi.
Di Trimegah sendiri, investor reksadana masih mewajibkan transaksi sesuai dengan rekening nama pemilik reksadana. “Tapi, kalau untuk pembelian, bisa gunakan nama yang lain tapi harus satu kartu keluarga,” ujar dia.
Fredy memperkirakan, dalam 5 tahun ke depan, perkembangan metode transaksi reksadana belum akan banyak berubah. “Tapi yang akan berkembang adalah gerai. Kekuatan ritel lebih besar dari istitusi karena pengetahun literasi,” pungkasnya.
Prihatmo yang juga merupakan Direktur PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen menambahkan, sesuai perkembangan teknologi, harusnya semua payment channel dibuka baik itu transfer, virtual account, kartu kredit, auto debet, e-money dan lainnya.
“Supaya investor semakin convinience. Tinggal rambu-rambunya saja diatur, termasuk bagaimana KYC,” tutur dia.
(AM)