Bareksa.com - Potensi resesi ekonomi Amerika Serikat semakin mengemuka dan menjadi pembicaraan pasar. Di sisi lain lonjakan inflasi telah mendorong Bank Sentral Negara Paman Sam, Federal Reserve (The Fed) semakin memperketat kebijakan monternya. Potensi resesi dan pengetatan kebijakan The Fed mengakibatkan tingginya fluktuasi pasar modal global, termasuk Indonesia.
Syuhada Arief – Senior Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengungkapkan saat ini ekspektasi suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) sampai akhir tahun 2022, seperti yang dikomunikasikan oleh pejabat bank sentral, sudah sesuai dengan ekspektasi pasar di kisaran 3,4 persen dari level saat ini di kisaran 1,5 - 1,75 persen.
“Saat ini kita menyaksikan proses pengetatan moneter AS yang paling agresif dalam beberapa dekade. Kondisi ini membuat prospek pertumbuhan ekonominya akan mengalami banyak tantangan, bahkan mungkin pula resesi,” ungkap Syuhada dalam keterangannya (25/7/2022).
Di tengah kondisi pasar modal yang dibayangi sentimen isu resesi dan lonjakan inflasi, bagaimana strategi MAMI, perusahaan manajemen investasi terbesar di Tanah Air dalam mengelola investasinya di obligasi? Berikut kutipan lengkap ulasan Syuhada dalam laporan Seeking Alpha Edisi Juli 2022.
Sempat dianggap terlambat melakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada, kini arah kebijakan dan kenaikan Fed Funds Rate semakin selaras dengan ekspektasi pasar, yaitu naik ke kisaran 3,4 persen di akhir 2022. Apakah ini berarti kenaikan imbal hasil US Treasury (obligasi Pemerintah AS) jangka menengah juga sudah mendekati puncaknya?
Benar, saat ini ekspektasi Fed Funds Rate sampai akhir tahun, seperti yang dikomunikasikan oleh pejabat Bank Sentral AS, sudah sesuai dengan ekspektasi pasar di kisaran 3,4 persen. Sebelumnya, ketidaksesuaian yang ada selalu menciptakan pertanyaan dan keraguan atas kredibilitas bank sentral dalam mengkaji kondisi ekonomi terkini. Ekspektasi yang selaras ini, walaupun lebih agresif, diharapkan dapat mengurangi faktor ketidakpastian, kejutan, dan volatilitas pergerakan imbal hasil US Treasury ke depannya.
Potensi resesi ekonomi AS semakin mengemuka menjadi pembicaraan pasar. Apa pandangan Anda?
Saat ini kita menyaksikan proses pengetatan moneter AS yang paling agresif dalam beberapa dekade. Kondisi ini membuat prospek pertumbuhan ekonominya akan mengalami banyak tantangan, bahkan mungkin pula resesi. Namun data terkini yang ada setidaknya menunjukkan perekonomian saat ini masih relatif kuat.
Beberapa leading indicator juga belum menunjukkan sinyal resesi. Probabilitas resesi dari Fed New York masih di bawah level 30 persen yang merupakan ‘red flag’ atau sinyal kemungkinan potensi resesi. Begitu pula dengan data Conference Board Leading Economic Index yang sampai saat ini masih dalam zona pertumbuhan.
Bagaimana dengan inflasi AS ke depan, adakah tanda-tanda penurunan?
Inflasi akan menjadi faktor penting yang menentukan jalur pengetatan kebijakan moneter The Fed ke depan. Sejauh ini kami memperkirakan inflasi akan mereda di 2023 dan sebelum mencapai kondisi tersebut pasar akan terus diwarnai oleh kekhawatiran terkait inflasi yang persisten dan perlambatan ekonomi. Tampaknya akan sulit bagi bank sentral untuk menjadi lebih akomodatif sampai ada sinyal tren penurunan harga komoditas. Mudah-mudahan kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah dan bank sentral dapat menghindarkan ekonomi dari resesi yang berkepanjangan.
Soal wacana resesi AS, apakah kekhawatiran resesi tersebut yang menjadi penyebab aliran dana asing terus keluar dari pasar obligasi Indonesia?
Meningkatnya kekhawatiran resesi Amerika Serikat dan juga perlambatan ekonomi global menjadi faktor dominan yang menyebabkan berlanjutnya aksi jual investor asing. Hal ini terjadi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di pasar negara berkembang lainnya. Bahkan US Treasury, Obligasi Pemerintah AS sebagai safe haven asset juga tidak luput dari aksi jual investor.
Namun, ekspektasi tingkat suku bunga The Fed di akhir tahun yang sudah selaras dengan ekspektasi pasar, dan kepemilikan asing yang sudah relatif rendah diharapkan dapat mengurangi volatilitas, serta aksi jual investor asing di pasar obligasi Indonesia terutama ketika sentimen global sudah membaik.
Bagaimana outlook pasar obligasi Indonesia?
Secara umum kelas aset obligasi akan menghadapi lebih banyak tantangan di tengah periode kenaikan suku bunga dan inflasi, sesuai dengan prinsip bahwa suku bunga dan harga obligasi berbanding terbalik. Namun fundamental makro ekonomi Indonesia yang lebih baik dan lebih siap dalam menghadapi pengetatan kebijakan moneter global diharapkan dapat memberikan dukungan bagi pergerakan pasar obligasi domestik.
Beberapa faktor positif yang mendukung di antaranya adalah :
- Kebijakan pemerintah untuk menjaga beberapa harga barang membuat inflasi tahun 2022 yang walaupun meningkat namun tetap terkendali.
- Basis investor yang lebih terdiversifikasi yakni naiknya partisipasi investor domestik dan penurunan kepemilikan investor asing (saat ini persentase kepemilikan asing di bawah 16 persen), berkontribusi pada stabilitas pergerakan pasar obligasi domestik.
- Kementerian Keuangan menyatakan terjadi surplus anggaran pada bulan Mei Rp132,2 triliun atau setara dengan 0,74 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
- Kemenkeu menurunkan target pembiayaan melalui lelang senilai Rp147 triliun, di mana ini berarti dalam setiap lelang target penerbitan turun dari Rp20 triliun menjadi Rp5 triliun.
Kita melihat kebijakan BI dalam melakukan pengetatan moneter terutama suku bunga BI akan berperan penting terhadap sentimen investor global terhadap pasar obligasi Indonesia. Dalam jangka menengah kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun kembali ke kisaran 6,5 – 7 persen.
Apa risiko pasar yang perlu dicermati investor?
Dari sisi eksternal, perkembangan konflik geopolitik dan lonjakan kasus Covid China menjadi risiko utama yang yang perlu dicermati karena memiliki dampak yang siginifikan pada tekanan inflasi. Hal ini dapat mempengaruhi laju perubahan kebijakan moneter, dan pembelian aset.
Sementara dari sisi internal perkembangan harga minyak dunia dan komoditas utama ekspor memberikan dampak yang besar terhadap beban subsidi energi, dan nilai tukar rupiah. Selain itu laju pertumbuhan kredit menjadi salah satu faktor yang perlu dicermati mengingat selama ini bank menjadi pembeli mayoritas Surat Berharga Negara (SBN). Kebijakan BI untuk menaikkan giro wajib minimum (GWM) secara bertahap juga harus dicermati efeknya dalam mengurangi likuiditasi di pasar.
Apa strategi investasi MAMI yang diterapkan guna mendorong kinerja portofolio investasinya?
Pengelolaan portofolio kami didasari pada pendekatan top-down yakni analisa makro ekonomi global, dan domestik, serta kekuatan analisa bottom-up yakni pemilihan efek berdasarkan fundamental yang solid, untuk membentuk portofolio yang optimal.
Dalam hal ini selain didukung tim investasi yang berpengalaman di pasar domestik, kami juga didukung jaringan global Manulife Investment Management yang memiliki tim investasi on-the-ground yang dapat memberikan keunggulan informasi dan analisa yang terkini dan tajam.
Dengan volatilitas pasar yang tinggi, berbeda dengan strategi pada sebelumnya, kami tidak memfokuskan strategi pada overweight atau underweight duration vs durasi tolok ukur, namun kami lebih fokus kepada relative valuation methodology.
Pada strategi ini kami fokus pada pemilihan seri obligasi atau alokasi sektor tenor pada kurva imbal hasil yang memberikan spread paling optimal relative dibandingkan spread imbal hasil pada seluruh sektor tenor yang lain. Selain itu, kami juga terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi memberikan hasil optimal dengan risiko yang terukur.
(AM)
***
Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.