Bareksa.com - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan terakhir bergejolak akibat beberapa sentimen internal maupun eksternal. Sejak Kamis pekan lalu (16/9/2020) hingga Rabu (22/9/2021), indeks saham Tanah Air tercatat melemah 0,3 persen ditutup di level 6.108.
Bahkan pada Selasa (21/9/2021), IHSG sempat anjlok di bawah level psikologis 6.100 atau tepatnya 6.060. Ada beberapa sentimen yang menjadi penggerak pasar belakangan ini di antaranya jelang pertemuan Bank Sentral AS, The Fed pada Rabu (22/9/2021) waktu AS, pelaku pasar cenderung wait and see karena menanti sinyal lebih jelas terkait kapan tapering off (pengurangan pembelian obligasi) akan dilakukan.
Meski begitu dari dalam negeri, pasar mendapatkan sentimen positif Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate di level 3,5 persen, atau sesuai konsensus pasar. Namun kuatnya sentimen tapering off mengakibatkan pasar bergejolak tidak hanya bursa saham nasional, namun juga bursa saham regional.
Dalam ulasan pasar laporan Seeking Alpha edisi September 2021, Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia mengungkapkan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan Indonesia dalam menghadapi dampak tapering The Fed.
Seperti apa kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan bagi Indonesia menghadapi Fed tapering? Serta bagaimana peluang saham sektor teknologi di pasar saham Indonesia?
Apakah sekarang waktunya investor untuk investasi di reksadana saham atau reksadana pendapatan tetap? Berikut ulasannya :
Fed tapering menjadi topik hangat yang terus dibicarakan di pasar. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan Fed tapering dan mengapa hal ini menjadi perhatian pasar?
Untuk menstimulasi perekonomian yang melemah pada masa pandemi, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) memberikan stimulus ekonomi dalam bentuk limpahan likuiditas ke perekonomian yang dilakukan dengan cara membeli aset-aset dari pasar finansial sebesar US$120 miliar per bulan.
Hal ini telah dilakukan sejak Maret 2020. Namun dengan membaiknya kondisi ekonomi AS saat ini, ada wacana bahwa pembelian aset ini sudah tidak terlalu dibutuhkan lagi, dan akan dikurangi secara bertahap. Pengurangan stimulus atau pengurangan jumlah pembelian aset inilah yang dimaksud dengan tapering.
Wacana tapering ini menjadi topik hangat di pasar, karena proses tapering yang dilakukan The Fed sebelumnya pada 2013 menyebabkan volatilitas yang tinggi di pasar finansial global, terutama bagi kawasan negara berkembang yang mengalami outflow dana asing, pelemahan pasar saham dan obligasi, depresiasi nilai tukar, dan melebarnya defisit transaksi berjalan. Karena itu terdapat kekhawatiran di pasar apakah volatilitas seperti di 2013 tersebut dapat terulang kembali pada tapering kali ini.
Bagaimana pandangan Anda terkait Fed tapering kali ini, apakah dapat terjadi volatilitas yang tinggi lagi seperti di 2013?
Saat ini pasar finansial global sudah lebih siap menghadapi Fed tapering, sehingga risiko terjadinya kepanikan pasar seperti di 2013 menjadi lebih rendah. Di tahun 2013 adalah pertama kalinya sepanjang sejarah tapering dilakukan oleh The Fed, sehingga banyak ketidakpastian di pasar mengenai bagaimana proses tapering ini akan dilakukan dan apakah ekonomi sudah cukup pulih menghadapi pengurangan stimulus. Komunikasi The Fed yang dinilai kurang transparan saat itu juga meningkatkan kekhawatiran.
Saat ini kondisinya berbeda, pasar sudah memiliki gambaran bagaimana proses tapering akan dilakukan, belajar dari proses yang terjadi sebelumnya di 2013. Komunikasi dari The Fed saat ini juga lebih baik dalam memberi sinyal akan dilakukannya tapering sejak jauh hari sehingga memberikan transparansi dan ketenangan bagi pasar.
Hal ini tercermin di kondisi pasar yang tetap stabil di akhir Agustus setelah The Fed memberi sinyal rencana tapering di akhir tahun ini, sangat kontras dengan volatilitas pasar yang tinggi di Mei 2013.
Terlepas dari faktor psikologis tersebut, kondisi ekonomi saat ini juga relatif lebih baik dibandingkan kondisi pada tahun 2013 baik di Amerika Serikat maupun di kawasan negara berkembang. Indikator ekonomi Amerika seperti tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi saat ini lebih baik dibandingkan di 2013.
Sementara itu di kawasan negara berkembang – yang sangat terdampak oleh tapering pada 2013 – juga memiliki kondisi makroekonomi yang lebih baik, terlihat dari tingkat cadangan devisa yang lebih tinggi, inflasi di level rendah, aktivitas perdagangan yang tinggi, dan kinerja korporasi yang lebih baik sehingga lebih siap menghadapi Fed tapering.
Bagaimana Anda melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini menghadapi Fed tapering?
Untuk menganalisa kondisi ekonomi Indonesia, kita bisa melakukan analisa SWOT (strength, weakness, opportunity, threat):
Strength (kekuatan) :
Kekuatan Indonesia adalah fundamental ekonomi yang tetap stabil di tengah kondisi pandemi. Stabilitas makroekonomi merupakan faktor penting untuk menjaga daya tarik investasi di Indonesia. Cadangan devisa di level tertinggi sepanjang sejarah, dan surplus neraca perdagangan menjaga defisit neraca berjalan di level rendah. Selain itu stabilitas makroekonomi juga didukung oleh kredibilitas pemerintah dan bank sentral yang krusial untuk menjaga keyakinan investor terhadap Indonesia.
Weakness (kelemahan) :
Peningkatan vaksinasi masih menjadi tantangan, sejauh ini Jawa-Bali menjadi fokus pemerintah karena tingginya mobilitas dan menjadi pusat kegiatan ekonomi. Di luar Jawa-Bali, tingkat vaksinasi masih relatif rendah; ketersediaan vaksin dan distribusi menjadi tantangan utama. Selain itu pelemahan aktivitas ekonomi yang disebabkan oleh pandemi menyebabkan rasio perpajakan yang semakin menurun. Kondisi ini menjadi tantangan di tengah kebutuhan pembiayaan yang tetap tinggi untuk pemulihan ekonomi dan mitigasi pandemi.
Opportunity (peluang) :
Sektor new economy berpotensi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia. Tingginya potensi ekonomi digital Indonesia mendorong berbagai perusahaan teknologi untuk mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Riset dari Google, Temasek, dan Bain memperkirakan ekonomi digital Indonesia dapat tumbuh 23 persen per tahun hingga 2025, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal Indonesia.
Selain ekonomi digital, Indonesia juga memiliki potensi di sektor energi terbarukan. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, bahan baku utama untuk baterai bagi kendaraan listrik (EV), yang membuka peluang kita untuk memiliki peranan penting dalam rantai pasokan industri EV dunia.
Threat (tantangan) :
Tantangan dalam jangka pendek adalah reaksi pasar terhadap Fed tapering. Tapi dengan pasar yang lebih siap menghadapi tapering, komunikasi The Fed yang lebih baik, dan kondisi makroekonomi domestik yang lebih baik dibanding 2013, risiko volatilitas pasar terkait tapering kali ini menjadi lebih rendah.
Secara keseluruhan tantangan dan dinamika pasar akan selalu ada bagi pasar finansial Indonesia dari waktu ke waktu. Namun kami percaya pada daya tarik investasi di pasar Indonesia karena dukungan fundamental ekonomi yang baik, dan peluang di sektor-sektor ekonomi baru yang dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi ke depannya.
Pemerintah dan Bank Indonesia memperpanjang skema burden sharing hingga 2022. Bagaimana pandangan Anda terhadap kebijakan tersebut?
Menurut kami ini merupakan hal yang positif bagi pasar finansial. Di satu sisi, kebijakan ini dapat membantu pemerintah dalam pembiayaan stimulus mitigasi pandemi pemulihan ekonomi.
Skema ini dapat membantu mengurangi beban pembayaran bunga utang pemerintah, di tengah meningkatnya rasio pembayaran bunga terhadap pendapatan anggaran dari 10,9 persen (rata-rata 2015-2019), menjadi 17,8 persen di 2021. Selain dari sisi fiskal, skema burden sharing ini juga positif bagi pasar obligasi karena dapat menurunkan target penerbitan obligasi pada lelang obligasi tahun ini dan tahun depan.
Risiko dari skema burden sharing ini adalah potensi moral hazard dan persepsi investor terhadap kredibilitas dan independensi Bank Indonesia. Namun adanya mekanisme dan batasan yang jelas terkait skema burden sharing ini membuat kami optimistis persepsi investor terhadap kredibilitas dan independensi Bank Indonesia akan tetap terjaga.
Sejauh ini respons pasar terhadap perpanjangan burden sharing cukup positif, terlihat dari imbal hasil obligasi pemerintah yang stabil dan minat investor pada lelang di akhir Agustus.
Saham sektor teknologi di IHSG mencatat kinerja tertinggi sepanjang tahun ini hingga Agustus (melonjak 486,7 persen). Apakah ini sekedar euforia sementara?
Dalam pandangan kami sektor teknologi memiliki outlook jangka panjang yang menarik. Indonesia memiliki populasi yang besar sehingga potensi ekonomi digital Indonesia juga sangat besar.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia dapat mencapai 23 persen per tahun hingga 2025, menjadi yang terbesar di ASEAN. Sementara itu sektor teknologi belum direpresentasikan dengan baik di IHSG, di mana bobot sektor teknologi di IHSG hanya sekitar 6,5 persen, sementara di indeks saham luar negeri bobotnya sudah jauh lebih tinggi, seperti pada indeks MSCI Asia Pacific bobotnya di kisaran 18,8 persen atau di MSCI World yang mencapai 22,5 persen.
Peningkatan bobot sektor teknologi di pasar saham Indonesia dapat meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor. Karena itu kami positif terhadap outlook sektor teknologi di Indonesia, dan peranannya yang dapat semakin meningkat di pasar saham Indonesia.
Apa saran Anda bagi investor yang bingung memilih investasi di reksadana berbasis saham (reksadana saham dan reksadana campuran) atau reksadana berbasis obligasi (reksadana pendapatan tetap)?
Keduanya memiliki tempat dalam portofolio investor, di mana dalam siklus pemulihan ekonomi seperti saat ini kelas aset saham diuntungkan dari potensi pemulihan ekonomi dan perbaikan kinerja emiten. Sementara itu kelas aset obligasi menawarkan stabilitas didukung oleh era suku bunga rendah dan kebijakan fiskal pemerintah yang suportif bagi pasar obligasi.
Keputusan investasi sebaiknya disesuaikan dengan profil risiko dan tujuan finansial investor karena kedua faktor tersebut akan lebih berpengaruh pada kinerja jangka panjang portofolio. Di lain pihak, market timing dapat meningkatkan risiko kehilangan momentum pasar atau risiko pengambilan keputusan yang salah.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS
DISCLAIMER
Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.