Bareksa.com – Lelang obligasi dan pergerakan Rupiah setelah Pemilu 2019 mulai menunjukkan tanda-tanda positif. Hal itu tertuang dalam laporan DBS Group Research yang dipublikasikan, Kamis, 25 April 2019.
Pakar Ekonomi DBS Masyita Crystallin menyampaikan, lelang pertama obligasi setelah pemilihan umum pada 17 April, sesuai harapan. Hasil positif ini, ditambah dengan data neraca perdagangan, yang membesarkan hati, mendukung Rupiah, yang telah menguat sejak awal bulan.
“Rupiah menguat 1 persen antara 1 hingga 23 April, bertolak belakang dengan JPM EMCI, yang turun 0,2 persen pada periode sama,” tulis Masyita.
Masyita menerangkan, Rupiah mendapatkan dukungan tambahan dari perbaikan neraca perdagangan, yang mencatat surplus dalam dua bulan terakhir (19 Februari sebesar US$330 juta dan 19 Maret sebesar US$540 juta). Namun, perbaikan ini bisa berubah karena ekspor cenderung melambat sementara harga minyak naik, membebani impor.
DBS Research berpendapat bahwa neraca perdagangan secara keseluruhan dan transaksi berjalan kemungkinan akan membaik pada 2019 dibandingkan dengan 2018 karena depresiasi Rupiah pada akhirnya akan berimbas pada harga dan permintaan impor.
Sementara itu, pasar saham menguat tipis setelah Pemilu dan kembali ke tingkat sebelum penghitungan suara, di level 6.414, pada 22 April. Seperti halnya ekuitas, dampak Pemilu terhadap kurs relatif melunak.
“Imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun turun sebesar 13 basis poin (bps) antara 12 April hingga 18 April, tetapi sejak itu meningkat sebesar 10 bps per 22 April,” imbuh Masyita.
Antisipasi penurunan suku bunga tercermin dalam peningkatan jumlah segmen kurva 6 bulan/10 tahun sejak 16 April. Di sisi lain, lelang dua obligasi pemerintah terakhir masih mengindikasikan permintaan kuat dengan rasio jumlah permintaan yang masuk dan yang diterima (bid-to-cover) berkisar antara 1,5-1,8 dan imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun stabil angka di 7,6 persen.
Untuk suku bunga, DBS Research menuturkan, mengingat tekanan terhadap Rupiah telah mereda dan inflasi telah melambat ke tingkat terlemah sejak tahun 2000, satu-satunya faktor yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah neraca perdagangan dan neraca berjalan.
“Untuk saat ini, kami percaya bahwa BI kemungkinan akan mempertahankan kebijakannya pada tahun ini mengingat ketidakpastian global tetap membayangi arus perdagangan dan modal,” terang Masyita. (hm)