Apa Saja Sentimen IHSG di Pekan Terakhir 2018? Simak Ulasan Ini

Bareksa • 26 Dec 2018

an image
Pegawai melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (9/11/2018). Pergerakan IHSG pada Jumat (9/11), ditutup melemah 1,72 persen ke level 5.874,15 dari posisi penutupan perdagangan kemarin di level 5.976,806. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Aksi mempercantik portofolio investasi atau window dressing diharapkan menjaga bursa saham domestik dari koreksi masif

Bareksa.com - Memasuki pekan terakhir perdagangan di tahun 2018, pasar saham Indonesia akan mengalami pekan perdagangan yang cenderung sepi dari sentimen dalam negeri.

Dengan hanya menyisakan tiga hari perdagangan di tahun ini pasca hari libur Natal, pelaku pasar bakal melakukan perdagangan saham mengikuti arah pergerakan sentimen global.

Aksi mempercantik portofolio investasi atau yang lebih dikenal dengan istilah window dressing oleh manajer investasi diharapkan menjaga bursa saham domestik dari koreksi masif.

Berikut ini beberapa agenda internasional yang berpotensi menjadi penggerak sentimen bursa saham Tanah Air pada pekan ini :

Pertama, pada Rabu (26/12/2018) pelaku pasar akan mencermati pidato Gubernur Bank of Japan (BoJ) Haruhiko Kuroda yang diekspektasikan memberikan sinyal lebih jelas mengenai berlanjut-tidaknya kebijakan quantitative easing (pelonggaran moneter) yang telah dijalankan sejak 2016.

Sebagai informasi, Jepang saat ini merupakan satu dari sedikit negara yang belum menormalisasi tingkat suku acuannya, dengan mempertahankannya pada level -0,1 persen, meskipun baru-baru ini Bank Sentral Amerika Serikat (AS) telah menaikkan suku bunga acuannya 25 basis poin (bp) ke level 2,25 - 2,5 persen.

Mengutip Nikkei, berlanjutnya kebijakan suku bunga minus tersebut membuat 70 persen bank-bank menengah di Negeri Matahari Terbit mencatatkan penurunan laba bersih, dan bahkan sebagian di antaranya merugi, yang terhitung sejak April hingga September tahun 2018.

Kedua, pada Kamis (27/12/2018) China akan mengumumkan total laba industri di negaranya per November. Pada Oktober, hanya 13 dari 41 sektor yang labanya bertumbuh secara bulanan.

Sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini, laba bersih perusahaan di China tercatat tumbuh 13,6 persen secara tahunan (year on year/YoY), melambat dari periode 9 bulan yang naik 14,7 persen. Laba bersih BUMN Negeri Tirai Bambu melompat rata-rata 20,6 persen, sedangkan perusahaan swasta tumbuh rata-rata 9,3 persen.

Jika data November menunjukkan laba bersih perusahaan China masih di laju pertumbuhan yang meyakinkan, dalam arti tidak kembali melambat, pelaku pasar global berpeluang memanfaaatkannya untuk memburu saham emiten China.

Efek tersebut diharapkan bisa menular hingga ke pasar modal Indonesia, mengingat Indonesia termasuk dalam 15 besar mitra dagang utama Negeri Panda.

Ketiga, pada Kamis malam waktu Amerika Serikat (AS) atau Jumat pagi waktu Indonesia, AS akan mengumumkan data klaim angka pengangguran, baik klaim baru (initial jobless claim) maupun klaim lanjutan (continuing jobless claims).

Sebagai informasi, per 15 Desember jumlah klaim perdana terkait asuransi pengangguran di AS naik 8.000 menjadi 214.000 yang merupakan penurunan terbesar dalam 49 tahun terakhir.

Padahal, pasar memperkirakan akan ada 10.000 pengangguran baru pada periode yang sama.

Angka pengangguran membaik menyusul pertumbuhan ekonomi AS yang tumbuh di kisaran 3 persen, yang ditargetkan terjaga hinhga akhir tahun. Jika tren tersebut berlanjut, sehingga lebih baik dari konsensus Tradingeconomics yang sebesar 219.000, bursa AS berpotensi menghijau yang diharapkan bisa diikuti bursa dunia termasuk Indonesia.

Keempat, masih dari tempat dan di waktu yang sama, AS juga akan mengumumkan angka penjualan rumah baru (per November) yang memberikan gambaran kinerja penjualan properti di Negeri Paman Sam. Kredit properti menjadi salah satu faktor pemicu krisis, seperti ketika terjadi krisis subprime mortgage pada 2008.

Sebagai informasi, pada Oktober penjualan rumah di AS anjlok 8,9 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Mengutip Tradingeconomics, angka penjualan rumah baru sempat menyentuh titik terendah pada Maret 2016, dengan rata-rata sebanyak 650.280 sepanjang 1963 hingga 2018.

(KA01/AM)