Bareksa.com - Menjalani pekan pertama Desember 2018, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat cukup positif dengan mencatatkan kenaikan secara mingguan, meskipun dengan penguatan yang relatif terbatas.
Tercatat dalam periode 3 hingga 7 Desember 2018, IHSG naik 1,16 persen dengan ditutup pada level 6.126,35.
Secara sektoral, hampir seluruhnya berarkhi di zona hijau pada pekan kemarin, kecuali sektor aneka industri yang tercatat melemah 2,52 persen.
Tiga sektor yang mencatatkan kenaikan tertinggi pada pekan kemarin yaitu industri dasar (4,65 persen), properti (2,1 persen), dan konsumer (2,06 persen).
Di sisi lain, investor asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) sepanjang pekan lalu senilai Rp764,68 miliar.
Saham-saham yang paling banyak dilepas oleh investor asing dalam sepekan kemarin :
1. Saham ASII (Rp430,05 miliar)
2. Saham TLKM (Rp385,42 miliar)
3. Saham BMRI (Rp285,69 miliar)
4. Saham BBCA (Rp274,88 miliar)
5. Saham BBRI (Rp257,55 miliar).
Sentimen Positif
Beberapa sentimen memberikan pengaruh positif terhadap pergerakan IHSG sepanjang pekan kemarin. Sentimen positif pertama datang dari pertemuan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G-20. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara mencapai kesepakatan 90 hari gencatan senjata dalam sengketa perdagangan.
AS tidak akan menaikkan tarif bea masuk dari 10 persen menjadi 25 persen untuk importasi produk-produk asal Negeri Tirai Bambu sebesar US$200 miliar yang sejatinya akan dilakukan pada 1 Januari 2019.
Sedangkan China sepakat untuk mengimpor lebih banyak produk asal Negeri Paman Sam, mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur.
Kemudian dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/12/2018) mengumumkan inflasi pada bulan November 2018 tercatat sebesar 0,27 persen secara bulanan (month on month/MoM) dan 3,23 persen secara tahunan (year on year/YoY).
Angka tersebut berada di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters masing-masing 0,19 persen MoM dan 3,15 persen YoY. Meski inflasi berada di atas ekspektasi pasar, tetapi penguatan rupiah justru terlihat semakin nyata.
Ada kemungkinan pelaku pasar membaca tingkat konsumsi domestik masih kuat sehingga dunia usaha dapat menaikkan harga namun konsumen tetap mampu membeli.
Selain itu, rilis cadangan devisa Indonesia periode November 2018 pada Jumat (7/12/2018) juga memberikan sentimen positif lain bagi pergerakan IHSG.
Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa Indonesia US$117,2 miliar pada bulan November, naik US$2 miliar dibandingkan dengan Oktober yang sebesar US$115,2 miliar.
Kondisi tersebut membuat nilai tukar rupiah sepekan lalu juga mengalami penguatan, bahkan menjadi yang terbaik di Asia kenaikan 1,62 persen. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh dolar AS yang sedang dalam momentum kurang menyenangkan.
Sentimen negatif bagi dolar AS berasal dari bank sentral AS (The Fed) yang kebijakannya terlihat dovish. Wall Street Journal melaporkan The Fed sedang mempertimbangkan untuk memberikan sinyal wait and see terkait kenaikan suku bunga acuannya.
Dari sejumlah data ekonomi AS yang dirilis, nyaris semuanya meleset dari ekspektasi pasar. Penciptaan lapangan kerja non-pertanian di AS versi ADP diumumkan hanya sebanyak 179.000 pada November, jauh di bawah konsensus Reuters yang sebanyak 195.000.
Klaim tunjangan pengangguran yang di ajukan warga AS sebenarnya turun sebanyak 4.000 orang menjadi 231.000 orang. Meski begitu, jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan konsensus analis yang dihimpun Reuters yang memprediksi angka 225.000 orang.
Sentimen Negatif
Di sisi lain, sebenarnya terdapat juga faktor negatif khususnya yang menghampiri Bursa Saham Wall Street akibat kekhawatiran terhadap potensi resesi perekonomian AS, yang juga sedikit menekan IHSG di pertengahan pekan kemarin.
Pada Kamis (6/12/2018), untuk kali pertama sejak krisis keuangan global 2007, imbal hasil obligasi AS bertenor dua dan tiga tahun tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan tenor lima tahun.
Sementara itu, spread yield antara obligasi sepuluh dan dua tahun, yang dipandang sebagai indikator resesi yang akurat, telah menipis hingga 0,11 persen dan dikhawatirkan akan segera jatuh ke zona negatif.
Sebagai informasi, setiap resesi ekonomi dalam lebih dari 60 tahun terakhir telah diawali oleh fenomena inverted yield curve ini karena permintaan obligasi bertenor pendek jatuh karena risiko yang membayangi perekonomian AS.
Adapun dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor tiga dan lima tahun.
Analisis Teknikal IHSG
Sumber: Bareksa
Menurut analisis Bareksa, secara teknikal pergerakan IHSG selama sepekan kemarin terlihat sedikit terkonsolidasi namun masih mampu mengalami penguatan secara mingguan.
Volume tidak terlihat seramai dibandingkan pekan sebelumnya, menandakan aktivitas transaksi yang mulai kembali normal seperti biasanya.
Dilihat secara trennya, IHSG saat ini masih dalam uptrend jangka pendek yang cukup baik dengan ditandai posisinya yang berada di atas garis MA 5 dan MA 20.
Indikator relative strength index (RSI) terpantau mulai kembali mencoba bergerak naik, mengindikasikan sinyal kenaikan yang mulai kembali terbuka dengan potensi target terdekat di level psikologis 6.200.
(KA01/AM)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.