Riset Aurora AM : Cermati Rupiah, IHSG Masih akan Konsolidasi di Bawah 6.000

Bareksa • 10 Sep 2018

an image
Pengunjung melintas di depan layar pergerakan angka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Akumulasi short-term trading pada saham potensial berkapitalisasi besar di lima sektor ini

Bareksa.com - Analis Aurora PT Asset Management, Novia Lauren, memperkirakan IHSG pada awal pekan ini masih berpotensi terkonsolidasi (minim sentimen positif) pada rentang 5.689 - 5.902.

"Kami memperkirakan IHSG pada awal pekan ini masih berpotensi terkonsolidasi dengan kecenderungan negatif pada range 5.689 - 5.902. Akumulasi short-term trading pada saham potensial berkapitalisasi besar di sektor batu bara, ritel, pakan ternak, perbankan, dan konsumsi (selective)," ujarnya dalam hasil riset yang dipublikasi Senin, 10 September 2018.

Perkembangan isu perang dagang pada pekan ini masih menjadi perhatian investor global. Selain itu rilis data ekonomi seperti inflasi, penjualan ritel dan produksi industri Amerika Serikat dan China, pertumbuhan produk domestik bruto Jepang, keputusan suku bunga acuan Bank Sentral Eropa (ECB) serta kondisi Turki juga turut dicermati investor.

Bursa Saham Asia tertekan ditenggarai efek dari perang dagang, dan kini AS mulai membidik jepang. Data PMI manufaktur Tiongkok di bulan Agustus relatif turun dari 50,8 menjadi 50,6. Di periode yang sama surplus neraca perdagangan China tercatat $27,91 miliar di mana ekspor hanya tumbuh 9,8 persen dan impor tumbuh 20 persen.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump mengatakan AS terganggu dengan defisit perdagangan senilai $56,6 miliar terhadap Jepang dan mengancam akan memberlakukan tarif impor tinggi bagi sektor otomotif Jepang. Di tengah ancaman tersebut, Perdana Menteri Shinzo Abe ingin mempererat dengan China terkait konflik perebutan Kepulauan Senkaku & Diayou.

Tekanan global dan domestik menjadi kabar tidak sedap yang menghampiri pasar keuangan dalam sepekan. Pasar obligasi dan saham terjerembab lebih dari 2 persen. Yield SUN benchmark naik 39 basis poin ke level 8,5 persen dengan penurunan terbesar pada obligasi seri FR75 sebesar  5,23 persen dan  FR65  sebesar 2,8 persen.

Sementara itu pada hampir seluruh sektor saham berakhir di zona merah dengan pelemahan terdalam pada sektor pertambangan yang menguat 6,09 persen & sektor industri dasar  naik 5,14 persen.

Depresiasi rupiah yang sempat menyentuh Rp15.000 per dolar di pasar spot turut menimbulkan kekhawatiran investor terkait penularan krisis mata uang di negara emerging market.

Bahkan pada pekan lalu, demi membatasi tekanan dolar, pemerintah telah mengumumkan kenaikan tarif impor sekitar 1.147 produk barang konsumsi mulai dari 2,5 - 7,5 persen dan 10 persen serta menyerukan kepada spekulan (eksportir korporasi) untuk melepas dolar yang dimilikinya ke pasar.

(AM)