Bareksa.com – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memperkirakan imbal hasil (return) instrumen surat utang tahun ini dapat mencapai 6,1-6,6 persen. Di sisi lain, konsensus analis memperkirakan yield United States (US) treasury 10 tahun diprediksi dapat mencapai 3,15 persen tahun ini.
Direktur dan Chief Investment Officer (CIO) Fixed Income MAMI, Ezra Nazula, menuturkan Indonesia mendapatkan sejumlah kabar positif untuk pasar surat utang. Keputusan Moody’s menaikkan sovereign rating Indonesia dari Baa3 menjadi Baa2, dari outlook positive menjadi stable akan memicu sentimen positif bagi pasar.
“Baru kali ini Indonesia mendapatkan rating Baa2 dengan outlook stable dari Moody’s,” ujarnya di Jakarta, Kamis, 26 April 2018.
Kenaikan rating tersebut menyusul Fitch yang telah menaikkan rating Indonesia pada Desember 2017. Akan tetapi efek dari peningkatan rating ini tidak akan sebesar yang terjadi di 2011 karena kenaikan rating masih sama terjadi dalam kategori investment grade.
Selain itu, obligasi Indonesia akan segera masuk dalam Indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate pada Juni 2018. Ezra menjelaskan kombinasi masuknya obligasi Indonesia ke dalam indeks Bloomberg-Barclays Global Aggregate dan kenaikan rating Fitch dan Moody’s berpotensi menarik aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia.
Harapannya, aliran dana asing dapat membantu membiayai melebarnya defisit transaksi berjalan tahun ini dan mendukung stabilitas nilai tukar. Dia memperkirakan ada potensi capital inflow sekitar US$7 - 8 miliar karena masuknya surat utang indonesia dalam indeks tersebut.
Membaiknya rating surat utang Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap selisih yield antara surat utang negara (SUN) 10 tahun dengan US treasury 10 tahun.
Selisih yield antara dua instrumen tersebut dalam dua tahun terakhir semakin menipis, saat ini selisih yield antara SUN dan US treasury 10 tahun sebesar 400 basis poin (bp).
Dia berharap naiknya rating surat utang Indonesia juga tidak membuat pasar surat utang Indonesia sangat bergejolak. Ezra juga memandang base investor surat utang Indonesia akan bergeser seiring membaiknya peringkat.
“Dari yang biasanya jangka pendek, seharusnya investor asing tipikilnya dapat berubah menjadi lebih jangka panjang,” tutur dia.
Tren kepemilikan investor asing pada surat utang Indonesia saat ini mencapai 41,29 persen. Angka itu meningkat dibandingkan 5-6 tahun lalu, kepemilikan investor asing hanya sekitar 30 persen.
Hal itu memperlihatkan investor asing sudah melihat fundamental ekonomi dan yield surat utang di Indonesia sangat menarik. Tahun ini saja, saat investor asing di pasar saham membukukan capital outflow, investor asing justru mencatatkan inflow di surat utang Rp40 triliun hingga 16 April 2018.
Proyeksi return surat utang tahun ini sekitar 6,1-6,6 persen dengan asumsi nilai tukar rupiah tahun ini pada range Rp13.300-13.700 per dolar AS.
Tantangan Pasar Surat Utang
Sementara itu, pasar surat utang Indonesia masih memiliki tantangan dari sentimen global. Sentimen utama berasal dari rencana Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga dan kenaikan yield US treasury 10 tahun.
Pekan ini yield US treasury 10 tahun sudah mencapai 3 persen, yang membuat yield surat utang negara tenor 10 tahun terdongkrak mencapai 7 persen. Di sisi lain, nilai tukar rupiah juga dalam kondisi melemah mendekati Rp14.000 per AS.
Ezra menilai, kenaikan yield US treasury 10 tahun tidak akan melebihi 3,15 persen. Hal itu terjadi karena kondisi perekonomian AS belum sebaik yang diperkirakan.
Inflasi AS juga kemungkinan tidak akan melebihi 2 persen tahun ini. Ezra memandang, selisih antara yield SUN 10 tahun dan US treasury 10 tahun dengan kondisi saat ini adalah 300-350 bp.
“Perbedaan yield seharusnya semakin turun seiring perbaikan risk premium surat utang Indonesia,” terangnya.
Sedangkan rupiah, dia yakin pemerintah akan menjaga nilai tukar hingga tidak akan mencapai Rp14.000 per dolar AS. Kondisi cadangan devisa (Cadev) Indonesia saat ini masih sangat besar, berbeda dibandingkan saat 2013 maupun 2015. (AM)