500 Anggota Apindo Potensial IPO, Dua di Antaranya Bakal Go Public Tahun Ini

Bareksa • 07 Feb 2018

an image
Karyawan beraktivitas di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/12). Menjelang libur Natal 2017 dan Tahun Baru 2018, IHSG mencatat rekor baru yaitu ke posisi 6.221,01 naik 37,52 poin atau 0,61 persen. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Mahkota Group berencana IPO saham tahun ini dengan target perolehan dana Rp100-250 miliar

Bareksa.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat saat ini terdapat sekitar 500 perusahaan anggotanya yang memiliki aset cukup besar untuk go public. Rencananya, dua anggota Apindo bakal melangsungkan penawaran umum perdana (initial public offering/ IPO) saham tahun ini.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Haryadi Sukamdani menuturkan, saat ini mulai banyak perusahaan menyadari bahwa perusahaan harus lebih transparan dalam pengelolaannya, selayaknya karakteristik perusahaan publik. Selain itu, ekonomi Indonesia juga bergerak pada arah yang lebih baik.

“Namun, banyak yang tidak paham, saat ada momentum bagus tetapi tidak banyak yang mengambil posisi,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 7 Februari 2018.

Dia mengungkapkan bahwa secara ukuran aset (size), jumlah perusahaan anggota Apindo yang siap go public di atas 500 perusahaan. Persoalannya tinggal apakah pemilik perusahaan tersebut mau mencatatkannya di Bursa Efek Indonesia atau tidak.

Haryadi mengaku bahwa terdapat dua perusahaan asal Sumatera Utara yang akan melakukan IPO saham tahun ini. Dua perusahaan tersebut berasal dari sektor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.

Satu di antara dua perusahaan anggota Apindo yang berencana go public tahun ini adalah Mahkota Group. Perusahaan tersebut berbisnis di sektor pengolahan kelapa sawit yang berbasis di Sumatera Utara.

Direktur Independen Mahkota Group, Nagian Toni menuturkan, perseroan berencana melepas sekitar 20-30 persen saham ke publik. Saat ini total aset perusahaan mencapai sekitar Rp1 triliun.

Toni mengatakan, saat ini perseroan mengoperasikan sebanyak enam pabrik kelapa sawit (PKS) dengan produksi rata-rata sebesar 45 ton per jam. Perseroan juga memiliki satu fasilitas bulking atau tempat menyimpanan kelapa sawit.

“Yang akan IPO saham holding-nya, nanti akan berinvestasi ke anak-anak usaha,” terang dia.

Perseroan membidik perolehan dana sekitar Rp100-250 miliar. Mahkota Group akan menggunakan dana hasil go public untuk ekspansi pembangunan pabrik pengolahan (refinery).

Bisnis Mahkota Group saat ini berasal dari pengolahan kelapa sawit saja. Perseroan memperoleh tandan buah segar (TBS) dari perkebunan masyarakat dan koperasi. Oleh sebab itu, marjin keuntungan perseroan dari TBS hingga pengolahan.

“Kita masih melakukan pengolahan setengah jadi, nanti mau ke arah refinery untuk produksi minyak goreng,” ujar Toni.

Mahkota Group telah menunjuk Panin Sekuritas sebagai penjamin emisi (underwriter). Selanjutnya, Mahkota Group bakal menggunakan laporan keuangan per Desember 2017 untuk IPO saham. Adapun pendaftaran ke BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan dilakukan pada Maret 2018.

“Kita akan IPO pertengahan Juni,” tuturnya. 

Pertimbangan IPO

Selama ini, perusahaan masih mempertimbangkan cara lain untuk mencari dana dibandingkan go public, karena setelah IPO perusahaan harus membuka informasinya. Selama ini, banyak yang masih berpikir perbankan sebagai sumber pendanaan, sehingga kredit bank masih mendominasi pembiayaan perusahaan.

Haryadi memandang, tren Bursa Efek Indonesia sedang menguat (bullish). Namun, jumlah perusahaan terbuka saat ini hanya sebanyak 568 perusahaan, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah perusahaan yang terdaftar di BPJS sebanyak 220 ribu perusahaan.

Perusahaan mempertimbangkan IPO saham bukan persoalan menaikkan modal dengan menambah ekuitas saja. Ada setidaknya dua faktor lain yang menjadi pertimbangan utama perusahaan.

Faktor pertama adalah memperbaiki struktur keuangan perusahaan dengan menyehatkan rasio utang. Sedangkan faktor kedua, perusahaan keluarga atau yang memiliki pemegang saham banyak memilih go public agar lebih transparan dalam pengelolaannya.

Meski begitu, di luar pertimbangan pragmatis internal perusahaan, banyaknya perusahaan go public secara nasional akan memperkuat akses masyarakat terhadap instrumen investasi. Dengan jumlah penduduk di atas 250 juta jiwa dan jumlah perusahaan 220 ribu, saat ini hanya hanya 568 perusahaan yang listed di BEI.

Hal itu membuat instrumen investasi masyarakat terbatas. Di samping itu, sebenarnya masyarakat saat ini sudah lebih mengapresiasi perusahaan, jadi investor tidak akan menekan untuk mendapatkan diskon yang banyak saat perusahaan melangsungkan IPO saham.

Haryadi juga menerangkan, dengan kondisi pasar saham bullish saat ini, banyak yang melihat ekonomi Indonesia secara positif. “Sayang jika perusahaan tidak mengambil posisi sekarang, padahal bisa membuat kondisi lebih baik,” kata Haryadi.

Apindo saat ini sudah menyampaikan pesan kepada seluruh anggotanya di daerah agar berkomunikasi dengan BEI untuk mendapatakan informasi terkait go public. Dengan potensi yang besar, perusahaan anggota Apindo perlu mendapatkan sosialisasi tentang go public. (hm)