Bareksa.com – Rencana bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga akan berpengaruh krusial terhadap arus dana asing di instrumen investasi Indonesia. Namun, pasar saham Indonesia diprediksi sudah mulai kebal terhadap aliran dana asing keluar (capital outflow).
John Rachmat, senior advisor and chief strategist Pinnacle Investment, mengatakan, animo investor asing terhadap surat utang Indonesia tahun lalu cukup besar. Namun, apabila pasar surat utang AS goyah karena kenaikan yield, pasar surat utang Indonesia dan emerging market lainnya akan terdampak negatif.
“Karena arus dana asing adalah relatif alokasi,” kata John di Jakarta, Jumat, 2 Februari 2018. (Baca Investor Domestik Panik saat Yield Surat Utang AS Naik, Kenapa?)
John menuturkan bahwa alokasi investor asing di instrumen surat utang Indonesia tidak mempertimbangkan peringkat (rating) kredit Indonesia. Posisi peringkat kredit Indonesia tidak berhubungan dengan arus dana asing.
Grafik: Pergerakan IHSG dan Dana Asing di Pasar Obligasi Year to Date
Sumber: Bareksa.com
Menurut dia, rating kredit mempertimbangkan langkah pemerintah dalam mengelola anggaran dan sejumlah hal lain. Sebenarnya rating Indonesia sudah cukup baik, ditambah dengan kabar Moody’s tengah bersiap menaikkan kembali rating Indonesia.
Sementara itu, rencana The Fed menaikan fed fund rate (FFR) atau suku bunga acuan AS tahun ini merupakan sentimen besar karena Bank Indonesia tidak bisa serta merta ikut menyesuaikan. Selama ini, Indonesia berada dalam tren bunga rendah setelah BI memangkas suku bunganya beberapa kali. Apabila tren kebijakan pemangkasan suku bunga berubah arah, hal itu menjadi keputusan besar.
“Jika BI menaikkan suku bunga, reaksi pasar besar sekali,” terangnya. (Lihat Empat Peristiwa Penting yang Jadi Sorotan Pelaku Pasar Pekan Ini)
Secara umum, lanjutnya, tren suku bunga rendah bagus untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Menurut John, biasanya penghentian tren suku bunga rendah dilakukan apaibla pertumbuhan ekonomi negara sudah tumbuh sangat kencang.
Dia berpendapat bahwa hal itu tidak bisa dilakukan secara terbalik dengan memutuskan menaikkan suku bunga. Meningkatkan suku bunga akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. (Baca Bank Indonesia Jaga Moneter Tanpa Ubah Suku Bunga Acuan, Ini Caranya)
Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata saat ini sekitar 5 persen. Apabila BI menaikkan suku bunga maka pasar akan mempertanyakan. Respon pelaku pasar terhadap kenaikan FFR akan bergantung pada reaksi BI tetapi dampaknya adalah arus dana asing dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Karena jika investor jual surat utang akan ditukar ke dolar AS,” katanya.
Meski begitu, bukan saat ini saja rupiah berada dalam tekanan. Beberapa kali BI berhasil menangani rupiah saat berada dalam tekanan, hingga saat ini pun nilai tukar rupiah relatif stabil. (Lihat The Economist Pesimistis dengan Ekonomi Indonesia 2018, Kenapa?)
Pasar Saham Kebal Outflow
Potensi kenaikan FFR akan berpengaruh juga terhadap pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG). Dia memperkirakan IHSG akan terkoreksi sementara usai keputusan tersebut. (Lihat Pidato Donald Trump Bawa Sentimen Positif, IHSG Kembali Menguat ke Area 6.600)
Grafik: Pergerakan IHSG dan Dana Asing di Pasar Saham Year to Date
Sumber: Bareksa.com
Pasar saham Indonesia akan terkoreksi saat terjadi tekanan jual tetapi akan kembali lagi setelah tekanan jual usai. Hal itu terjadi karena peranan asing sudah tidak terlalu besar di pasar saham. (Baca Seberapa Besar Kekuatan Investor Lokal Di Bursa Efek Indonesia?)
Pada 2015, saat terjadi outflow besar di pasar saham, kondisi pasar saham Indoenesia langsung crash karena peranan asing saat itu super besar sehingga tidak ada penyeimbang. Tetapi, hal yang terjadi pada 2015 tidak terulang pada 2017 saat tekanan jual asing juga tinggi.
“Kalaupun ada koreksi tidak akan terlalu lama bisa recover lagi,” jelasnya. (hm)