Bareksa.com - Dua anak usaha badan usaha milik negara (BUMN), yakni PT PP Presisi dan PT Wijaya Karya Bangunan Gedung menetapkan harga pelaksanaan penawaran umum perdana (initial public offering/ IPO) saham pada batas bawah. Hal itu membuat PP Presisi berencana melangsungkan secondary offering usai pelaksanaan IPO saham.
Direktur Keuangan PT PP Tbk (PTPP), induk usaha PP Presisi, Agus Purbianto mengatakan, demand investor terhadap saham PP Presisi berada pada harga bawah. Hal itu membuat perseroan memutuskan mengurangi jumlah saham yang diterbitkan saat IPO saham menjadi 23 persen dari modal disetor, dari sebelumnya 35 persen.
"Kami menilai harga itu terlalu murah, jadi kami kurangi jumlah sahamnya," jelas dia kepada Bareksa di Jakarta, Rabu, 15 November 2017.
Meskipun perseroan mengurangi jumlah saham dan menetapkan harganya pada batas bawah, PP Presisi tidak akan mengendurkan rencana ekspansinya di masa mendatang. Hanya saja PP Presisi akan mengalihkan sumber dana yang awalnya diharapkan dari penerbitan saham menjadi pinjaman.
Agus juga mengungkapkan, usai IPO saham, PP Presisi berencana menggalang dana kembali di pasar modal melalui secondary public offering (SPO). Dia berharap, setelah PP Presisi memperlihatkan kinerjanya, investor akan lebih yakin terhadap perseroan.
Sebagai informasi, secondary offering adalah aksi korporasi menawarkan saham kepada publik di pasar setelah perusahaan IPO. Bentuk dari aksi korporasi ini bisa berupa private placement (penawaran tanpa hak memesan efek kepada pihak tertentu) dan rights issue (penawaran dengan hak memesan efek).
Dia mengatakan bahwa perseroan masih menginginkan rasio harga dibandingkan laba bersih per saham (price to earning per share/ PER) PP Presisi di atas 10 kali. Dengan harga pelaksanaan saham Rp430, PER PP Presisi masih berada pada kisaran 10,1-10,2 kali. Nilai PER yang rendah mencerminkan harga saham yang murah.
Permintaan pasar terhadap saham PP Presisi pada harga batas bawah kemungkinan karena terpengaruh penawaran harga saham sister company-nya, Wijaya Karya Gedung (Wika Gedung). Saat melangsungkan IPO saham, Wika Gedung menetapkan harga saham batas bawahnya sebesar Rp290 per saham, yang mencerminkan PER sebesar 7 kali.
Sebelumnya, PP Presisi menawarkan harga sahamnya senilai Rp430-550 per saham. Harga tersebut mencerminkan PER sebesar 10-15 kali.
Usai menetapkan harga IPO dan mengurangi jumlah saham yang diterbitkan, PP Presisi berpotensi memeroleh dana sebesar Rp1,01 triliun, lebih rendah dari proyeksi awalnya sebesar Rp1,82-2,33 triliun.
Sementara itu, sumber yang mengetahui transaksi Wika Gedung mengungkapkan bahwa anak usaha dari PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) tersebut menetapkan harga pelaksanaan IPO-nya pada harga bawah. Selain itu, Wika Gedung juga memangkas emisi sahamnya menjadi 30 persen dari modal disetor, dari rencana awal sebanyak 40 persen.
Hal itu membuat Wika Gedung berpotensi memperoleh dana sebesar Rp823,3 miliar. Jumlah proyeksi perolehan dana itu lebih rendah dari proyeksi perolehan dana awal sebesar Rp832,3 miliar hingga Rp2,04 triliun.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji mengatakan bahwa penetapan harga IPO di batas bawah ini merupakan upaya dari calon emiten untuk menarik animo masyarakat sekaligus menghindari tidak tercapainya target (undersubscribe). "Kalau harga lebih murah, animo masyarakat naik. Jadi, bisa menghindari undersubscribe," ujarnya ketika dihubungi oleh Bareksa.com.
Dia pun mengatakan dengan penetapan harga penawaran yang murah, saham-saham tersebut pun berpotensi untuk naik lebih tinggi saat pertama kali tercatat (listing) di Bursa Efek Indonesia. Selain itu, nilai PER yang rendah dengan harga saat ini juga bisa menjadi daya tarik bagi investor pasar modal.
"Kalau sahamnya memiliki PER murah, akan terlihat menarik. Selain itu, potensi harga saham naik saat listing perdana akan terbuka lebar," ujarnya. (hm)