Bareksa.com – Penambahan jumlah emiten di pasar modal selalu menjadi pekerjaan rumah Bursa Efek Indonesia (BEI). Akan tetapi BEI tak perlu khawatir. Nyatanya, banyak perusahaan Indonesia yang juga telah memikirkan ke arah menjadi perusahaan terbuka.
Seperti yang disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani di Jakarta, Senin, 6 November 2017. Hariyadi menuturkan, pertumbuhan emiten di BEI termasuk lambat. Namun tahun ini BEI pimpinan Tito Sulistio terbilang cukup agresif dengan sudah mencatatkan 28 emiten baru.
Selama ini Hariyadi melihat, banyak perusahaan yang mengacu pada benchmark perbankan sebelum masuk ke pasar modal. “Kalau perbankan lebih murah, dan lebih sederhana, pasti mereka (perusahaan) akan ke bank untuk cari dana,” ucap Hariyadi.
Untuk itu, Hariyadi mengakui tingkat kesadaran perusahaan untuk terbuka masih minim. Apalagi, lanjutnya, sampai saat ini saham belum bisa menjadi kolateral sehingga menimbulkan kekhawatiran jika perusahaan bermasalah, maka sahamnya tidak bisa dieksekusi.
Dia pun menyarankan, hal tersebut harus ditinjau kembali. “Di negara maju lainnya, saham itu bisa menjadi jaminan. Kita kan tidak bisa karena tidak boleh sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” imbuh dia.
Menanggapi pernyataan Hariyadi, Pengamat Pasar Modal Prof Adler Haymans Manurung menilai hal tersebut sulit untuk diwujudkan. Pasalnya, kata dia, kolateral saham tidak bisa dilakukan karena tidak sesuai dengan Undang-Undang, khususnya UU Perbankan.
“Lagi pula, untuk apa jadi kolateral. Apa bedanya dengan repo,” ujarnya.
Dia pun menegaskan, jika ingin saham jadi kolateral maka perlu proses panjang karena harus mengubah undang-undang terkait. Sebagai informasi, sejauh ini sudah umum terjadi praktik repo (repurchase), yakni perjanjian antara dua pihak untuk melakukan penjualan sebuah aset atau underlying berupa obligasi atau saham yang nantinya akan dibeli kembali. Namun, perjanjian repo itu hanya terjadi antara dua pihak dan tidak ada regulasi khusus dari otoritas, tetapi hanya dalam bentuk acuan standar.
Meski begitu, Hariyadi mengungkapan, beberapa anggotanya mulai banyak tertarik untuk masuk ke pasar modal. Karena pada dasarnya, kata dia, mau tidak mau harus ada alternatif pendanaan dan perlu memperkuat struktur ekuitas.
Namun Hariyadi enggan menyebut identitas perusahaan-perusahaan tersebut. “Macam-macam. Salah satunya dari sektor kelapa sawit. Banyak yang sudah tanya,” katanya.
Sebagai informasi, jumlah perusahaan yang melangsungkan penawaran umum perdana (initial public offering/ IPO) saham di BEI diproyeksikan mencapai 36-37 perusahaan, melampaui target bursa sebanyak 35 perusahaan. Sepanjang 2017, sudah ada 28 perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya (listing) di BEI.
Tabel: Daftar Emiten Baru di 2017
Sumber: BEI
Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat pernah menjelaskan, sudah ada sekitar 10-11 perusahaan yang akan melangsungkan penwaran umum perdana saham pada 2017. Perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan buku April dan Juni saat melakukan IPO saham.
"Yang menggunakan buku April harus IPO 2017, tetapi yang buku Juni bisa IPO pada 2018 tetapi pernyataan efektifnya harus diperoleh 2017," ujar dia.
Menurut Samsul, ada beberapa perusahaan baru yang mendaftar untuk IPO saham. Dia menyebut PT Dwi Guna Laksana sebagai salah satu perusahaan yang baru mendaftarkan diri.
Dari sebanyak 10-11 perusahaan yang masuk dalam pipeline BEI, 80 persen di antaranya bakal mencatatkan sahamnya di papan pengembangan, sementara sisanya masuk dalam papan utama. Dia belum menyebut perusahaan mana saja calon perusahaan yang akan masuk dalam papan pengembangan maupun papan utama. (hm)