Bareksa.com - Sejak awal Mei 2016 hingga penutupan perdagangan kemari, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) telah melemah 2 persen. Apakah hal ini disebabkan adanya istilah “Sell in May and Go Away” yang sudah mendunia?
Banyak investor sering kali salah mengerti arti dari istilah ini. Tak sedikit investor menganggap periode Mei merupakan waktunya menjual.
Mitos ini muncul karena sebagian orang percaya bahwa fund manager dan investor cenderung melikuidasi beberapa investasinya sebelum pergi untuk liburan musim panas. Apakah benar fenomena itu berlaku di pasar modal Indonesia?
Bareksa mengumpulkan data pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama 10 tahun terakhir sejak 2005. Level IHSG disajikan per bulan, dengan warna merah menunjukkan penurunan dan hijau mengindikasikan kenaikan selama periode tersebut.
Tabel : Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan Periode Januari 2005 - April 2016
Sumber: Bareksa.com
Data historis yang dikumpulkan Bareksa tidak mendukung mitos "Sell in May" tersebut. Selama 10 tahun terakhir, 70 persen menunjukkan adanya kenaikan IHSG pada bulan Mei. Menurut data historis, justru penurunan IHSG lebih sering terjadi pada bulan Agustus. Selama 10 tahun terakhir tingkat terjadinya penurunan mencapai 70 persen.
Sementara di bulan terakhir tiap tahunnya, tingkat kemungkinan IHSG menguat semakin besar. Terlihat selama 10 tahun, kejadian menguatnya IHSG pada Desember mencapai 100 persen.
Research Analyst Avrist Asset Management Billy Nugraha menjelaskan bahwa fenomena penjualan pada Mei tidak selalu terjadi. "Trend down selama 10 tahun terakhir justru terjadi pada Agustus," katanya kepada Bareksa.
Dia mengatakan pada umumnya pelemahan IHSG disebabkan oleh kondisi perekonomian yang berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Indeks akhir-akhir ini melemah akibat respon pelaku pasar terhadap kinerja emiten yang di bawah ekspektasi dan menunjukkan adanya perlambatan pada kuartal pertama tahun ini.
Selain itu, sentimen global juga turut serta menyumbang tekanan terhadap penurunan IHSG seperti data hiring Amerika Serikat yang jauh di bawah ekspektasi, masih melemahnya pertumbuhan ekonomi Amerika, serta penguatan AS Dollar yang membawa dampak pada fluktuasi harga komoditas. Disamping itu, dari sisi moneter spekulasi kenaikan fed fund rate kembali muncul yang juga mendorong penguatan mata uang Paman Sam tersebut.