Bareksa.com - Tidak dapat dipungkiri bahwa isu pengetatan kebijakan ekonomi Amerika Serikat selalu menghantui negara berkembang termasuk Indonesia yang menikmati aliran uang panas dari negara ekonomi terbesar tersebut. Uniknya, dampak dari pengetatan kebijakan justru positif bagi pasar saham secara historis.
Rencana peningkatan suku bunga Amerika Serikat (AS) sudah diluncurkan sejak akhir 2014 lalu ikut memberi kontribusi pada pelemahan bursa saham Indonesia. Munculnya spekulasi di pasar keuangan global bahwa Bank Sentral AS akan segera meningkatkan suku bunga di pertengahan 2015, mendorong investor asing untuk menarik dana dari Tanah Air.
Berdasarkan data Bareksa, secara year-to-date dana asing yang keluar hampir menyentuh Rp26 triliun menjadi Rp142 triliun dari sebelumnya Rp168 triliun. Mendorong susutnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga 15 persen menjadi 4.472,84 per 13 November 2015 dari akhir tahun lalu 5.226,95. Padahal, peningkatan suku bunga belum benar-benar dilakukan oleh The Fed.
Bagaimana impaknya jika The Fed sudah benar-benar menaikkan suku bunganya?
Grafik: Arus Dana Asing & IHSG year-to-date
sumber: Bareksa
Belajar dari 2013 ketika The Fed melakukan pengetatan kebijakan dengan melakukan tapering atau pemangkasan stimulus Quantitative Easing, respon negatif terjadi lebih dahulu sebelum kebijakannya diluncurkan.
Rencana tapering sudah digaungkan mantan gubernur The Fed Ben Bernanke sejak Mei 2013. Dalam sesi tanya jawab dengan Komite Ekonomi Gabungan AS pada 22 Mei 2013, Bernanke memberi sinyal bahwa The Fed akan mengurangi stimulus didukung perkembangan data tenaga kerja negeri Paman Sam.
Akibatnya dana asing lari dari bursa saham Indonesia. Data Bareksa menunjukan bahwa pada Juni - Desember 2013 terjadi arus keluar dana asing Rp40 triliun. IHSG anjlok 16 persen pada periode yang sama. Padahal tapering belum benar-benar dilakukan oleh Bank Sentral AS.
Namun, setelah tepering benar-benar dilakukan pada Desember 2013, pasar justru memberi respon positif. Pada Januari 2014, aksi beli investor asing mulai meningkat, sampai dengan Juni pembelian asing mencapai Rp37 triliun, dan IHSG meningkat 14 persen.
Grafik: Arus Dana Asing & IHSG 2013-2014
Sumber: Bareksa
Begitu juga jika kita membandingkan data pergerakan indeks saham di Amerika yaitu S&P 500 dengan Fed Fund Rate selama 20 tahun terakhir. Selama tahun 1995 - 2000, The Fed menaikkan suku bunga acuan dari sekitar 4 persen menjadi 6 persen. Pada periode yang sama S&P justru melonjak 3 kali lipat ke level 1.500 dari sebelumnya 450.
Tetapi ketika suku bunga kembali anjlok hingga dibawah 2 persen, level S&P kembali anjlok ke angka 815 atau merosot setengahnya. Lalu saat suku bunga kembali meningkat sejak 2004 - 2007, indeks S&P kembali bertengger di level 1.500. Saat pemerintah Amerika melonggarkan kebijakan ekonominya untuk mengatasi krisis 2008 dengan kembali menurunkan suku bunga acuan, indeks S&P lagi-lagi harus menyentuh angka 800.
Kesimpulannya indeks saham justru terkoreksi jika The Fed sudah selesai menaikkan suku bunga, bukan saat menaikkan suku bunga. (np)
Sumber: www.federalreserve.gov diolah Bareksa.com