Bareksa.com - Serangan bersenjata dan aksi bom bunuh diri oleh teroris ISIS di Paris, Prancis, pada Jumat, 13 November lalu, tak cuma menghantam rasa kemanusiaan masyarakat dunia. Laknat itu juga turut menghantam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari Senin ini.
IHSG terserat bursa Eropa yang pada akhir pekan lalu ditutup di zona merah. Pada hari Jumat berdarah itu, indeks CAC 40 Prancis anjlok 1 persen, FTSE 100 Inggris amblas 0,98 persen, sedangkan DAX Jerman menyusut 0,69 persen.
Menurut data Bareksa, aksi teror dunia selalu saja ikut menghantam bursa saham nasional.
Teror di Paris tak pelak memperburuk sentimen investor di saat bursa saham global masih berada di teritori negatif terkait rencana The Fed menaikkan suku bunga acuan pada Desember 2015 mendatang. "Serangan Paris" menambah was-was investor, sebagaimana tercermin dari kenaikan VIX Index.
CBOE Volatility Index atau biasa disebut VIX Index merupakan ukuran volatilitas indeks Dow Jones yang bisa dijadikan acuan pergerakan saham secara global. Angka VIX Index yang semakin tinggi menunjukkan ketakutan investor terhadap risiko juga sedang menanjak. Jika sudah begini, maka investor memilih mengalihkan dana dari saham ke aset yang risikonya lebih rendah.
Data Bloomberg yang diolah Bareksa menunjukkan VIX Index pada tanggal 13 November kemarin menyentuh angka 20,08. Angka ini merupakan level tertinggi sejak anjloknya harga saham global pada pertengahan Agustus 2015 lalu, yang dipicu merebaknya kekhawatiran The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada September 2015 lalu.
Grafik: Pergerakan VIX Index 1 Januari - 13 November 2015
Sumber: Website Bloomberg diolah Bareksa
Nahasnya, bursa saham di Indonesia pun ikut terhantam. Tingginya sentimen negatif di kalangan investor global turut menekan IHSG yang hingga Senin sore ini, 16 November, jam 15.50 WIB melemah 0,6 persen ke posisi 4.450. Meski demikian, pelemahan IHSG masih lebih mendingan dibandingkan Indeks Dow Jones yang amblas 1,2 persen pada hari Jumat kemarin.
Pola serupa dengan dampak yang paling parah terjadi paska Tragedi 9/11 pada 2001 silam. Serangan bunuh diri dari empat pesawat jet yang menabrakkan diri ke menara kembar World Trade Center, New York; dan Pentagon, Virginia itu sempat membuat indeks Dow Jones Amerika ambruk 14 persen pada periode 10-21 September 2001.
Dan imbasnya pun sampai ke Indonesia. IHSG ikut jebol 9 persen pada kurun waktu 11-17 September 2001. Tak hanya itu, nilai tukar rupiah juga ambrol hingga menyentuh level Rp9.600 per dolar Amerika. Kondisi ini diperparah dengan pergulatan politik Presiden Abdurrahman Wahid. Sehingga, ketika pasar saham gobal berangsur pulih, IHSG masih terus berkontraksi dan nilai tukar rupiah terus merosot hingga ke level Rp10.000 per dolar Amerika.
Grafik: Pergerakan IHSG, Indeks Dow Jones dan Nilai Tukar Rupiah
Sumber: Bareksa
Yang dampaknya paling "kecil" adalah aksi bom di London. Pengaruh serangan teroris pada 7 Juli 2005 ini relatif kecil untuk bursa saham Indonesia. Pada hari itu, IHSG hanya merosot 0,8 persen.
Bagaimana dengan dampak aksi teror di dalam negeri?
Tak kurang-kurang parahnya.
Yang paling jahat dampaknya adalah aksi teror Bom Bali I. Ledakan dahsyat pada 12 Oktober 2002 ini langsung merontokkan IHSG hingga 10,37 persen dalam tempo tiga hari.
Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 tidak separah itu dampaknya. Aksi teror ini nyaris berbarengan dengan pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi di masa Presiden SBY untuk yang kedua kalinya, setelah kenaikan pada Maret 2005. Tak cuma karena bom teroris, harga saham sudah lebih dulu terkapar dipukul kenaikan harga BBM bersubsidi. (Baca juga: Pergolakan Rupiah dari Rezim Soeharto hingga SBY)
Tabel: Dampak Aksi Teror terhadap Pergerakan IHSG
Sumber: Bareksa
Efek bom teroris kembali membesar pada 2009, saat bom bunuh diri meluluhlantakkan Hotel JW Marriott di Jakarta. IHSG terpukul 2,1 persen pada periode 15-17 Juli 2015. Pasar saham geger karena bom meledak saat digelar CEO Meeting di hotel tersebut. Direktur PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) bahkan turut menjadi korban. (kd)