Bareksa.com - Banyak hal yang terjadi pada tahun 2014 ini dan berpengaruh terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta nilai tukar rupiah. Deutsche Bank merangkum itu semua dalam riset yang dibagikan kepada nasabahnya.
Pertama adalah air bah yang menerjang wilayah Jakarta pada bulan Januari yang menyebabkan sejumlah wilayah di Ibukota cukup parah terendam banjir.
Pada bulan Januari ini minat investor pada lelang obligasi juga sangat tinggi. Hal ini tercermin pada yield SUN benchmark dengan tenor 10 tahun yang mengalami penurunan cukup dalam pada awal hingga pertengahan Januari, yakni 70 basis poin menjadi 8,44 persen.
Grafik: Pergerakan Yield Surat Utang Negara Tenor 10 Tahun Selama 1 Tahun
Sumber: Bareksa.com
Setelah itu, munculnya rumor bahwa Megawati Soekarnoputri akan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dari PDI-P dengan Jokowi sebagai wakilnya membuat IHSG dan nilai tukar rupiah bergerak mixed.
Neraca perdagangan bulan Desember 2013 yang mencatatkan surplus $1,5 miliar turut menjadi perhatian investor pada awal Februari. Selain itu, defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2013 menipis ke level 2 persen Produk Domestik Bruto (PDB).
Hal ini turut membuat penguatan pada IHSG dan nilai tukar rupiah. Yield obligasi pun turun hingga 8,36 persen pada pertengahan bulan ini.
Beralih ke bulan Maret 2014, Jokowi menerima mandat dari Ketua Umum PDIP Megawati untuk maju sebagai calon presiden 2014. Pasar merespons positif dan mendorong penguatan di pasar saham, obligasi, hingga nilai tukar rupiah.
Sementara itu, pada bulan April tepatnya pada 9 April 2014, Indonesia menggelar Pemilu Legislatif. Pelaku pasar sempat terkejut akan hasilnya. PDI-P, partai pengusung Jokowi sebagai calon presiden, ternyata diprediksi sejumlah hasil hitung-cepat hanya akan mendapatkan 20 persen suara. Akibatnya, IHSG sempat anjlok 3,16 persen pada perdagangan keesokan harinya, 10 April.
Di bulan Mei, IHSG bergerak mixed merespons diumumkannya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2014 sebesar 5,2 persen -- yang artinya berada di bawah konsensus sebesar 5,6 persen. Angka pertumbuhan ini masih sejalan dengan ekspektasi para pelaku pasar. Selain itu, pengumuman hasil pemilu legislatif juga mengerucutkan pertarungan ke dua calon presiden, yakni Prabowo dan Jokowi.
Popularitas Prabowo semakin meningkat sebulan sebelum digelar Pemilu Presiden pada bulan Juli. IHSG pun bergerak stabil dan cenderung menurun pada bulan Juni. Di bulan ini Deutsche Bank meluncurkan sebuah survei yang ramai diperbincangkan di 2014, yakni survei eksklusif untuk mengukur hasil pemilu presiden dan untuk mengetahui bahwa 3 peristiwa penting di bulan ini mempengaruhi pandangan investor: pemilu, Piala Dunia, atau Ramadan.
Pada bulan Juli, pemilu presiden diwarnai tingginya tingkat kepercayaan investor bahwa Jokowi akan terpilih sebagai presiden dan ini akan mendorong IHSG naik sehari setelah pemilu. IHSG terus menunjukkan tren penguatan ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan pasangan Jokowi-JK secara resmi memenangkan Pemilu Presiden 2014.
Setelah itu, keputusan Mahkamah Konstitusi di bulan Agustus yang menolak gugatan Prabowo dan mengukuhkan keputusan KPU bahwa Jokowi-JK adalah pemenang yang sah, sebagai pemenang dari pemilu Presiden kembali mendongkrak performa IHSG dari kondisi semula yang relatif stagnan.
IHSG pada bulan September juga bergerak stabil. Sentimen positif bersumber dari bertambahnya anggota koalisi partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Namun, nilai tukar rupiah justru melemah dihantam faktor eksternal, yakni menguatnya dolar Amerika. Penguatan ini disebabkan kebijakan bank sentral Amerika melanjutkan program pengurangan stimulus (tappering off) dan rencana menaikkan suku bunga acuan (Fed Rate).
Grafik: Pergerakan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika dalam 1 Tahun
Sumber : Bareksa.com
Para bulan Oktober, pelaku pasar menunggu komposisi kabinet Jokowi-JK yang pengumumannya sempat ditunda beberapa kali. Ketidakpastian sempat membuat pasar obligasi bergerak mixed. IHSG dan nilai tukar rupiah pun sempat melemah di awal bulan.
Namun, begitu Kabinet Kerja 2014-19 diumumkan, pasar kembali merespons positif. IHSG dan nilai tukar rupiah menguat, yield SUN menurun.
Sentimen positif kembali memancar setelah Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada bulan November. Kebijakan yang tak populer ini ditanggapi positif oleh pelaku pasar karena akan mengurangi defisit neraca berjalan dan mengokohkan fundamental perekonomian nasional dalam jangka panjang. BI rate lalu dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 7,75 persen.
Di akhir tahun, di bulan Desember, pasar kembali bergerak mixed namun cenderung stabil akibat terus merosotnya harga minyak dunia. Dampak dari turunnya harga minyak yang sempat menyentuh level $60 per barel itu tampak pada yield obligasi yang melonjak pada pertengahan bulan ini.
Grafik: Pergerakan IHSG dan Nilai Tukar Rupiah dalam 1 Tahun
Sumber: Bareksa.com
Tantangan terberat datang dari ambruknya nilai tukar rupiah ke level terburuk sejak 2008 lalu, dan sempat menyentuh level Rp12.900 per dolar Amerika. Salah satu penyebabnya adalah besarnya capital outflow dari pasar obligasi.
Kabar yang berembus bahwa The Fed akan mempercepat kenaikan suku bunga juga sempat membuat IHSG anjlok. Namun, IHSG kembali bergerak menguat dan stabil setelah bank sentral AS memberikan indikasi baru akan menaikkan Fed Rate pada April tahun depan. (kd)