Di Asia Tak Ada yang Mau Beli, Kecuali Aset Indonesia: Manaj

Bareksa • 26 Aug 2014

an image
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad (tengah) menutup perdagangan saham hari terakhir tahun 2013 di Galeri BEI, Jakarta (ANTARAFOTO/Widodo S. Jusuf)

Investor telah mulai "factor-in" kenaikan harga BBM, ini salah satu alasan investor asing lebih tertarik pada Indonesia.

Bareksa.com - Di tengah ketidakstabilan ekonomi global, investor asing masih relatif positif memandang Indonesia sebagai tujuan investasi dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Persepsi bakal makin positif terutama jika Indonesia dapat mengatasi persoalan subsidi Bahan Bakar Minyak.

Kepada Bareksa.com, seorang manajer investasi asing asal Singapura yang mengelola dana hingga USD25,8 miliar (Rp301,86 triliun), berharap pemerintah dapat mengurangi subsidi BBM karena ini akan menjadi solusi defisit pada neraca transaksi berjalan, serta mendorong likuiditas dana di Indonesia.

"Dengan subsidi yang berlebihan, kita sama dengan mengambil uang dari dalam negeri, kemudian dibayarkan ke luar negeri, karena posisi kita adalah net importer. BBM harus naik," ujar manajer investasi yang tidak mau disebut namanya karena alasan kebijakan dari kantornya.  

Di periode Januari-Juni 2014, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit senilai USD1,16 miliar, disebabkan oleh defisitnya sektor migas (minyak dan gas) sebesar USD6,12 miliar, walaupun sektor non migas mengalami surplus sebesar USD4,96 miliar.

Besarnya impor migas mendorong pembengkakan nilai subsidi BBM, di mana dari Januari hingga Juni 2014 realisasi penggunaan subsidi BBM telah mencapai Rp120,7 triliun atau sebesar 57,3 persen dari total anggaran setahun.

Artinya likuiditas dana yang dimiliki pemerintah dibawa keluar negeri melalui pembayaran impor migas. Jika subsidi dikurangi, maka pemerintah memiliki dana untuk membiayai proyek infrastruktur dan subsidi pertanian.

Investor sendiri telah mulai "factor-in" kenaikan harga BBM dalam waktu dekat di Indonesia, dan inilah salah satu alasan investor asing lebih tertarik pada Indonesia dibanding negara-negara lainnya di Asia.

"Tiap hari kami -- tim Asia ex. Jepang -- ada morning meeting. Sudah sebulan terakhir, semua tidak ada yang mau beli. Semua mau jual, kecuali untuk Indonesia. Dari sisi regional, kayaknya Indonesia adalah the best among the worst," ujar manajer investasi itu. “Saat ini tidak banyak pilihan investasi bagi manajer investasi asing. Indonesia salah satu pilihan terbaik karena masih memiliki potensi pertumbuhan ekonomi.”

Market di China memang sedang naik lagi, tapi investor sudah mengetahui bahwa keadaan itu didasari oleh stimulus pemerintah dan tidak berlangsung lama.  

"Orang sudah tahu habis stimulus, market akan naik terus turun lagi. Lama kelamaan efek stimulus makin pendek. Stimulus yang pertama dampaknya bertahan satu tahun, yang kedua 6 bulan, sekarang orang memprediksi 3 bulan saja," kata manajer investasi berkebangsaan Indonesia yang tinggal dan bekerja di Singapura ini.
 
Sementara itu, investasi di Filipina dinilai beresiko tinggi, karena terkendala masalah ekonomi struktural. Pasalnya, perekonomian di negeri Ferdinand Marcos ini hanya dikuasai oleh 22 keluarga saja, seperti Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Sekarang ini secara regional hanya Indonesia dan Thailand yang masih banyak diharapkan investor global.

Indonesia telah lebih dahulu menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin menjadi 7,5 persen dalam kurun waktu satu tahun terakhir.

"Emerging market sekarang semua sedang menaikkan suku bunga. Indonesia sudah duluan, setahun lalu lebih. Efeknya Indonesia bisa easing duluan pada saatnya nanti, ketika orang lain masih tightening. This could be positive for the market."

Terkait dengan dampak pemilu, banyak investor asing yang masih menunggu apakah Joko Widodo dapat sepenuhnya mengimplementasi kebijakan-kebijakan yang direncanakan. Keraguan itu terkait dengan kepastian kubu Jokowi dapat memperoleh suara mayoritas di kursi parlemen.

Jika kubu Jokowi didukung oleh mayoritas suara di parlemen, IHSG diperkirakan dapat melonjak tajam, seperti yang terjadi di India. Terpilihnya Narendra Modi sebagai perdana menteri India dengan didukung suara mayoritas parlemen mendorong kenaikan indeks saham India sebesar 5 persen per hari, berturut-turut selama seminggu perdagangan.

Investor asing sekarang ini masih menaruh harapan pada kepemimpinan Jokowi. Ini tercermin dari masih tingginya arus masuk (inflow) dana asing. Dari awal tahun hingga 18 Agustus (year-to-date), inflow di pasar saham mencapai Rp 47,56 triliun. Sedangkan di pasar obligasi inflow asing mencapai Rp95,13 triliun. (QS)