Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis, 18 Juni 2020 :
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini akan bertumpu pada kondisi akhir tahun. Hal ini mengingat tekanan dampak corona virus disease 2019 (Covid-19) terhadap ekonomi domestik sejak awal tahun hingga saat ini masih berlangsung.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meramal pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 minus 3,1 persen. Menurutnya, kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memberi tekanan ekonomi dalam negeri pada April lalu dan berlanjut makin dalam hingga Mei.
Menkeu bilang, ekonomi pun tersendat tidak hanya di DKI Jakarta melainkan sudah meluas hingga Jawa Timur sebagai pusat penyebaran Covid-19 terbesar kedua. Sehingga, konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2020 diprediksi bakal ambles. Sejalan, dari sisi perdagangan baik impor maupun ekspor dalam tren yang lesu pada kuartal II 2020.
Kendati begitu, pelonggaran PSBB saat ini menambah confidence pemerintah untuk menumbuhkan ekonomi. Sri Mulyani optimistis pada kuartal III 2020 ekonomi Indonesia bisa menuju level positif berada di level 0 persen, dan benar-benar pulih di kuartal IV 2020.
“Untuk itu, kami menjaga akar ekonomi di tahun ini tidak mengalami resesi. Karena ada pemulihan di kuartal III dan kuartal IV. Saat ini masih menggunakan proyeksi minus 0,4 persen sampai 2,3 persen di tahun ini,” kata Menkeu Sri Mulyani, Selasa (16/6) dilansir Kontan.
Dengan realisasi Produk Domestik Bruto (PDB) yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 2,97 persen di kuartal I 2020, maka pada kuartal IV 2020 pertumbuhan ekonomi minimal berada di level 2,43 persen, agar sesuai dengan skenario dari pemerintah.
Untuk menjaga ekonomi, pemerintah menggelontorkan dana pemulihan ekonomi Rp695,2 triliun. Anggaran itu diperuntukan bagi sektor kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,36 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, dan sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemda Rp106,11 triliun.
Adapun sampai dengan akhir Mei 2020 realisasi stimulus tersebut untuk kesehatan baru 1,54 persen, perlindungan sosial 28,63 persen, insentif usaha 6,8 persen, UMKM 0,06 persen, sektoral dan Pemda 3,65 persen, sedangkan pembiayan korporasi belum dimanfaatkan sama sekali.
Kepemilikan Bank di SBN
Perbankan makin getol mengoleksi SBN selama pandemi. Catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 15 Juni 2020, seperti dilansir Kontan, kepemilikan SBN oleh bank kini telah mencapai Rp1.005,25 triliun. Nilai tersebut telah meningkat signifikan 61,57 persen (ytd) dibandingkan awal tahun Rp622,2 triliun. Selain secara nilai, porsi kepemilikan terhadap jumlah SBN juga meningkat pesat hampir 10 persen. Dari 22,63 persen pada 2 Januari 2020, menjadi 32,6 persen pada 15 Juni 2020.
Di sisi lain, transaksi di pasar uang baik via antar bank (PUAB) maupun dengan Bank Indonesia melalui repo justru cenderung menurun. Dari catatan Bank Indonesia, transaksi PUAB, dan pasar uang antar bank syariah (PUAS) berada dalam tren menurun. Per April nilai transaksi PUAB pada seluruh tenor mencapai Rp9,21 triliun, sedangkan transaksi PUAS senilai Rp298 miliar.
Sedangkan pada akhir tahun lalu nilai transaksi PUAB mencapai Rp17,59 triliun, sedangkan PUAS senilai Rp1,08 triliun. Hal serupa juga terjadi dalam rekam jejak transaksi repo yang menurun dari Rp976 miliar pada akhir tahun lalu menjadi Rp354 miliar per April. Meskipun pada Februari nilai transaksi sempat tercatat meningkat menjadi Rp1,16 triliun.
Fintech
Perlahan tapi pasti investor asing mulai menempatkan dana di peer to peer (P2P) lending Indonesia. Dana tersebut disalurkan dalam bentuk pinjaman bagi peminjam UMKM di Indonesia. Juru bicara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sekar Putih Djarot menyatakan jumlah pemberi pinjaman (unique lender) luar negeri per April 2020 sebanyak 1.028 entitas. Adapun total oustanding pinjaman yang disalurkan oleh lender asing mencapai Rp4,68 triliun.
Sebagai gambaran, total outstanding pinjaman P2P lending hingga April 2020 senilai Rp13,75 triliun. Nilai itu tumbuh 67,27 persen year on year (yoy) dibandingkan April 2019 senilai Rp 8,22 triliun. Adapun akumulasi penyaluran pinjaman tumbuh 186,54 persen yoy menjadi Rp106,06 triliun hingga empat bulan pertama 2020.
Pinjaman tersebut disalurkan lewat 161 entitas P2P lending per April 2020. Rinciannya 25 berizin dari OJK sisanya 136 masih berstatus terdaftar. “Lender asing masuk ke Indonesia karena masih menarik. Industri fintech P2P lending masih berkembang dengan potensi borrower yang besar. Juga karena ada kepercayaan yang baik pada industri ini,” ujar Sekar dilansir Kontan.co.id, Rabu (17/6).
PT Mitrausaha Indonesia Grup atau dikenal Modalku mencatat 2,5 persen lender asing telah menyalurkan dana mereka ke penerima pinjaman (borrower) Indonesia. Co-Founder & CEO Modalku, Reynold Wijaya menyatakan jumlah yang masih terbilang kecil itu lantaran sosialisasi perusahaan masih berfokus pada masyarakat Indonesia dengan mengedepankan nilai gotong royong.
Namun Ia menilai dengan perkembangan teknologi dan kemudahan akses, ada juga pemberi pinjaman yang tertarik untuk mendanai UMKM Indonesia yang berada di luar negeri. Sayangnya Reynold tidak merinci pendanaan yang telah disalurkan lender asing ke UMKM Indonesia lewat Modalku.
“Modalku beroperasi di Singapura dan Malaysia atas nama Funding Societies, lender yang ingin diversifikasi dan berkontribusi untuk UMKM di Indonesia dapat berpartisipasi selama memiliki akun di pemberi pinjaman Modalku untuk negara Indonesia. Ketika memasuki aplikasi Modalku, akun lender akan terbagi sesuai negara yang akan dituju untuk menyalurkan pinjaman,” ujar Reynold.
OVO dan Dana
Ekosistem industri teknologi finansial (fintech) Indonesia dinilai mirip dengan Tiongkok. Karena itu, modal ventura menilai merger antara perusahaan di sektor ini, termasuk OVO dan DANA berpeluang terjadi.
CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menilai, ekosistem fintech Indonesia lebih mirip Tiongkok ketimbang Silicon Valley, Amerika Serikat. “Berkaca dari sana (Tiongkok), sangat masuk akal jika pemain fintech pembayaran Indonesia, yang menguasai pangsa pasar lebih kecil, memilih bekerja sama dengan mitra strategis," ujar dia dilansir Katadata.co.id.
Di Negeri Tirai Bambu, tersisa dua pemain fintech pembayaran besar yakni WeChat Pay dan Alipay. Maka, menurutnya kabar OVO dan DANA sepakat merger untuk bersaing dengan GoPay besutan Gojek, sangat mungkin terjadi Lagi pula, merger akan memperkuat ekosistem di industri fintech. "Jika berkaca ke pasar Indonesia secara spesifik, kunci sukses industri fintech yakni kolaborasi," kata Nicko.
Sebab, ekosistem sektor fintech pembayaran besar. Layanan yang tersedia pun beragam, mulai dari fungsi gerbang pembayaran (payment gateway), card switching, dan lainnya, yang bersifat end to end. Di satu sisi, 80 persen pangsa pasar fintech pembayaran dikuasai lima pemain besar. "Tipe industrinya cukup concentrated," ujar dia.
Jika perusahaan-perusahaan di sektor fintech pembayaran merger, menurutnya investor akan semakin berminat. Apalagi, layanan pembayaran berbasis digital semakin diminati selama pandemi corona.
Hal senada disampaikan oleh Ketua Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R Sirait. Ia menilai, jika OVO dan DANA benar-benar merger, maka bisnis masing-masing perusahaan dan pangsa pasarnya akan semakin kuat. Selain itu, digitalisasi layanan pembayaran di Tanah Air akan semakin cepat. "Tentu (industrinya) menjadi lebih kuat dan ada percepatan akibat sinergi," kata dia.
Kabar bahwa OVO dan DANA sepakat untuk merger pertama kali dilaporkan oleh Bloomberg. “Mereka bertujuan mengurangi ‘bakar uang’,” demikian kata sumber yang mengetahui informasi tersebut, dikutip dari Bloomberg, akhir pekan lalu (12/6).
Sumber juga menyampaikan, penandatanganan perjanjian antara kedua perusahaan tertunda karena pandemi virus corona. Karena itu, syarat dan waktunya bisa saja berubah, termasuk terkait kesepakatan tersebut. Berdasarkan catatan Katadata.co.id, pengguna DANA mencapai 40 juta saat ini. Selama pandemi Covid-19, transaksinya tumbuh 15 persen, terutama untuk pembelian pulsa, belanja online, dan pembayaran tagihan. Namun, transaksi offline turun 15 persen.
Sedangkan jumlah pengguna baru OVO meningkat hampir empat kali lipat atau 267 persen selama pandemi virus corona. Pembayaran untuk e-commerce dan pencairan pinjaman melonjak. Rinciannya, pembayaran untuk e-commerce tumbuh 110 persen, pinjaman 50 persen, dan pesan-antar makanan 15 persen.
Sebagaimana diketahui, OVO bekerja sama dengan Grab terkait layanan pembayaran. Aplikasi OVO telah diunduh lebih dari 115 juta kali per akhir tahun lalu. Perusahaan fintech pembayaran ini juga sudah menggaet sekitar 500 ribu mitra penjual di 354 kota Indonesia.
Harga Emas
Harga emas bergerak naik turun seiring dengan penguatan dolar AS dan peningkatan kasus Covid-19. Pada perdagangan Kamis (18/6/2020) pukul 05.50 WIB, harga emas spot naik 0,01 persen menjadi US$1.727,05 per troy ounce. Adapun, emas Comex kontrak Agustus 2020 naik 0,06 persen menuju US$1.736,7 per troy ounce. Sementara itu, indeks dolar AS naik 0,21 persen menuju 97,158.
Dilansir Bisnis.com, laporan Monex Investindo Futures menyebutkan harga emas bergerak turun pada hari Rabu di tengah harapan terhadap obat potensial untuk Covid-19 dan menguatnya dolar AS. Namun, penurunan masih terlihat terbatas karena masih adanya kekhawatiran terhadap melonjaknya kasus virus corona di Beijing. Pejabat Beijing melaporkan adanya beberapa kasus Covid-19 baru untuk enam hari beruntun, sementara itu kasus infeksi baru mencatat rekor tertinggi di enam negara bagian di AS pada Selasa.
Steroid yang murah dan banyak digunakan, yakni dexamethasone telah menjadi obat pertama yang terbukti dapat menyelematkan nyawa pasien Covid-19. Hal ini dikatakan oleh para ilmuwan ini sebagai "terobosan besar" dalam menghadapi virus Covid-19. Di sisi lain, pasar dibayangi oleh meningkatnya infeksi virus Covid-19. Bahkan, China, Brasil, hingga Iran memperingatkan kemungkinan perlunya lockdown lanjutan.
Bank Indonesia
Kalangan ekonom memprediksi Bank Indonesia akan kembali menahan suku bunga acuan (BI7DRR) pada level 4,5 persen. Sikap bank sentral terhadap bunga acuan akan diumumkan pada konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (18/6/2020). Kepala Ekonom PT Bank BNI (Persero) Tbk. Ryan Kiryanto memperkirakan bank sentral menahan suku bunga acuan untuk tetap di kisaran 4,5 persen.
"Dugaan saya bertahan [4,5 persen]. Apalagi, katanya suku bunga di Amerika Serikat [US Treasury] di level 0 persen sampai 2022," katanya dilansir Bisnis, Rabu (17/6/2020).
Ryan mengatakan bank sentral di seluruh dunia justru menggunakan jalur non-suku bunga untuk memulihkan ekonomi yang terdampak wabah pandemi Covid-19. Strategi tersebut diterapkan oleh negara maju, seperti Amerika dan negara-negara di Uni Eropa. Menurutnya, kebijakan fiskal lebih efektif mendorong perekonomian suatu negara ketimbang stimulus moneter, khususnya pemangkasan suku bunga acuan.
"Mau suku bunga diturunkan sedalam mungkin, jika wabah Covid-19 belum pergi ya percuma," imbuhnya.
Dia mengatakan stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah, seperti program bantuan sosial (bansos), dapat menggerakkan roda perekonomian. Pasalnya, masyarakat yang menerima bantuan tunai langsung (BLT) dapat membelanjakan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Ketika diberikan BLT, mereka akan belanja. Demand meningkat sehingga pabrik-pabrik akan mulai memproduksi bahan. Mesin ekonomi bisa bergerak lewat stimulus fiskal," jelasnya.
Senada Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad meramal Bank Indonesia menahan suku bunga acuan pada level 4,5 persen. "Saya melihat BI dalam kondisi seperti ini tak akan menurunkan suku bunga karena akan berpotensi membuat rupiah terdepresiasi," imbuhnya.
Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18-19 Mei 2020 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pada level 4,5 persen. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan keputusan tersebut mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian global.
(*)