Berita Hari Ini : Perang Dagang AS-China Memanas, Emas Kembali Cetak Rekor

Bareksa • 26 Aug 2019

an image
Ilustrasi emas digital

Perbankan optimalkan fee based income, OJK sebut kredit bisa tumbuh 12 persen, pemerintah - BI perkuat bauran kebijakan

Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Senin, 26 Agustus 2019 :

Harga Emas

Harga emas kembali mencetak rekor tertingginya pada awal pekan ini. Seperti dikutip kontan.co.id, pada Senin (26/8) pukul 08.00 WIB, harga emas untuk pengiriman Desember 2019 di Commodity Exchange ada di US$1.557,6 per ons troi. Harga ini naik 1,3 persen dibanding akhir pekan lalu yang ada di US$1.536,60 per ons troi.

Kenaikan harga emas terdorong oleh memburuknya perang dagang antara China dan Amerika Serikat yang menimbulkan kekhawatiran resesi global. Kondisi ini mendorong permintaan save haven seperti emas sehingga membuat harganya terus melambung.

Melonjaknya harga emas juga ditopang oleh pidato Gubernur The Federal Reserve Jerome Powell yang lebih bersikap dovish tentang kebijakan moneter ke depan dan komentar Presiden Donald Trump yang memperburuk ketegangan perdagangan dengan China.

Sepanjang bulan ini, harga emas sudah naik hampir 8% dan sekitar 19% sepanjang tahun ini. 

Fee Based Income Perbankan

Sejumlah perbankan terus berupaya mengoptimalkan pendapatan berbasis biaya dan komisi atau fee based income (FBI) di tengah tren penurunan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) pasca pemangkasan suku bunga acuan. Pendapatan komisi itu diharapkan masih bisa menopang pertumbuhan perolehan laba hingga ujung tahun.

Seperti dikutip kontan.co.id, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk misalnya menargetkan bisa membukukan fee based income tahun ini tumbuh 12-14 persen dibandingkan 2018 yang tercatat Rp11,9 triliun. Di separuh pertama, bank bersandi saham BBRI ini berhasil menorehkan pendapatan dari fee dan komisi Rp 6,2 triliun atau naik 12,6 persen year on year (yoy).

"BRI terus berinovasi menciptakan produk dan layanan berbasis digital untuk memenuhi kebutuhan transaksi nasabah sehingga mampu menjadi sumber fee based income baru bagi BRI," ungkap Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI (23/8).

Tidak berbeda, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga mengupayakan kenaikan pendapatan non bunga. Anggoro Eko Cahyo, Direktur Keuangan BNI mengatakan pertumbuhan akan dijaga agar lebih berkesinambungan. Pada semester I 2019, bank ini mencatatkan fee based income tumbuh 11,6 persen YoY.

PT Bank Central Asia Tbk juga terus mendorong pendapatan berbasis komisi. Meski begitu, perseroan tidak mematok target secara spesifik yang akan dikejar. Pada semester I, BCA mencatat FBI Rp6,49 triliun atau tumbuh 17,7 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Otoritas Jasa Keuangan

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyebut pertumbuhan kredit perbankan pada akhir tahun 2019 diperkirakan bisa mencapai 12 persen dengan sensitivitas 1 - 2 persen setelah penurunan suku bunga acuan.

Menurut dia, dengan turunnya suku bunga acuan tersebut diharapkan bunga pinjaman bisa menyesuaikan. Dengan demikian pelaku usaha bisa mendapat pendanaan dengan biaya lebih murah. Di sisi lain, perbankan bisa tetap tumbuh dengan beban bunga yang lebih rendah.

Seperti diketahui, sejak Juli Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan 50 basis poin (bps) yakni dari 6 persen menjadi 5,5 persen. "Akhir tahun target [pertumbuhan kredit] kita 12 persen bisa 1 - 2 persen," ujarnya seperti dikutip Bisnis.com (23/8).

Wimboh berujar respons penurunan suku bunga pinjaman terhadap suku bunga acuan yang baru tergolong lebih cepat. Dia menuturkan ketika Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan pada Juli, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) turut melakukan penyesuaian suku bunga pinjaman.

Reasuransi

Klaim bruto reasuransi pada akhir semester I 2019 mencapai Rp2,5 triliun atau meningkat 20,8 persen (year on year/YoY). Signifikannya pertumbuhan klaim reasuransi sepanjang semester I 2019 dinilai cukup dominan dipengaruhi oleh lini bisnis harta benda.

Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Dody A.S. Dalimunthe mengatakan sejumlah klaim katastropik dari lini bisnis itu terealisasi pada paruh pertama tahun ini. Menurutnya, realisasi itu turut memengaruhi nilai klaim asuransi harta benda yang memang berkontribusi paling dominan.

“Beberapa klaim bencana tahun lalu, sepertinya terbayarkan pada semester I 2019,” ujarnya dikutip Bisnis.com, (25/8).

Data AAUI yang dipublikasikan pekan lalu menunjukkan klaim bruto reasuransi pada semester I 2019 mencapai Rp2,5 triliun atau meningkat 20,8 persen YoY. Pertumbuhan itu jauh lebih tinggi ketimbang premi bruto sektor reasuransi yang pada periode yang sama bertumbuh 10,2 persen YoY menjadi Rp8,3 triliun.

Surat Utang Negara

Harga surat utang negara (SUN) diperkirakan menurun akibat naiknya tensi perang dagang China-AS. Analis fixed income Mirae Asset Sekuritas Indonesia Dhian Karyantono mengatakan memanasnya perang dagang China-AS bakal menekan harga SUN hari ini.

Tensi perang dagang naik karena China menetapkan tarif impor terhadap asal AS 10 persen atau naik dari 5 persen. Pengenaan tarif baru pun bakal berlaku bersamaan dengan tarif yang dikenakan AS terhadap produk China pada 1 September dan 15 Desember 2019.

"Pergerakan harga SUN di pasar sekunder awal pekan ini, berpotensi mencatatkan level lebih rendah dibandingkan dengan akhir pekan lalu sebagai akibat dari eskalasi tensi perang dagang AS-China," ujar Dhian, dikutip Bisnis.com (26/8).

Lebih lanjut, perang dagang bakal terus memanas karena China pun berencana mengenakan tarif impor 15 persen terhadap mobil buatan AS dan 5 persen terhadap komponen otomotif.

Akibat memburuknya perang dagang, indikator risiko naik signifikan yang tercermin pada indeks CBOE VIX, yang naik 19,12 persen ke kisaran 19,87 poin dibandingkan dengan hari sebelumnya. Dengan demikian, minat investor global berpotensi turun dan menarik aset mereka di negara berkembang ke instrumen safe haven.

Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia

Pemerintah dan Bank Indonesia menyatakan akan terus memperkuat bauran kebijakan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, langkah penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) 25 bps menjadi 5,5 persen diambil guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Ia memastikan bahwa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan disinkronkan.

Pemerintah, lanjut dia, bersama BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terus berkoordinasi untuk menjaga perekonomian Indonesia. Ini sejalan dengan adanya sinyal kuat terkait pelemahan ekonomi global.

“Apabila sinyal dalam perekonomian secara global mengindikasikan adanya pelemahan, kami akan terus mempelajarinya," ujar dia dikutip Investor Daily (26/8).

Di tengah kondisi pelemahan ekonomi global, koordinasi antara BI dan OJK akan diarahkan untuk menentukan sikap dari sisi bauran kebijakn (policy mix). Dengan demikian, stabilitas pertumbuhan ekonomi dapat tetap terjaga. Selain itu memastikan perkembangan pembangunan terus berlangsung.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, terdapat tiga indikator yang menjadi dasar keputusan penurunan suku bunga acuan. Pertama, inflasi yang stabil dan membuka kesempatan pertumbuhan yang lebih baik di tengah tekanan global.

BI masih membuka ruang penurunan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR), sebab masih perlunya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah tekanan ekonomi global.

Kedua, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2019 yang sebesar 5,05 persen dianggap masih tetap kuat dan konsumsi lebih stabil sehingga bisa mendukung ekonomi nasional, dengan tetap mengandalkan sisi konsumsi dan investasi menjadi motor pertumbuhan hingga akhir tahun.

Ketiga, BI menilai nilai tukar rupiah bergerak sesuai fundamental, sehingga menopang ketahanan eksternal. "Ke depan, rupiah akan tetap stabil sesuai mekanisme pasar yang terjaga seiring prospek aliran modal yang masih baik. Serta, dampak kebijakan moneter longgar di negara lain," imbuh Perry.

Whatsapp Pay

Whatsapp Pay disebut akan masuk ke Indonesia dan menghadirkan layanan sistem perbankan. Dikutip CNBC Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyatakan penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) baik asing maupun lokal harus menyesuaikan layanannya dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah.

Hal ini juga untuk Whatsapp Pay. Sebagai regulator, BI akan terus mendorong akselerasi digital ekonomi keuangan, termasuk juga dengan mempercepat pemberian proses perizinan sebagai PJSP.

(*)