Bareksa.com - Berikut sejumlah informasi terkait ekonomi dan investasi yang disarikan dari berbagai media dan laporan keterbukaan informasi Rabu, 20 Januari 2021 :
Mengikuti perkembangan tren peralihan investasi ke instrumen berbasis kepedulian terhadap lingkungan, sosial dan tata kelola yang baik (environment, social, and governance/ESG), PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen (BPAM) meluncurkan Batavia Global ESG Sharia Equity USD. Reksadana global syariah yang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) ini akan fokus berinvestasi pada perusahaan global yang mengedepankan prinsip berkelanjutan atau ESG.
Reksadana ini sekaligus jadi reksadana syariah dengan eksposur global berbasis ESG pertama di Indonesia. Direktur Utama BPAM Lilis Setiadi mengatakan, saat ini mulai muncul kepekaan investor terhadap instrumen investasi yang berbasis ESG. Berkaca dari data BlackRock People and Money Survey yang dilakukan di November 2019 hingga Januari 2020, dari 68 persen dari 8.000 investor di Asia menginginkan investasi mereka untuk memperhatikan aspek ESG.
Karena itu, demi menangkap peluang tersebut, Batavia Prosperindo akan meluncurkan Batavia Global ESG Sharia Equity USD pada 27 Januari mendatang. Lilis mengatakan produk reksadana ini memiliki tiga manfaat utama.
Pertama, dengan mengintegrasikan prinsip syariah dan ESG, investor dapat menghindari paparan perusahaan yang dianggap berbahaya. Dari segi portofolio akan memiliki kualitas yang tinggi karena menggunakan penyaringan yang ketat. Mulai dari menghindari 9 sektor yang dianggap kontroversial oleh United Nation, seperti rokok, alkohol, batubara, dan sebagainya. Lalu harus punya rating ESG minimal BBB, dan berasal dari sektor yang dianggap memberi dampak positif.
Kedua, reksadana Batavia Global ESG Sharia Equity USD akan mendapatkan saran teknis dari BlackRock Institute yang sudah berkecimpung lama dan punya pengalaman dalam dunia ESG.
Ketiga, penggunaan big data untuk keperluan assessment dan pengambilan keputusan berinvestasi yang cepat, tepat, dan efektif. "Dari segi prospek dan potensi kinerja, produk investasi berbasis ESG itu punya track record yang baik secara historis. Selain imbal hasil yang optimal, perusahaan dengan ESG yang baik juga punya kinerja yang baik seperti terhindar dari penalti, suspensi dan kinerja keuangannya pun lebih unggul dibanding perusahaan yang kurang berfokus pada ESG,” kata Lilis dalam acara peluncuran Batavia ESG Global Sharia Equity USD, Selasa (19/1/2021).
Lilis menggunakan contoh aliran dana yang masuk ke instrumen investasi berbasis ESG dengan non-ESG. Sejak Oktober 2018, tren aliran dana terus mengalami kenaikan, bahkan hingga Oktober 2020, jumlahnya sudah naik hamper 30 persen. Sementara aliran ke non-ESG pada periode yang sama cenderung datar dan hanya tumbuh sekitar 5 persen.
Begitupun dari sisi imbal hasil. Lilis menyebut, secara global dalam lima tahun terakhir, imbal hasil saham berfokus ESG (MSCI ACWI ESG Leaders) secara kumulatif berhasil mengungguli imbal hasil saham non-ESG (MSCI ACWI All Cap). Pada 2016 misalnya, imbal hasil saham berbasis ESG 11,5 persen sementara non-ESG hanya 9,6 persen. Lalu pada 2018 imbal hasilnya 25,8 persen berbanding 20,5 persen, dan pada September 2020 imbal hasil 66,1 persen berbanding 60,7 persen.
“Kami percaya melalui investasi pada reksadana Batavia Global ESG Sharia Equity USD, investor mempunyai kesempatan untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih baik, portofolio yang andal serta membuat dampak positif,” imbuh dia.
Di masa awal, reksadana ini akan berinvestasi penuh pada emiten berbasis ESG global dari negara maju. Mayoritas emiten tersebut berasal dari AS dan Eropa. Adapun sektor yang dipilih antara lain, kesehatan, konsumer, teknologi, industrial dan lainnya. Batavia mematok dana investasi awal US$10.000 untuk Batavia Global ESG Sharia Equity USD.
Prospek pemulihan ekonomi diyakini akan menjadi pendorong utama emiten mulai mengemisi surat utang dengan tenor yang lebih panjang. Untuk diketahui surat utang dengan tenor 1 tahun, 3 tahun dan 5 tahun mendominasi penerbitan surat utang sepanjang 2020. Penerbitan ketiga tenor itu hampir mencakupi 84 persen dari total nilai penerbitan surat utang korporasi.
Lebih rinci, penerbitan surat utang tenor 3 tahun mencakup 37,7 persen dari total penerbitan, disusul oleh surat utang dengan tenor 1 tahun 28,2 persen, dan tenor 5 tahun 18 persen. Sementara itu, tenor panjang seperti 7 tahun dan 10 tahun hanya berkontribusi masing-masing 6,3 persen dan 3 persen dari total penerbitan surat utang 2020.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan tren penerbitan surat utang dapat berbalik jika pemulihan ekonomi tahun ini berhasil terealisasi seperti yang diekspektasikan pasar.
"Semester I 2021 ini akan menjadi perhatian. Kalau vaksinasi yang sudah didistribusi berhasil tanpa ada kendala dan pandemi lebih dapat dikontrol tentu akan menjadi sinyal positif sekali. Harapannya, banyak emiten yang bisa ekspansi," papar Nico dilansir Bisnis.com, Selasa (19/1/2021).
Namun, secara garis besar penerbitan surat utang akan kembali disesuaikan terhadap bisnis plan setiap emiten. Jika tujuannya ekspansi untuk jangka panjang, tentu emiten akan lebih memilih emisi surat utang bertenor jangka pendek.
Sementara itu, lanjut Nico, jika kebutuhan ekspansi hanya untuk jangka pendek seperti 24-36 bulan, emisi surat utang tenor panjang bukan menjadi pilihan karena tentu akan dianggap sebagai beban karena biaya yang dikeluarkan. Dia menjelaskan, penyebab tren penerbitan surat utang jangka pendek lebih dominan setiap tahunnya karena dianggap lebih menguntungkan baik bagi pelaku pasar maupun emiten penerbit.
Tren jangka pendek itu memiliki potensi risko gagal bayarnya cenderung kecil yang akan menguntungkan pelaku pasar, di sisi lain kupon surat utang jangka pendek juga lebih kecil dibandingkan dengan surat utangnya tenor yang lebih panjang. Secara garis besar, Nico menilai tahun ini penggalangan dana melalui pasar modal, termasuk surat utang akan kembali ramai.
Akan terdapat banyak kebutuhan dana dari emiten baik refinancing maupun ekspansi, sedangkan pasar juga membutuhkan pilihan aset instrumen yang lebih variatif.
Joe Biden akan dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) hari ini, Rabu (20/1/2021). Sebagai Presiden AS ke-46, tugas Joe Biden bakal menjalankan tugas berat karena banyak bencana yang terjadi. Di tengah pandemi Covid-19 yang tak berujung, Presiden AS terpilih Joe Biden akan segera menghadapi rangkaian bencana yang belum pernah terjadi.
Joe Biden bersiap selama berbulan-bulan untuk mengatasi pandemi yang menewaskan sekitar 4.000 warga Amerika per hari, dan krisis ekonomi yang menyebabkan jutaan orang di-PHK, pemberontakan bersenjata di Gedung Capitol menimbulkan pertanyaan baru tentang bagaimana Biden dapat mulai menyatukan AS yang sangat terpecah.
"Yah, paling tidak, ini adalah momen yang melelahkan, dan jelas belum pernah terjadi," kata Karen Hult, pakar politik dari Virginia Tech, yang juga anggota White House Transition Project yang non-partisan seperti dilansir Kontan.
"tingkat ancaman yang dilaporkan di Washington DC dan seluruh negara ini menjadi keprihatinan besar. Juga ada kekhawatiran tentang orang-orang yang tidak hanya menolak hasil Pemilu, tapi juga tidak mengakui pemerintah sebagai entitas yang seharusnya dapat mereka hormati. Semua itu sangat menyulitkan bagi seorang presiden yang baru menjabat," lanjutnya.
Menambah kesulitan itu, Senat akan menggelar sidang pemakzulan kedua terhadap Donald Trump segera setelah Biden menjabat. Senat juga harus menggelar sidang pengukuhan terhadap banyak orang yang dicalonkan Biden menjadi anggota kabinet.
Pertemuan berbagai peristiwa itu menjadi salah satu pembukaan yang paling rumit secara logistik dan politis bagi pemerintahan baru dalam sejarah modern. Pakar sejarah kepresidenan dari Universitas Virginia, Barbara Perry mengemukakan,
"Biden mungkin menghadapi kombinasi tahun 1861 dan 1933. Lincoln menghadapi pemisahan negara dari Union dan perang saudara yang kemudian meletus. Sedangkan Franklin Roosevelt menghadapi keterpurukan ekonomi dan depresi di seluruh dunia."
Dengan ketegangan dan perpecahan yang mendekati paling tinggi sepanjang masa, sejarawan itu berpandangan Biden perlu menghidupkan kembali reputasinya di Senat sebagai pembuat kesepakatan dan bergerak cepat, untuk menunjukkan tindakan bipartisan untuk mengatasi sejumlah tantangan yang multi dimensi itu, tidak hanya mungkin dilakukan namun juga harus segera dilakukan.
Perry menilai janji Biden untuk menjadi presiden bagi semua warga Amerika adalah suatu permulaan. Langkah selanjutnya adalah mengajak warga Amerika Serikat melupakan Donald Trump.
Pandemi Covid-19 dinilai berperan mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis digital pada 2020. Pertumbuhan itu bahkan diperkirakan bakal terus berlanjut pada 2021.Hal tersebut seperti dikatakan Pengamat Keuangan Digital Acuviarta Kartabi, di sela webinar Indonesia Digital Economy & Business Outlook 2021 yang digelar Digital Banking Institute (DBI), Selasa (19/1/2021).
Acuviarta mengatakan pandemi Covid-19 telah mengakselerasi digitalisasi di sektor jasa keuangan seiring dengan bergesernya gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat yang semakin erat dengan penggunaan teknologi, termasuk ekspektasi terhadap produk dan jasa keuangan. Menurutnya, perkembangan keuangan digital di 2020 telah terlihat dari indikator meningkatnya transaksi mobile banking, top-up e-wallet, dan transaksi e-commerce.
"Kondisi tersebut diperkirakan akan semakin meningkat pada 2021 bersamaan dengan terjadinya fenomena work from home (WFH) dan bentuk-bentuk lain dari upaya pengentasan pandemik yang berdampak menurunnya mobilitas masyarakat secara offline karena protokol kesehatan yang mengharuskan jaga jarak," ujarnya.
Sementara itu, pertumbuhan di tengah pandemi Covid-19 juga masih terlihat pada industri perbankan walaupun tidak signifikan seperti yang disampaikan Chief Digital Banking DBI Bambang Setiawan. Bambang menyatakan transformasi digital banking menjadi keniscayaan yang disadari sepenuhnya oleh industri perbankan. Namun rendahnya kapabilitas digital dan dana investasi menyebabkan menghambat transformasi tersebut.
Meski begitu, Bambang meyakini tahun ini justru akan menjadi titik tolak bagi industri perbankan untuk tumbuh lebih baik. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kolaborasi antara fintech dengan perbankan. Sementara itu, pengamat bisnis digital Sunu Widianto mengatakan e-commerce telah menjadi primadona pada 2020 dan diperkirakan akan meningkat transaksinya pada 2021.
Begitu juga dengan sektor telekomunikasi, digital services dan cyber security, pendidikan, dan kesehatan. Meski demikian, Sunu melihat di sektor otomotif dan properti masih lamban di 2021. Menurutnya UMKM dan usaha bisnis yang tidak mampu beradaptasi, kemungkinan bisa semakin tertinggal di 2021 karena itu perlu dibantu dalam percepatan digitalisasi baik permodalan maupun sarana menjual produk/jasanya. Adapun sektor kesehatan dan pendidikan perlu lebih ditingkatkan dengan pemanfaatan teknologi AI.
"Untuk itu, berkolaborasi dengan berbagai pihak dinilai menjadi kunci utama dalam mempertahankan bisnis pada tahun ini," ujarnya.
Pemerintah dan BUMN dinilai perlu melakukan pendampingan agar UMKM bisa berkembang, salah satunya dapat memanfaatkan marketplace/e-commerce media sosial, atau platform digital lainnya. Pemerintah juga perlu menyiapkan pengembangan SDM atau talenta digital dengan jumlah dan kualitas yang memadai dan berkelanjutan.
Executive Chairman DBI, Bari Arijono mengatakan, keahlian digital yang harus dikuasai di 2021 adalah cybersecurity, teknologi digital, digital marketing, komunikasi dan leadership. “Yang menjadi fokus dan orientasinya adalah inovasi produk dan jasa yang berorientasi pada pengalaman pelanggan dimana keuangan serta pembayaran digital menjadi keharusan berbasiskan QRIS ,” ungkapnya.C
hief Economist DBI, Aldrin Herwany menyarankan agar Pemerintah bisa lebih fokus memulihkan sektor Kesehatan di tahun ini. Jika tidak, opportunity cost dinilai akan terus meningkat untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan biaya penanggulangan lainnya.
"Mestinya kalau kita lebih cepat menanggulangi sektor kesehatan. maka lebih cepat juga kita mendapatkan kesempatan orang untuk berinvestasi di Indonesia," ujarnya.
Senior Ekonom INDEF Aviliani menambahkan bahwa pelaku UMKM perlu memanfaatkan program restrukturisasi kredit, tidak hanya untuk sekadar bertahan di tengah pandemi saja, melainkan untuk berubah dan berkolaborasi. Selain itu, fintek juga perlu berkoalisi dengan bank konvensional untuk mendapatkan dana murah sekaligus meningkatkan customer experience secara keseluruhan.
(Martina Priyanti/AM)