Bareksa.com - Berikut sejumlah informasi terkait ekonomi dan investasi yang disarikan dari berbagai media dan keterbukaan informasi Selasa, 19 Januari 2021 :
Minggu ini menjadi pekan yang diisi beragam sentimen yang berpotensi memengaruhi kinerja reksadana. Infovesta Utama merangkum beberapa sentimen yang patut dicermati oleh investor.
Pertama, agenda pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2021. Pasar diperkirakan akan memperhatikan berbagai kebijakan yang diambil selama masa awal kepemimpinan Joe Biden. "Ini memberikan sentimen positif terhadap pasar modal Indonesia sebagai emerging market karena peningkatan minat investor untuk berinvestasi pada aset yang lebih berisiko. Apalagi didukung dengan adanya pelemahan dolar AS," ungkap Infovesta dilansir Kontan (18/1).
Kedua, dari dalam negeri, Sovereign Wealth Fund (SWF) atau dikenal sebagai Indonesia Investment Authority (INA) akan mulai berjalan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan selama dua bulan ini target SWF sekitar Rp280,5 triliun. Pembentukan INA bertujuan mengembangkan peluang investasi Indonesia serta sebagai solusi alternatif pembiayaan pembangunan infrastruktur. Diharapkan akan membawa aliran dana investor asing masuk ke pasar modal Indonesia.
Dengan demikian tren positif aliran dana asing akan berlanjut mengingat dalam sepekan terakhir asing mencatatkan capital inflow di pasar saham dengan net buy mencapai Rp7,91 triliun. Tercermin dari kinerja IHSG yang menguat 1,85 persen dalam sepekan terakhir yang juga mendorong kinerja reksadana berbasis saham seperti reksadana saham dan campuran.
Ketiga, agenda Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22 - 23 Januari 2021. RDG kali ini akan membahas tingkat suku bunga acuan. Ekspektasi yang beredar tingkat suku bunga acuan BI masih akan dipertahankan di level 3,75 persen.
"Jika ada keputusan BI untuk memangkas tingkat suku bunga, maka akan memberikan sentimen positif terutama terhadap reksadana berbasis pendapatan tetap. Namun sebaliknya, apabila tingkat suku bunga justru naik maka akan menjadi sentimen negatif," ujar Infovesta.
Kinerja reksadana berbasis pendapatan tetap juga sudah melemah selama sepekan terakhir. Hal ini juga diiringi dengan berkurangnya kepemilikan SBN oleh investor asing selama sepekan hingga 14 Januari Rp5,33 triliun ke level Rp976,51 triliun. Penurunan kinerja investasi berbasis obligasi diiringi dengan kenaikan yield obligasi pemerintah Indonesia 10 tahun 1,32 persen.
"Dengan adanya prospek positif dari diresmikannya INA, maka produk reksadana berbasis saham menjadi sangat menarik dalam jangka waktu panjang. Selain itu, walaupun terjadi tren kenaikan yield di obligasi, namun reksadana berbasis obligasi juga masih menarik karena apabila diperhatikan spread yield antara obligasi Indonesia dengan AS cukup besar, yaitu 5,11 persen," sebut laporan Infovesta Utama.
Bank Indonesia (BI) memprediksi kebutuhan pembiayaan korporasi meningkat pada kuartal I 2021, terutama untuk mendukung aktifitas operasional. Hal ini terindikasi dari saldo bersih tertimbang (SBT) kebutuhan pembiayaan korporasi pada 3 bulan mendatang 17,1 persen. Direktur Eksekutif Kepada Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono mengatakan, peningkatan kebutuhan pembiayaan terutama terjadi pada sektor industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan.
"Kebutuhan pembiayaan korporasi tersebut sebagian direncanakan menggunakan kredit bank, namun sebagian lainnya akan dipenuhi dari dana sendiri (laba ditahan)," kata Erwin dalam keterangannya dilansir Kompas.com (18/1).
Namun BI juga memprediksi penambahan pembiayaan yang dilakukan oleh rumah tangga pada 3 dan 6 bulan yang akan datang diindikasikan masih terbatas. "Kebutuhan pembiayaan oleh rumah tangga yang masih terbatas tersebut terutama akan diajukan kepada bank umum, dengan jenis pembiayaan yang diajukan mayoritas berupa kredit multi guna (KMG)," sebutnya.
Dari sisi penawaran perbankan, penyaluran kredit baru diperkirakan akan mulai meningkat pada awal 2021. Hal tersebut terindikasi dari SBT perkiraan penyaluran kredit baru Januari 2021 yang sebesar 53,1 persen, lebih tinggi dibandingkan SBT perkiraan penyaluran kredit baru Desember 2020 yang sebesar 42,8 persen.
"Berdasarkan kelompok bank peningkatan diperkirakan terjadi pada bank umum syariah dan bank umum, sementara berdasarkan jenis penggunaan peningkatan tertinggi terjadi pada KMK dan KPR," pungkas Erwin.
BPJS Ketenagakerjaan atau dikenal dengan BPJamsostek mampu membukukan hasil investasi Rp32,3 triliun sepanjang 2020. Hasil investasi itu tumbuh 10,85 persen secara tahunan (yoy) dibandingkan tahun akhir 2019. Adapun yield on investment (YoI) yang didapat 7,38 persen. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya dana kelolaan mencapai Rp486,38 triliun pada akhir Desember 2020. Dana kelola tersebut tumbuh 12,59 persen dibandingkan 2019.
Direktur Utama BPJamsostek Agus Susanto mengutarakan investasi tersebut dilaksanakan berdasarkan PP No 99 tahun 2013 dan PP No 55 tahun 2015 yang mengatur jenis instrumen-instrumen investasi yang diperbolehkan berikut dengan batasan-batasannya. Ada juga Peraturan OJK No 1 tahun 2016 yang juga mengharuskan penempatan pada Surat Berharga Negara minimal 50 persen.
"Untuk alokasi dana investasi, BPJamsostek menempatkan 64 persen pada surat utang, 17 persen saham, 10 persen deposito, 8 persen reksadana, dan investasi langsung 1 persen", ujarnya pada Senin (18/1/2021).
Ia mengakui pengelolaan dana investasi mendapatkan tantangan yang cukup berat di tengah pandemi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang pada awal tahun 2020 dibuka melemah, bahkan sempat terseok ke level 3000-an pasca ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi global.
"Kondisi pandemi termasuk pasar investasi global dan regional tentunya memiliki pengaruh pada hasil investasi yang diraih oleh industri jasa keuangan pada tahun 2020. Tapi kami telah mengalihkan mayoritas portofolio pada instrumen fixed income hingga mencapai 74 persen dari total portofolio, sehingga tidak berpengaruh langsung dengan fluktuasi IHSG," kata Agus.
Agus mencontohkan pada investasi saham, mayoritas penempatan atau 98 persen penempatan dana dilakukan pada saham kategori blue chip atau LQ45. Meski demikian, penempatan pada saham non LQ45 juga tetap dilakukan dengan menerapkan protokol investasi yang ketat. Jumlah saham non LQ45 tersebut hanya sekitar 2 persen besarannya dari total portofolio saham BPJamsostek.
"Untuk saham, BPJamsostek hanya berinvestasi pada emiten BUMN, emiten dengan saham yang mudah diperjualbelikan, berkapitalisasi besar, memiliki likuiditas yang baik dan memberikan deviden secara periodik. Tentunya faktor analisa fundamental dan review risiko menjadi pertimbangan utama dalam melakukan seleksi emiten. Jadi, tidak ada investasi pada saham-saham gorengan", tegas Agus.
Guna memaksimalkan hasil kelolaan investasi, BPJamsostek juga mengurangi broker fee atau biaya transaksi penempatan dana dengan manajer investasi. Karena itu, seluruh hasil pengelolaan dana dikembalikan kepada peserta, BPJamsostek pun dapat memberikan hasil pengembangan Jaminan Hari Tua (JHT) kepada pesertanya mencapai 5,63 persen per tahun.
Nilai ini di atas rata-rata bunga deposito bank pemerintah yang pada tahun 2020 ini sebesar 3,87 persen. Jika ditilik dari tahun 2016 hingga 2020 saja, dana kelolaan BPJamsostek dapat tumbuh mencapai 2 kali lipat dengan CAGR 18,74 persen, hingga mencapai Rp486,38 triliun. Agus bilang peningkatan dana kelolaan investasinya ini juga tentunya tidak lepas dari protokol penempatan dana yang dimiliki BPJamsostek yang sangat ketat.
Jika dilihat dari aturan yang dimiliki, sangat kecil kemungkinan penempatan dana investasi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu. "Contohnya pada aturan penempatan dana, kapitalisasi pasar dari emiten yang dituju minimal Rp3 triliun. Contoh lainnya seperti rata-rata nilai transaksi saham yang akan dibeli minimal Rp20 miliar," pungkasnya.
Perekonomian nasional diperkirakan masih tertekan pada kuartal I 2021. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi di 2021 baru rebound di kuartal II 2021. Sri Mulyani mengharapkan, mobilitas masyarakat pada kuartal kedua tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan kuartal II 2020.
Maklum pada April-Mei tahun lalu pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara ketat untuk pertama kalinya. "Sehingga kita punya foto di Jalan Thamrin Jakarta kosong, ada orang bawa bantal di Jalan Thamrin tidur. Itu diharapkan tidak akan terjadi lagi. Jadi kalau kita lihat kuartal II 2021 mobilitas lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, dan itu terjemahannya konsumsi lebih bagus," kata Sri Mulyani saat wawancara khusus dengan Kontan.co.id.
Terlebih, pada kuartal kedua tahun ini terdapat periode high season demand masyarakat sering dengan momentum Ramadan dan libur Lebaran. Menkeu optimistis, pada kuartal II 2021 pertumbuhan ekonomi tidak akan mengalami kontraksi sedalam periode yang sama tahun lalu. Sekadar mengingatkan, pada kuartal II 2020, pertumbuhan ekonomi kontraksi 5,32 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Harapan pemerintah, ekonomi melanjutkan perbaikannya hingga kuartal III 2021 dan kuartal IV 2021. Kendati demikian, Sri Mulyani bilang, vaksinasi Covid-19 akan menjadi penentu lompatan pemulihan ekonomi dalam negeri. Efektivitas vaksinasi dipercaya akan meningkatkan confidence masyarakat khususnya kelas menengah-atas untuk melakukan konsumsi.
"Terlihat kalau orang dengan vaksinasi dan disiplin kesehatan maka merasa lebih safe melakukan kegiatan. Sehingga mobilitas bisa lebih tinggi meningkat dibandingkan situasi tanpa vaksin dan kesadaran disiplin kesehatan," ungkap Sri Mulyani.
Di sisi lain, investasi dan ekspor diperkirakan akan menggeliat di sepanjang tahun ini. Hal ini mengingat ekonomi negara asal mitra dagang dan investor dalam negeri sudah pulih. Misalnya, Amerika Serikat (AS), Eropa, dan China. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat realisasi ekspor pada Desember 2020 mencapai US$16,54 miliar, tumbuh 8,39 persen dari bulan sebelumnya. Peningkatan secara bulanan ini didorong oleh adanya peningkatan ekspor minyak dan gas (migas) 33,66 persen month on month (mom).
"Saya barusan melihat angka dari ekspor kita Desember 2020 saja tumbuh 8,4 persen, meski keseluruhan tahun minus 2,6 persen tapi trennya pemulihan dari ekspor meningkat. Artinya kalau Amerika Serikat (AS), Eropa pulih dan jelas China pulih duluan, maka kita akan litat ekspor kita menjadi lebih baik," ungkap Sri Mulyani.
Dari sisi investasi juga menunjukkan pemulihan, karena menurut Sri Mulyani, sektor perbankan sudah mulai terlihat adanya pemulihan demand masyarakat. Kredit akan menggeliat di awal tahun ini.
"Investasi pun menunjukkan pemulihan kalau perbankan melihat demand-nya sudah tumbuh mulai pick-up. mereka berani untuk lending lagi, maka kredit akan meningkat, capital inflow terjadi cukup deras ampai saat ini. Suku bunga lebih rendah dan nilai tukar rupiah yang menguat, ini juga menimbulkan confidence yang kuat terhadap investasi," ucap Menkeu.
Adapun secara keseluruhan, Sri Mulyani masih optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini dapat mencapai 5 persen. Ini serupa dengan target pemerintah dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021.
"Jadi kalau kita lihat dari agregat demad, seluruh faktor di luar konsumsi pemerintah yaitu konsumsi, investasi, dan ekspor kita harapkan pick-up di kuartal II 2020 dan seterusnya. Meskipun ada catatan kepastian Covid-19 dan vaksinasi itu tetap membayangi, tapi prospeknya diharapkan lebih baik dengan situasi itu," pungkas Sri Mulyani.
(Martina Priyanti/AM)