Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Rabu, 6 Januari 2021 :
Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) pada perdagangan Selasa (5/1/2021) mayoritas ditutup melemah, di tengah kekhawatiran pelaku pasar terkait merebaknya varian baru virus corona (Covid-19) yang membuat beberapa negara kembali melakukan karantina wilayah (lockdown) secara parsial.
Dilansir CNBC Indonesia, mayoritas SBN pada Selasa cenderung dilepas oleh investor, kecuali SBN berseri FR0061 dengan tenor 1 tahun yang hari ini dikoleksi oleh investor. Dilihat dari imbal hasilnya (yield), hampir semua SBN mengalami kenaikan yield, tetapi tidak untuk yield SBN berseri FR0061 yang turun 0,9 basis poin (bp) ke level 4,006 persen.
Sedangkan yield SBN seri FR0067 yang bertenor 25 tahun hingga saat ini masih stagnan di level 7,305 persen. Sementara itu, yield SBN seri FR0082 bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara naik 4,9 basis poin ke 5,998 persen.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang turun. Demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1 persen.
Hal ini karena investor mulai melakukan aksi ambil untung (profit taking) karena tren pergerakan yield SBN yang menurun telah terjadi sejak Oktober 2020 lalu.
Yield SBN Acuan (%)
Seri | Tenor (Tahun) | Hari Ini | Kemarin | Pergerakan (Bp) |
---|---|---|---|---|
FR0083 | 20 | 6.524 | 6.488 | 3.6 |
FR0082 | 10 | 5.998 | 5.949 | 4.9 |
FR0081 | 5 | 5.234 | 5.232 | 0.2 |
FR0080 | 15 | 6.393 | 6.346 | 4.7 |
FR0076 | 30 | 6.980 | 6.930 | 5.0 |
FR0067 | 25 | 7.305 | 7.305 | 0.0 |
FR0061 | 1 | 4.006 | 4.015 | -0.9 |
FR0039 | 3 | 4.784 | 4.772 | 1.2 |
Sumber : CNBC Indonesia
Selain itu, kekhawatiran pelaku pasar terkait cepat merebaknya strain baru virus Covid-19 juga menjadi pendorong harga SBN melemah dan membuat beberapa negara terpaksa kembali menerapkan lockdown parsial. Di Inggris, pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson memutuskan penerapan lockdown berskala nasional mulai Senin pekan ini.
"Saat saya berbicara dengan Anda semua malam ini, rumah sakit kita dalam tekanan besar, lebih berat dibandingkan masa awal pandemi. Dengan sebagian besar wilayah sudah menerapkan pembatasan ketat, sudah jelas bahwa kita harus mengambil langkah bersama untuk mengatasi virus corona varian baru ini. Oleh karena itu, kita harus memasuki lockdown skala nasional yang diharapkan mampu mengatasi penyebaran virus varian baru. Pemerintah meminta Anda semua untuk tetap di rumah," kata Johnson dalam pidato yang disiarkan televisi nasional, sebagaimana diwartakan Reuters.
Posisi reksadana pendapatan tetap sebagai reksadana paling moncer diperkirakan bergeser tahun ini. Sebagai gantinya, reksadana saham akan jadi primadona.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan imbal hasil reksadana pendapatan tahun ini akan lebih banyak mengandalkan kupon dibandingkan kenaikan harga akibat suku bunga acuan. Pasalnya, suku bunga acuan saat ini sudah terbilang sangat rendah dan potensi penurunannya sudah terbatas. Itu pula yang membuat potensi imbal hasil reksadana pendapatan tetap tak akan setinggi tahun lalu.
“Kombinasi dari kupon plus kenaikan harga yang sedikit, perkiraan saya [return] reksadana pendapatan tetap itu 5-8 persen,” ujar Rudiyanto dilansir Bisnis, Selasa (5/1/2021).
Untuk kelas aset obligasi, Rudiyanto menyebut Panin AM saat ini masih memfavoritkan SUN jangka panjang di atas 10 tahun karena ruang kenaikan harganya masih cukup lebar. Namun, dia juga bersiap untuk melakukan kocok ulang jika kenaikan harganya sudah tinggi.
“Kalau nanti kenaikannya sudah cukup tinggi mungkin kami lakukan rebalancing dengan [SUN] jangka menengah-pendek atau obligasi korporasi,” imbuhnya.
Menurutnya, salah satu strategi lain yang dapat diterapkan untuk mengerek kinerja reksadana pendapatan tetap adalah dengan mengombinasikan dengan surat utang korporasi karena biasanya menawarkan kupon lebih tinggi.
Rudiyanto menyebut reksadana saham berpotensi menjadi primadona tahun ini. Dia menuturkan, Panin AM memasang target indeks harga saham gabungan (IHSG) sekitar 6.700 pada akhir 2021, yang mana pertumbuhan kinerja indeks komposit sekitar 12 persen dari posisi akhir 2020.
“Mudah-mudahan return reksadana saham bisa lebih besar daripada itu,” katanya.
Dirinya mengaku optimistis hal tersebut bisa terjadi, apalagi euforia investor lokal saat ini menjadi pendorong baru pergerakan indeks sehingga tak perlu terlalu bergantung pada investor asing.
Direktur Utama PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra memprediksi pada tahun ini investor akan mulai memperbesar alokasi investasi mereka di reksadana berbasis saham. Dia mengatakan, pada 2020 memang reksadana berbasis obligasi secara keseluruhan memiliki kinerja yang lebih baik, tapi beberapa jelang akhir tahun banyak investor terutama investor ritel yang mulai berinvestasi ke pasar saham atau reksadana berbasis saham.
“Tren ini sepertinya masih akan berlanjut di first half 2021,” ujarnya Selasa (5/1/2021).
Fitch Ratings memberikan peringkat BBB untuk surat utang Indonesia berdenominasi dolar dan euro. Dana hasil obligasi tersebut akan digunakan untuk membiayai APBN, termasuk untuk biaya penanganan pandemi. Peringkat itu sejalan dengan peringkat utang jangka panjang kurs rupiah yang mendapatkan outlook stabil, yang diberikan pada Agustus 2020. Peringkat obligasi tersebut terhitung sensitif terhadap perubahan peringkat rupiah.
Beberapa faktor positif di balik pemberian rating tersebut adalah pembiayaan eksternal, berupa kerentanan eksternal melalui peningkatan cadangan devisa, berkurangnya ketergantungan pada aliran dana portofolio serta menurunnya eksposur terhadap volatilitas harga komoditas.
Selanjutnya, pembiayaan fiskal berupa membaiknya rasio penerimaan negara dalam beberapa tahun ke depan, berkat kepatuhan pajak dan meluasnya basis perpajakan yang bisa memperkuat fleksibilitas pembiayaan publik.
"Secara struktural, juga terdapat perbaikan indikator seperti standard tata kelola dan pemerintahan yang mendekati negara lain yang mendapatkan peringkat serupa," demikian tulis Fitch dalam rilisnya pada Selasa (5/1/2021) dilansir CNBC Indonesia.
Sebaliknya, faktor yang bisa memicu penurunan peringkat adalah pembiayaan eksternal berupa penurunan berkelanjutan penyangga cadangan devisa nasional yang dipicu oleh memburuknya kepercayaan investor. Berlanjutnya kenaikan utang publik secara umum dalam beberapa tahun ke depan menuju level yang melampaui perkiraan, misalnya dipicu oleh kegagalan mengurangi defisit fiskal kembali ke level sebelum krisis pandemi atau membengkaknya utang pemerintah dan swasta.
Secara makroekonomi, Fitch juga menilai ada risiko berupa pelemahan kerangka kebijakan yang diperlukan untuk menjaga stabilitas makro, misalnya berasal dari berlanjutnya dukungan pembiayaan moneter untuk menutup defisit APBN dalam beberapa tahun ke depan.
Harga emas dunia kembali menembus level US$1.900-an. Merujuk data Bloomberg, pada pukul 17.00 WIB, Selasa (5/1), harga emas spot berada di level US$1.946,66 per ons troi atau menguat 0,19 persen dibanding sebelumnya. Level tersebut sekaligus jadi yang tertinggi dalam dua bulan terakhir.
Seperti diketahui, harga emas yang sempat menyentuh US$2.000 per ons troi walau akhirnya terus mengalami koreksi pada akhir tahun. Bahkan, harga emas dunia sempat berada di level US$1.700-an per ons troi seiring optimisme pasar akibat ditemukannya vaksin dan proses pemulihan ekonomi global.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menjelaskan, penguatan harga emas pada awal tahun ini dipicu oleh disahkannya stimulus bantuan di Amerika Serikat (AS). Dengan adanya stimulus tersebut, maka jumlah dolar AS yang beredar akan semakin banyak. Hal tersebut bisa memicu kenaikan tingkat inflasi. Emas yang merupakan aset lindung terhadap inflasi pun diuntungkan dengan kondisi tersebut.
“Di satu sisi, adanya stimulus sebenarnya memang mengangkat sentimen risk-on investor, hanya saja dengan melonjaknya kasus baru Covid-19, munculnya mutasi virus Covid-19 yang memaksa Inggris harus lockdown, pada akhirnya justru menekan sentimen risk-on tersebut. Emas pun menjadi aset yang dilirik dan pada akhirnya mengalami kenaikan harga,” jelas Alwi dilansir Kontan.co.id, Selasa (5/1).
Alwi menambahkan, saat ini minat terhadap aset berisiko tengah mengalami penurunan akibat meningkatnya ketidakpastian tentang pemilihan putaran kedua AS di Georgia. Di sisi lain, kebijakan stimulus baru-baru ini juga membebani dolar AS, yang secara pergerakan berlawanan dengan emas. Dalam jangka pendek, Alwi melihat peluang penguatan emas masih akan terjadi.
Selain faktor stimulus dan pelemahan dolar AS, ada faktor pendorong tambahan ketika nanti pemilihan Senat AS dimenangkan Partai Demokrat. Kemenangan tersebut berarti kebijakan tambahan stimulus dari Presiden Joe Biden akan didukung pula oleh Senat AS. Hal ini akan semakin memicu penurunan dolar AS, dan mengangkat pamor emas sebagai lindung nilai inflasi.
“Namun, sentimen stimulus ini ibarat pedang bermata dua karena juga bisa mengangkat sentimen risk-on, yang secara korelasi berlawanan dengan emas. Jika investor lebih fokus pada aset yang menjanjikan imbal hasil yang tinggi, maka mereka akan melirik saham dan aset berisiko lainnya, ketimbang emas, sehingga mengurangi pamor safe haven,” tambah Alwi.
Apalagi, pada tahun ini akan banyak vaksinasi massal yang dilakukan di berbagai negara. Jika ternyata hal ini berhasil, Alwi melihat pasar akan semakin optimisme terhadap pemulihan ekonomi global. Praktis, minat terhadap aset berisiko akan semakin tinggi dan harga emas akan tertekan.
Alwi memperkirakan, sentimen risk-on kemungkinan akan mendominasi di tahun 2021. Sehingga walaupun harga emas didukung oleh stimulus, penguatan yang terjadi akan dibatasi sentimen risk-on. Hitungan Alwi, emas pada tahun ini akan berada di kisaran US$1.764 - US$2.074 per ons troi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok rancangan peraturan terkait bank umum. Salah satu poin yang krusial adalah pengelompokan bank yang semula berkonsep entitas mandiri: bank umum kegiatan usaha (BUKU), akan diubah menjadi kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI).
Dalam draf beleid tersebut dinyatakan ada empat kelompok KBMI. KBMI 1 yaitu dengan modal inti minimum Rp6 triliun, KBMI 2 bermodal inti Rp6-14 triliun, KBMI 3 modal intinya Rp14-70 trliun, KBMI 4 bermodal di atas Rp70 triliun.
Adapun dengan skema BUKU sebelumnya ditentukan BUKU 1 minimum modal inti di bawah Rp1 triliun, BUKU 2 di berodal inti Rp1-5 triliun, kemudian BUKU 3 punya modal inti Rp5-30 triliun, dan BUKU 4 bermodal inti di atas Rp3 triliun.
“Ketentuan OJK yang mengacu modal inti yang dimiliki berdasarkan kategori BUKU dinyatakan disesuaikan berdasarkan kategori KBMI sebagaimana ketentuan KBMI dalam peraturan OJK ini,” tulis calon beleid ini dilansir Kontan.
Selain meningkatkan nilai modal inti sebagai dasar pengelompokan bank, beleid tersebut juga mengatur peningkatan minimum modal disetor untuk pendirian bank di tanah air sebesar Rp10 triliun.Nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam PBI 11/2009 tentang Bank Umum yaitu sebesar Rp 3 triliun.
Kemudian seiring perkembangan teknologi digital, dan sinerginya dengan industri keuangan, terutama perbankan, OJK juga bakal mengatur soal bank digital. Ketentuan tersebut salah satunya akan dimuat dalam rancangan POJK tentang Bank Umum. Dalam draf beleid tersebut dinyatakan bahwa bank dapat menjalankan kegiatan usaha secara digital.
“Yang dimaksud secara digital adalah model bisnis bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha utamanya melalui saluran elektronik serta dengan keberadaan kantor fisik yang terbatas (minimal) atau tanpa kantor fisik,” tulis calon beleid tersebut.
Ketentuan selanjutnya mengatur bahwa bank digital cuma diwajibkan memiliki satu kantor yang akan berfungsi sebagai kantor pusat. Artinya bank digital kelak direstui OJK jika beroperasi tanpa kantor cabang sama sekali. Ini memang selaras dengan strategi sejumlah calon bank digital yang akan segera meluncur.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja mengungkapkan strategi PT Bank Digital BCA yang memang tak akan melakukan ekspansi kantor cabang. Jahja menyatakan hal tersebut bisa dikompensasikan agar Bank Digital BCA bisa menawarkan suku bunga simpanan yang lebih tinggi dibandingkan pasar.
Bank Indonesia (BI) menyempurnakan ketentuan perlindungan konsumen dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono penyempurnaan ketentuan ini diantaranya menyesuaikan ruang lingkup perlindungan konsumen BI. Sebelumnya, hanya mencakup sistem pembayaran, kini mencakup seluruh bidang tugas kewenangan BI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran.
Penyelenggara yang termasuk dalam cakupan Perlindungan Konsumen BI meliputi, penyelenggara di bidang sistem pembayaran, penyelenggara kegiatan layanan uang, pelaku pasar uang dan pasar valuta asing, dan pihak lainnya yang diatur dan diawasi oleh BI.
"Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan," tegas Erwin, Rabu (5/1/2020) dilansir Bisnis.com.
Erwin melanjutkan penyempurnaan ketentuan dilakukan sebagai bagian dari komitmen BI dalam mendukung kebijakan perlindungan konsumen nasional dengan menerapkan kebijakan yang relevan dan sejalan dengan praktik terbaik internasional.
Penguatan kebijakan Perlindungan Konsumen juga dilakukan untuk semakin menyeimbangkan hubungan antara penyelenggara dengan konsumen, menjawab tantangan dan perkembangan inovasi finansial serta digitalisasi produk dan/atau layanan jasa keuangan dan sistem pembayaran," paparnya.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan cadangan devisa pada akhir Desember 2020 bisa lebih dari US$135 miliar. Artinya, cadangan devisa di akhir tahun 2020 tersebut bakal lebih tinggi dari posisi di bulan November 2020 yang sebesar US$133,6 miliar.
“Karena belakangan ini tidak banyak stabilisasi, sedangkan tambahan cadangan devisa dari beberapa sumber terus menunjukkan peningkatan,” kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah, Selasa (5/1/2020) dilansir Kompas,com.
Dia optimistis, peningkatan cadangan devisa bakal berlanjut di tahun 2021 karena terbukanya sumber-sumber pendanaan seperti penerbitan global bond pemerintah yang cukup besar. Selain itu, peningkatan cadangan devisa juga akan didukung oleh kondisi pasar yang akan lebih kondusif dan kondisi fundamental ekonomi akan stabil, sehingga bank sentral tidak akan banyak melakukan stabilisasi lagi.
Nanang menambahkan, adanya instrumen Domestic Non Delivery Forward (DNDF) membantu BI dalam menghemat cadangan devisa. Dengan demikian, permintaan akan valas yang besar bisa dialihkan sementara ke DNDF. “Sehingga bisa digunakan pasar untuk hedging, dan setelah kondisi stabil pelaku pasar bisa melakukan pembelian bertahap dan membiarkan DNDF jatuh waktu,” tambah Nanang.
Lebih lanjut, peningkatan cadangan devisa di tahun ini juga akan datang dari beberapa penerimaan pajak dengan valuta asing, seperti pajak industri perminyakan, dan lain-lain.
(*)