Bareksa.com - Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020. UU sapujagat atau omnibus law ini memunculkan polemik di masyarakat khususnya terkait ketenagakerjaan.
Syailendra Capital dalam Market Insight yang dibagikan pada nasabah pada 12 Oktober 2020 menilai Indonesia masih memiliki masalah yang menghambat ekonomi, ada atau tidak UU omnibus law tersebut.
"Terlepas dari dinamika yang terjadi dan hasil akhir polemik ini, kita perlu memahami urgensi dari RUU Cipta Kerja," tulis Syailendra Capital, yang menyebutkan tiga hal utama masalah Indonesia.
Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) Indonesia masih tertinggal dibandingkan rata-rata negara sejenis (peers). Padahal, Indonesia termasuk dalam negara G20, yaitu kelompok negara dengan perekonomian terbesar di dunia, dan memiliki bonus demografi besar.
Grafik FDI Indonesia dibandingkan Peers
Terlihat dalam grafik, FDI Indonesia di kisaran 2,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (GDP). "Indonesia selayaknya dapat menarik FDI lebih tinggi seperti Vietnam, Brazil dan Myanmar," tulis Syailendra.
Rata-rata FDI Indonesia 1,8 persen terhadap GDP sejak 2008. Syailendra memandang Indonesia memerlukan suatu terobosan agar dapat menarik minat investasi lebih banyak.
Grafik Pertumbuhan FDI terhadap GDP
Adapun pada 2009 dan 2016 terjadi anomali. Pada 2009 terjadi krisis finansial global dan 2016 ada tax amnesty yang membuat investor menunggu untuk melakukan investasi di Indonesia.
Di saat yang bersamaan, penyerapan tenaga kerja dari penanaman investasi langsung baik asing ataupun domestik menurun perlahan sejak 2013. Seperti terlihat dalam grafik, penyerapan tenaga kerja dari investasi langsung menurun karena peningkatan FDI di sektor jasa.
Grafik Penyerapan Tenaga Kerja dari FDI dan DDI (Investasi Domestik Langsung)
Syailendra menilai tren investasi di Indonesia belakangan cenderung berfokus pada padat karya atau penyerapan tenaga kerja ahli yang tidak disertai dengan tenaga kerja massal (padat karya).
Berdasarkan pandangan Syailendra, Indonesia telah mengalami masalah underemployment sejak beberapa tahun yang lalu. Hal ini dapat terefleksi dari perbedaan signifikan antara pekerjaan formal yang lebih sedikit dari pada informal, yaitu 56,2 juta pekerja formal dan 70,49 juta informal per 2019.
Berkaitan dengan pengesahan UU ini, ada banyak hal positif yang dapat diambil terkait simplifikasi bisnis usaha dan perpajakan. Sehingga, masyarakat investor harus dapat melihat secara garis besar tujuan pemerintah sekaligus memonitor keadaan yang ada.
Namun, perlu diingat juga, polemik ini bisa menimbulkan risiko bagi pergerakan pasar saham dan investasi berbasis saham, seperti reksadana saham, reksadana campuran dan reksadana indeks saham. "Semangat dari RUU Cipta Kerja ialah meningkatkan investasi agar permasalahan ini dapat terselesaikan kemudian hari. Adapun polemik yang terjadi dapat menyebabkan volatilitas ke pasar," tulis Syailendra.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.