Bahana TCW : Percepatan Realisasi Belanja APBN Bisa Dorong Pemulihan Ekonomi

Bareksa • 06 Jul 2020

an image
Chief Economist and Director for Investor Relation at Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat. (Bareksa.com/ Alfin Tofler)

Realisasi belanja pemerintah bisa mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi Covid-19

Bareksa.com - Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, menilai realisasi belanja pemerintah bisa mendorong pemulihan daya beli masyarakat yang turun akibat pandemi Covid-19, sekaligus meningkatkan kredibilitas kebijakan stimulus pemerintah terutama bagi investor asing.

"Karena itu, kami berharap adanya percepatan realisasi belanja pemerintah pada semester II 2020," ujar Budi dalam keterangannya (6/7/2020).

Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Negara hingga akhir Mei 2020 sebesar Rp179,6 triliun, setara dengan 1,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebelumnya, target defisit Anggaran Negara direncanakan mencapai 6,3 persen dari PDB. Realisasi belanja negara 2020 tercatat baru mencapai Rp43,9 triliun dari total target Anggaran Belanja Negara (APBN) sesuai Perpres 72/2020 sebesar Rp2.739,16 triliun.

Secara rinci, total anggaran perlindungan sosial yang sudah didistribusikan pemerintah mencapai 34,1 persen dari total anggaran. Sementara, realisasi anggaran kesehatan hanya sekitar 4,68 persen dari total pagu anggaran Rp87,55 triliun. Rendahnya realisasi anggaran kesehatan ini disebabkan adanya kendala teknis seperti keterlambatan pengajuan klaim, verifikasi tenaga kesehatan dan kendala administrasi lainnya.

Belum optimalnya realisasi anggaran belanja ini mengakibatkan pertumbuhan uang beredar (M1 growth), sebagai acuan daya beli secara moneter, Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lainnya. Pertumbuhan M1 Indonesia pada Mei 2020 tumbuh 9,65 persen dibanding setahun lalu. Memang lebih tinggi dibandingkan angka rata-rata 5 persen.

Namun, pertumbuhan ini tak menonjol dibandingkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat 33 persen, Uni Eropa 12 persen, Brazil 32 persen, India 17 persen dan Turki 83 persen. Bahkan, negara tetangga seperti Filipina melaju dengan 26 persen. Budi menilai pertumbuhan daya beli melalui insentif fiskal ini sangat penting untuk mengkompensasi pelemahan daya beli yang selama ini berasal dari peningkatan harga komoditas primer. Selama tahun berjalan, harga komoditas CPO, batu-bara dan karet anjlok sekitar 23 persen.

Menurut Budi, perlambatan pertumbuhan M1 berisiko menahan pertumbuhan kredit yang sangat penting agar pertumbuhan ekonomi lebih gesit. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei menunjukkan, pertumbuhan kredit hanya tumbuh 3,04 persen yoy. Ini angka terendah sejak 1998.

“Di saat masyarakat kesulitan finansial dan lemahnya keberanian perbankan memacu kredit, sangat dibutuhkan kebijakan counter-cycle. Pemerintah melalui beragam stimulus fiskal dan moneter. Kami menghitung dampak moneter stimulus antisipatif pemerintah tahun ini sekitar Rp1.160 triliun. Jadi kami berharap pemerintah bisa segera mengoptimalkan realisasi belanja negara di semester II,” ungkap Budi.

Budi menilai realisasi stimulus yang lebih cepat dan efektif merupakan katalis penting bagi pasar modal hingga akhir tahun.

(AM)

***

Ingin berinvestasi yang aman di reksadana dan diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS

DISCLAIMER

Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.